“Kamu kemana Yank? Aku telepon ponselmu mati, di tempat usaha enggak ada.”
Dhaffa menyesal, baru saja dia ingat hari ini jadwal kontrol kandungan dan seharusnya dia menemani Ina.
Ini dia malah di rumah mamanya, menemani Yanti yang tertidur pulas sehabis disuntik dokter yang mamanya panggil.
Dia datang dokter sudah datang dan papanya bertemu di depan pintu akan berangkat kerja.
“Kenapa kamu ke sini?” Begitu tadi sang papa menyapanya.
“Mama telepon minta aku datang.”
“Kemarin sudah ribut karena kelakuan Yanti memprovokasi Ina, sekarang kamu malah ke sini?” sang papa masuk mobilnya dan meninggalkan Dhaffa yang langsung masuk ke dalam rumah mencari mamanya.
Saat itu Dhaffa belum ingat dia harus menemani Ina. Dia hanya ingin berbakti pada sang mama yang sekarang hanya memiliki dia sebagai anak tunggal setelah kematian Yakta adik semata wayang yang sangat dimanja sang mama.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Tadi siang dia ke butik, kalian ribut? Sebab sejak sore Ina sudah pulang koq,” Ibu Ina cemas saat melihat Dhaffa mencari putrinya ke rumah.
“Tadi saya lupa antar Ina kontrol ke rumah sakit, saya pikir dia ngambek dan menginap sini Bu,” Dhaffa tak berani memberitahu alasan sesungguhnya kalau dia lebih mementingkan panggilan sang mama demi memberi attensi pada Yanti.
“Kalau ada apa-apa dengan Ina, Ayah akan pastikan hidupmu tak akan tenang sampai kamu masuk liang kubur!” Ancam ayah mertuanya ketus langsung masuk ke rumah tanpa menerima salim yang menantunya berikan.
Ayah Ina baru pulang kantor dan dia mendengar putrinya tak ada di mana pun padahal sekarang sudah jam delapan malam.
Ayah Ina mendengar sejak jam 11 Dhaffa menghubungi, ponsel Ina sudah tidak aktif.
Ibu Ina menghubungi berapa teman akrab Ina yang dia tahu nomor ponselnya, tapi tak ada yang tahu keberadaan Ina.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Papa sudah bilang, jangan libatkan Dhaffa dengan urusan Yanti. Kalau mama mau urus dan terus tampung dia, ya Mama urus sendiri. Seharusnya setelah Yakta meninggal dia kembali ke rumahnya, bukan terus berada di rumah kita.”
“Bukan kita tak mampu membiayai satu orang benalu di rumah kita, tapi tak etis rasanya dia masih bertahan disini,” Mama Dhaffa tak percaya menantunya menghilang akibat telepon yang dia lakukan meminta Dhaffa datang pagi ini saat Dhaffa akan mengantar Ina ke kontrol ke rumah sakit.
Suaminya ditelepon ayah Ina tanya apa yang terjadi Ina sampai menghilang dari rumah.
Ayah Ina yang politisi juga sedikit mengancam pada papa Dhaffa, akan menghabisi Dhaffa dan semua yang membuat Ina tersakiti.
Itu sebabnya papa Dhaffa langsung menegur istrinya.
Adhisti Kurniawan bingung sendiri terjepit antara suaminya dan Avanti Bimala Raharja atau Yanti, menantunya yang baru lima puluh hari ditinggal suaminya yaitu Byakta Airlangga Bhanu atau Yakta anak bungsu Adhisti.
Dia hanya kasihan pada menantunya yang sangat kehilangan suami. Masih dalam taraf berduka, malah hampir diperk0sa, membuat jiwa Yanti sedikit terguncang.
Adhisti tak tega menyuruh Yanti pulang ke rumah orang tuanya seperti yang Dwi katakan.
Namun Adhisti juga harus memikirkan rumah tangga Dhaffa dan rumah tangganya sendiri.
Selama ini Dwi, suaminya jarang marah atau menegur bila tak terlalu kelewatan menurut suaminya.
Dalam satu minggu ini dia sudah empat kali ditegur Dwi, semua terkait masalah Yanti.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Jangan ada yang lapor saya pulang,” ancam Ina pada semua pegawainya.
Siang ini sehabis Dhaffa berangkat kerja, Ina pulang dan mengambil satu koper pakaian. Dia mengatakan pada semua pegawai akan selalu memantau pekerjaan seperti biasa, dengan nomor telepon baru yang dia katakan tak boleh diberikan pada siapa pun terlebih pada Dhaffa dan orang tua Dhaffa.
Semalam Ibu dan ayah Ina juga sudah tenang saat Ina menghubungi mereka dengan nomor cadangan dan menceritakan semua kejadian sejak Yanti mengirim foto, tapi pada Dhaffa dan mama mertuanya, Yanti bilang tak mengirim apa pun.
Ina lupa, bila ada yang menyakiti Ina, Ainayya Palgunadi langsung lapor pada kakak sepupu Ina yaitu Reyhan Pradana Alkatiri. Mama Reyhan adalah Meyrina Palgunadi kakak kandung Ainayya Palgunadi.
Untuk Reyhan, Ina dan Ainayya adalah permata hidupnya. Tak ada yang boleh menyentuh seujung rambut dua perempuan itu bila masih ingin hidup tenang.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Sudah dua hari, kami dimana Yank?”
Dhaffa benar-benar tak mengira Ina sedemikian marah.
“Istri mana yang tak marah bila dia dijadikan nomor dua dari ipar?” Sahabat Dhaffa yang menampung keluhan Dhaffa memberi masukan yang sesungguhnya.
“Aku bukan menomor duakan istri dan menomor satukan ipar, aku hanya lebih mementingkan ibuku dari istriku, bukan lebih mementingkan ipar,” bantah Dhaffa membela diri.
“Tetap saja salah, kamu sudah punya istri, walau surga dibawah telapak kaki Ibu, setelah menikah ya istri yang utama, dan …,” belum selesai si teman bicara masuk telepon mamanya.
“Jangan usik Kakak Ma, karena kasus kemarin saja Ina belum pulang, Mama temani dia sendiri saja,” Dhaffa menerima telepon sang mama yang minta ditemani mengantar Yanti ke rumah sakit.
“Seharusnya sejak awal kamu seperti itu,” cetus sang teman sambil menyeruput kopi pahit miliknya.
“Mamaku sekarang hanya punya aku, aku tak ingin mama sedih setelah kematian Yakta, sesungguhnya hanya itu alasan utamaku.”
“Aku mengerti, tapi kamu sadar kan emosi Ibu hamil itu labil?”
“Kalian sudah menanti memiliki anak, dan saat akan punya anak kamu malah lebih mementingkan orang lain.”
“Siapa pun itu yang lebih kamu pentingkan, itu menyakiti istrimu yang sedang labil emosinya.”
Dhaffa makin kalut, sungguh dia tak percaya Ina yang super sabar dan lembut meninggalkan dirinya.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Kalau sampai Papa dapat teguran lagi dari Ayahnya Ina, kamu Papa gantung. Sejak awal Yakta bawa p3lacur itu ke rumah, Papa sudah tidak suka, tapi Yakta mengemis agar bisa menikahi perempuan itu.”
“Sekarang malah kamu dia jerat dengan alasan stress mau diperkosa.”
“Dan sekaran Reyhan menunggu Papa di luar. Entah apa yang mau dia katakan. Kamu tahu, buat Reyhan, Ina adalah napas hidupnya!”
Dhaffa pucat pasi, kalau Reyhan sudag bergerak, habislah napasnya.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Seharusnya kamu pulanglah, sudah empat hari kamu meninggalkan rumah, Ibu rasa cukup kamu hukum dengan cara seperti ini,” Ibu Ina menasihati putrinya yang sedang makan rujak kweni.
Kweni matang yang diiris tipis lalu direbus dengan air gula merah dan didinginkan, tak ada garam dan cabai, hanya gula merah saja.
Ternyata Ina hanya satu malam tinggal di hotel, esoknya setelah dia mengambil pakaian, Ina tidur di butik ibunya. Disana ada kamar tidur tempat ibunya istirahat bila tak enak badan atau terlalu lelah.
Ina tak mau menginap di rumah orang tuanya, sebab Dhaffa memantaunya.
“Besok lah Bu, aku masih malas. Besok ada pesanan besar, hari ini belanja bahan baku banyak, besok sehabis Kak Dhaffa berangkat ke kantor aku akan pulang buat awasi pekerjaan,” jawab Ina santai.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈