bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

book_age18+
495
FOLLOW
4.2K
READ
family
HE
badboy
drama
like
intro-logo
Blurb

Istriku jadi menyebalkan, hanya karena aku memberikan semua uang gajiku pada ibuku dan adikku. Salah sendiri, kenapa dia boros dan tidak pandai mengatur keuangan. Sejak saat itu istriku jadi membosankan, tak menarik lagi di mataku, senyum istriku sirna dan dia selalu menyambutku dengan bibir yang bungkam dan tatapan mata yang sinis. Istriku menjadi dingin. Kelakuan istriku semakin menjadi-jadi, ketika aku mengajak sahabat perempuanku tinggal di rumah kami. Salahkah aku, jika aku sangat menyayangi ibu dan adikku? Aku hanya menunjukkan bakti pada orang yang sudah mengandungku selama 9 bulan dan kepada adikku, saudaraku sendiri.Istriku tiba-tiba meminta cerai. Apa yang harus kulakukan?

chap-preview
Free preview
Bab 1. Cueknya Istriku
"Ya ampun ... Bun! Apa saja kerjamu di rumah selama aku di kantor? Kenapa rumah ini seperti kapal pecah saja?" omelku kepada Embun, istriku. Baru saja pulang kerja, lelah seharian di kantor, bukannya mendapatkan sambutan hangat dan senyuman dari istriku. Aku malah mendapatkan sambutan yang akhir-akhir ini selalu ku dapatkan, setiap aku baru pulang kerja. Setiap hari selalu begini dan istriku tak becus mengurus rumah. Entah apa saja kerjanya selama seharian ini. Bahkan penampilannya saja tak terurus, hanya memakai daster dan rambut yang acak-acakan, sungguh tidak enak dipandang. Padahal kerjanya di rumah saja, kenapa berdandan saja tak bisa? Apakah pantas istri seorang manager keuangan seperti ini? "Maaf Mas, tadi Embun udah beresin mainannya. Tapi tadi—" Kuangkat tanganku ke atas yang seketika langsung membuat Embun menghentikan perkataannya yang belum usai. Selalu saja tapi, tapi yang aku dengar dari bibir Embun sebagai penjelasan darinya. Terdengar helaan nafas kasar dari bibir Embun, wanita itu terlihat lelah. Padahal apa lelahnya berada di rumah? Dia bisa mengurus dua anak kami dengan santai, sambil ongkang-ongkang kaki. Tidak sepertiku yang harus berada di kantor, berkutat dengan segudang pekerjaan yang melelahkan. "Kamu selalu beralasan saja, Bun. Sudahlah, Mas capek," ucapku sambil memijat keningku yang terasa pening. Aku mengeluh, aku lelah di kantor. Tak mau lama-lama melihat Embun yang berpenampilan seperti gembel itu, aku lebih memilih untuk pergi ke kamarku saja. Tadinya aku ingin merebahkan tubuhku di sofa ruang tengah, tapi di sana penuh dengan mainan anak-anak yang berserakan. Mau duduk di sana pun susah. Si Embun kerjanya apa sih? Mengurus rumah tak bisa, mengurus anak tak bisa, mengurus dirinya sendiri juga apalagi. "Aduh!" Aku terpekik begitu ada sesuatu yang menabrakku. Kulihat anak bungsuku di sana, rupanya dialah yang menabrakku barusan. Anak bungsuku baru berusia 2 tahun, dia terlihat aktif dan ceria. Selalu aja ada kegaduhan yang dia buat setiap harinya. "De, simpan gelasnya. Bahaya de!" tegurku pada Alif, putra bungsuku yang saat ini sedang memegang gelas kaca. Takut gelasnya pecah. "Bun! Ini Alif bawa gelas. Embun!" Ku panggil istriku, agar dia bisa membujuk Alif. Akan tetapi, Embun tak kunjung datang. Alif juga tidak mau mendengarkanku. Anak itu malah berlari pergi dengan kaki kecilnya sambil membawa gelas itu dan akhirnya sesuatu yang tidak diinginkan pun terjadi. Suara barang pecah terdengar keras, bersamaan dengan suara jatuh. Ya, anakku Alif terjatuh dan memecahkan gelas tersebut ke lantai. Kuhampiri Alif yang masih dalam posisi tengkurap, anak laki-lakiku itu akhirnya menangis. "Alif! Ayah bilang juga apa kan?" ucapku seraya membantu Alif berdiri, ku lihat dari ujung kepala sampai ujung kakinya untuk memastikan apakah anakku terluka atau tidak. Ku lihat ada sedikit merah di kakinya. "Si Embun mana sih!" kesalku, karena Embun entah kemana saat ini. Sedangkan anak kami dibiarkan berjalan sendiri ke dapur dan mengambil gelas. Kerjanya apa dia? "Maaf Mas, tadi aku habis beres-beres di depan." Ku lihat Embun tergesa-gesa menghampiriku, dia mengatakan alasan karena tak mau disalahkan. Ya, aku mendengar semua perkataan Embun sebagai alasan saja. "Alasan terus. Ini ... urus Alif, sama beresin pecahan gelasnya. Aku tuh capek baru pulang kerja. Kamu paham nggak sih, Bun? Kalau kamu nggak bisa jaga diri dan jaga rumah, seenggaknya jaga anak-anak kita dengan baik!" bentakku pada Embun dan kulihat Embun juga tampak terkejut, lantaran kali ini aku berbicara keras padanya. Lagi-lagi aku harus mengeluarkan kata-kata mutiara kepada Embun, yang sering sekali ku ucapkan. Jujur, aku sendiri pun mulai lelah menasehati Embun. Tapi istriku ini tak mau mengerti. "Iya Mas, maaf." Embun berucap dengan lirih. Kulihat dia mengusap air mata di pipi tembem putra kami dengan lembut. "Dek, kamu nggak apa-apa? Ada luka nggak? Alif jangan nangis ya. Kan Alif jagoan." Setelah ada Embun yang menghandle Alif, aku pun melanjutkan perjalananku ke kamar. *** Malam itu, aku keluar dari ruang kerjaku setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tadi belum usai di kantor. Pukul 9 malam, aku keluar dari ruang kerja dengan perasaan dongkol dan kesal. Biasanya Embun selalu datang membawakan kopi atau cemilan ke ruang kerja, untuk menemaniku bekerja di sana. Tapi, Embun tidak muncul juga. Pasti sekarang Embun sedang tidur, enak sekali dia tidur sedangkan suaminya dibiarkan kelaparan dan kehausan. Begitu tiba di kamar, benar saja dugaanku. Embun sedang terlelap bersama dengan kedua anak kami di atas ranjang berukuran king size di kamar kami. Embun mendekap lembut Alif dan Aisha, anak sulung ku yang baru berusia 4 tahun. Kulihat Embun tampak kucel, kotor, tidak cantik seperti saat menikah dulu. Bahkan badannya melar dengan perut buncit, tak enak dilihat. Embun banyak berubah. "Ck, malah tidur." Aku yang kesal, langsung membangunkan Embun dengan menepuk-nepuk lengannya beberapa kali. "Bun! Embun!" "Eungh ... Mas?" Embun mulai membuka matanya, dia melihatku yang berada tak jauh darinya. "Bikinin aku makanan sama kopi. Jangan enak-enakan tidur dong, Mas juga belum makan apa-apa dari tadi. Kamu malah enak-enakan di sini!" protesku kesal. Bisa-bisanya Embun tidur duluan sebelum aku makan. Kulihat Embun beranjak duduk sambil mengusap matanya yang masih tampak mengantuk itu. "Makanan ya Mas? Kopi?" "Pake nanya lagi! Cepet!" ujarku yang mulai kesal dengan kelemotan Embun. "Maaf Mas, aku nggak bisa buatin." Keningku berkerut mendengar jawaban dari Embun. Apa maksudnya Embun tak mau aku suruh? "Kenapa? Kamu nggak mau disuruh sama Mas?" tanyaku dengan kesal. "Kalau Mas mau makanan atau minta kopi. Mas bisa minta sama Ibu atau sama Vina, Mas." Lagi-lagi jawaban Embun membuatku tersedak air liurku sendiri. Embun semakin kurang ajar padaku, sebagai seorang suami aku merasa tidak dihargai. "Kenapa aku harus minta sama Ibu dan Vina? Kalau aku punya istri yang bisa melayani aku? Atau kamu lelah, melayaniku, Bun?" tanyaku lagi sambil menahan amarah yang sudah berada di hatiku dan mulai menjalar ke dalam pikiranku. "Bukan begitu Mas. Aku sama sekali tidak lelah melayani Mas." "Lalu kenapa kamu seperti ini?" "Aku merasa tidak memiliki kewajiban melayani Mas lagi," jawab Embun dengan wajah datarnya. "Apa maksud kamu sih, Bun? Nggak usah bertele-tele begini!" sentakku pada Embun. "Lebih baik Mas minta makanan sama ibu dan Vina. Kan mereka yang pegang semua uang gaji, Mas. Jadi ... mereka juga yang berkewajiban melayani Mas," kata Embun yang terdengar ketus di telingaku. Seketika aku pun naik darah, perkataan Embun sudah sangat keterlaluan dan tidak sopan. "Apa maksud kamu? Kamu nggak suka kalau aku kasih uang buat ibu sama Vina? Bisa-bisanya kamu kayak gini, Bun." Aku tak habis pikir, bisa-bisanya Embun marah gara-gara uang gajiku, aku berikan semuanya pada ibu dan Vina. Memangnya apa salahku yang ingin keuangan keluarga di pegang di tangan orang yang tepat? Ibuku tidak boros seperti Embun. Itulah sebabnya, ku serahkan gajiku selama 3 bulan ini kepada ibu dan Vina. "Sudah ya Mas. Aku capek, aku mau tidur. Bukan cuma kamu doang yang capek disini, tapi aku juga!" Kulihat Embun kembali merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, menarik selimut yang semula di kakinya. Embun kembali memejamkan matanya. Aku mendelik tak percaya, begini sikap Embun pada suaminya sendiri? TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.1K
bc

TERNODA

read
198.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.6K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
53.4K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook