BAB 2

1436 Words
“Moza! Buka pintunya! Moza! Kau itu tidur atau apa!” Moza yang baru saja membuka mata karena gedoran di pintu kamarnya terlonjak bangun begitu saja membuat kepalanya langsung berdenyut seketka. Suara menggelegar yang berasal dari luar kamarnya menandakan jika sang empunya rumah ini sedang marah kepadanya. Ya, Moza takut sekaligus khawatir akan apa yang akan Sakha lakukan kepadanya. Selama delapan belas tahun hidupnya tidak pernah sekali pun Moza mendapat bentakan apalagi suara keras dari Ayah dan mamanya. Namun, sekarang rupanya ada orang lain yang bahkan baru saja hadir di dalam hidupnya sudah berani membentak dengan suara lantang seperti ini. Membuaat Moza semakin tidak memiliki nyali. Antara membuka pintu atau tidak, Moza sedang berpikir keras karena suara gedoran juga bentakan dari Sakha tak kunjung behenti juga. Baiklah, Moza harus membuka pintu sebelum Sakha mendobraknya. Takut-takut Moza berjalan mengendap-endap mencapai pintu dan setelahnya ia memutar kunci. Tanpa ia sadari jika lelaki di luar kamarnya sudah memutar handel membuat pintu kamarnya langsuNg terbuka. Lelaki itu merangsek masuk ke dalam kamarnya dengan wajah mengeras penuh amarah. ”Kau tuli, Hah! Aku sudah menggedor pintu sampai hampir roboh, tapi rupanya kau tak juga mau membukanya. Apa maumu, hah!” Moza sampai menutup mata karena takut akan kemarahan Sakha. Bahkan lelaki itu berbicara keras tepat di hadapan wajahnya. Ingin rasanya Moza menangis, tapi berusaha ia tahan karena tak ingin ia dianggap seperti anak kecil yang hanya bisa menangis saja kerjaannya. “Mandi dan segera keluar dari kamar sialan ini. Kau harus makan jika tidak kau akan sakit dan itu hanya akan menyusahkanku saja.” Setelah mengatakan itu Sakha keluar dengan tangan membanting pintu kamar Moza. Membuat pintu tak bersalah itu menutup dengan kasar menimbulkan suara berdebam. Moza sampai terjengit kaget lalu matanya yang memanas tak mampu ia kendalikan. Ya, air mata begitu saja keluar membasahi pipinya. Ini baru beberapa jam ia tinggal di rumah ini. Bagaimana hari-hari yang akan Moza lalui ke depannya. Entahlah, Moza sendiri tak mampu membayangkannya. Dalam hati ia berdoa semoga saja ia kuat menjalani ini semua. *** Sakha memjit pelipis yang kini semakin berdenyut nyeri. Kehadiran gadis itu hanya bisa menyulut emosinya saja. Bagaimana mungkin sekarang dirinya harus mengurus bocah tengil sialan itu di rumahnya. Hanya dengan melihat wajah Moza saja sudah membuatnya emosi. Apalagi harus melihat kelakuan gadis kekanak-kanakan yang bahkan tak bisa sedikitpun bersikap dewasa. Selama ini Sakha tidak pernah memiliki saudara lain karena ia adalah anak tunggal. Tidak pernah merasakan memiliki adik hingga jangan meyalahkannya jika ia tak bisa memperlakukan orang lain dengan lebih baik lagi. Apalagi memberi Moza kasih sayang. Itu tidak akan mungkin tejadi. Seorang Sakha Rahardian pantang melakukan itu semua. Hanya kepada Cheezy, Sakha bisa bersikap baik dan menjadi b***k akan cinta. Ya, karena terlanjur sayang dan cintanya ia pada Cheezy hingga menutup mata hatinya bagi gadis lain. Tak akan ada lagi tempat di hatinya untuk perempan mana pun selain Cheezy seorang. Tak juga pada Moza yang nyata-nyata adalah istrinya. Mama. Satu kata yang selalu ia dengung-dengungkan. Andai mamanya tau bagaimana ia memperlakukan Moza di rumahnya, sudah dapat dipastikan jika Prameswari akan sangat kecewa kepadanya. Namun, yang namanya cinta mana bisa dipaksakan, yang ada justru hanya kekesalan yang dirasakan oleh Sakha. Ekor mata Sakha melirik pada gadis yang kini takut-takut mendekat padanya. Berdiri dalam diam tak berani menatap kepadanya. Kepalanya menunduk dalam, menyembunyikan raut wajah agar tak terlihat olehnya dengan kedua tangan saling berpilin menyembunyikan kegugupan juga ketakutan. “Duduk!” titah Sakha diangguki kepala oleh Moza. Gadis itu duduk dengan tubuh gemetar yang berusaha ia redam. Ia takut dilihat oleh Sakha. “Maaf atas sikap kasarku tadi. Aku hanya tersulut akan emosi. Sekarang makanlah dan segera pergi tidur. Esok aku akan mengantarmu mendaftar ke Universitas yang kau inginkan,” ucap Sakha. Fuih, lega rasanya hati Moza. Rupanya Sakha telah kembali menjadi lelaki baik dan tidak seperti monster menyeramkan bagi Moza. Meski masih ada perasaan takut, nyatanya Moza pun menyantap makanannya dalam diam tidak ingin Sakha kembali tersulut emosi dan marah kepadanya. *** Beberapa bulan berlalu dan Moza mulai menikmati aktifitasnya sebagai seorang mahasiswa. Dia benar-benar berusaha menjadi gadis mandiri hidup di rumah ini. Ya, Sakha memang tidak mau ambil pusing akan hidupnya. Semua Moza lakukan sendiri dan mandiri. Mungkin hanya satu kebaikan yang Sakha lakukan karena lelaki itu mau memberinya nafkah berupa materi yang Moza pergunakan sebagai biaya kuliah, juga biaya hidup sehari-hari. Namun, Sakha juga sudah mewanti-wanti sejak awal agar Moza tidak ikut campur dengan hidupnya. Moza hidup sendiri, Sakha pun demikian hidup sendiri juga. Mengenai makan dan minum pun mereka tidak pernah bersama. Mengurusi perut masing-masing istilah kasarnya. Pada awalnya Moza pikir Sakha hanya sebatas omongan saja mengatakan ia tidak boleh mencampuri hidup lelaki itu, tetapi rupanya peringatan Sakha benar-benar bukan guyonan semata. Pernah suatu ketika Moza memasak dan menghidangkannya di atas meja makan. Meminta Sakha untuk memakannya. Akan tetapi apa yang Moza dapatkan hanyalah lirikan sinis dari Sakha. Mana mau Sakha menyentuh apa pun makanan dan mainuman buatan Moza. Tidak sama sekali. Selalu Sakha kembali marah dan bersikap kasar padanya. Moza memilih menyelamatkan diri untuk tak lagi ikut campur apa pun dengan yang Sakha lakukan. Tidak juga mencoba mencari perhatian pada Sakha karena hal itu akan berakhir sia-sia. Moza lebih suka melihat Sakha yang diam dan meliriknya sinis dari pada harus melihat Sakha dengan mata melotot dan jari mengacung ke arahnya. Jika sudah begitu biasanya Sakha tengah murka. Pagi ini seperti biasa Moza akan menyeduh teh hangat kesukaannya. Ia memang mengisi dapur rumah Sakha dengan aneka bahan makanan yang dia butuhkan, tentunya dengan memakai uang pemberian Sakha. Tidak terasa usia pernikahan mereka sudah hampir satu tahun. Lebih tepatnya sebelas bulan dan satu bulan lagi adalah anniversarry ke satu. Itu berarti hampir satu tahun juga Moza tinggal bersama pria minim ekspresi sejenis Sakha. Bahkan dalam kurun waktu satu tahun ini interaksi Sakha dengan Moza bisa dihitung dengan jari. Itu semua karena antara mereka berdua hampir tidak pernah bertegur sapa. Bahkan di hadapan Prameswari pun, Sakha tidak mau berpura-pura baik-baik saja. Lelaki itu dengan bangga menunjukkan terang-terangan ketidak sukaannya pada Moza hingga Prameswari selalu menguatkan menantunya dengan berkata, ”Sabarlah Moza. Suatu ketika Sakha pasti akan berubah dan bisa membuka hati untuk menerima kehadiranmu.” Yang Moza lakukan selanjutnya adalah memaksakan senyuman demi menyenangkan hati mertuanya. Meski dalam hati ia tak yakin akan apa yang mertuanya sampaikan. Moza sangat paham akan kelakuan dan sikap Sakha. Moza juga ingat disuatu kesempatan Sakha mengutarakan alasan kenapa tidak menyukainya. Sebabnya adalah karena Sakha sudah memiliki kekasih yang suatu ketika akan Sakha nikahi. Hati Moza sempat hancur mendengar kejujuran Sakha. Namun, lagi-lagi Moza hanya bisa pasrah dan berdoa demi kebahagiannya sendiri. Jika memang ia tak ada jodoh dengan Sakha maka Moza tak akan memaksakannya. Pun demikian jika Moza berhadapan dengan kedua orang tuanya dan bertanya mengenai hubungannya dengan Sakha. Maka sekuat tenaga yang Moza lakukan adalah bersandiwara serta berusaha meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia dan Sakha baik-baik saja. Tidak mungkin juga Moza akan menjelek-jelekkan Sakha di hadapan orang tuanya meski sebenarnya perlakuan Sakha memang sangat buruk. Moza juga selalu menyampaikan pada kedua Ayah dan Mamanya jika dia dan Sakha hanya memerlukan banyak waktu untuk bisa saling mengenal dan mengetahui pribadi masing- masing. Dan pada akhirnya kedua orang tua Moza hanya bisa menyerahkan semua pada Moza. Serta mendoakan segala yang terbaik untuk putri mereka satu-satunya. Moza duduk di kursi mini bar sambil mengaduk teh hangatnya. Ia sebenarnya tahu jika Sakha duduk di sebelahnya. Hanya saja memang Moza tak ada niat untuk menawari Sakha dengan apa yang tengah diminumnya. Akan percuma saja Moza bersikap baik jika selalu ditolak oleh Sakha.  “Ada hal yang ingin aku sampaikan padamu,” ucap Sakha mengalihkan perhatian Moza dari secangkir teh hangat yang sedang gadis itu sesap. Kepala Moza menoleh ke samping menatap Sakha. Akan tetapi rupanya yang menjadi obyek pandang Sakha masih fokus lurus ke depan tanpa berniat menapat wajahnya. “Hal apa itu, Mas?” Ya, panggilan ‘Mas’ yang Moza sematkan pada Sakha atas perintah dan permintaan mama mertuanya. Awalnya Moza ingin memanggil dengan sebutan ‘Kak’ . Namun, mama mertuanya melarang. Menurut beliau lebih pantas memanggil ‘Mas’ pada lelaki yang bergelar suami. Sakha rupanya juga tidak keberatan akan panggilan yang Moza sematkan kepadanya.  “Satu bulan lagi aku akan pindah dari sini dan menetap di luar negeri,” ujar Sakha. Moza masih diam tak mengerti ke mana arah pembahasan Sakha. “Lalu?” hanya itu yang Moza tanyakan. Namun, perkataan Sakha selanjutnya sanggup membuat Moza shock sampai-sampai ia hampir terjengkang dari duduknya jika ia tak buru-buru mencari pegangan. “Aku akan segera menceraikanmu karena aku tak lagi bisa menjagamu.” Dengan tenang Sakha berucap seolah tanpa ada beban sedikit pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD