BAB 3

1435 Words
8 Tahun Kemudian Turun dari atas boncengan motor ojek online, gegas berjalan cepat menuju lobi. Berdiri sebentar menempelkan Id Card yang tergantung di leher pada mesin absensi karyawan. Huft, lega. Delapan lebih lima puluh sembilan menit. Hampir saja telat. Satu menit sebelum jan masuk kantor. Setelahnya, gadis itu berjalan cepat menuju arah tangga sembari menyapa beberapa rekan kerja yang kebetulan berpapasan dengannya. Sebuah perusahan yang bergerak di bidang industri baja, adalah tempat Moza mengais rejeki setelah masa kuliahnya usai beberapa tahun lalu. Dan hingga detik ini, gadis itu masih betah bekerja di sini. Gedung tiga lantai yang menjadi satu dengan sebuah pabrik tempat memproduksi barang-barang kebutuhan proyek seperti halnya atap baja ringan, genteng, dan lain sebagainnya. Bergerak di bidang industri baja yang memiliki banyak sekali proyek juga rekanan dari para perusahaan properti yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Lokasinya bukan berada di sebuah gedung pencakar langit dengan berpuluh-puluh lantai. Namun, berada di sebuah kawasan industri di mana untuk dapat mencapai lantai tiga tempat ruangannya berada, Moza harus rela mengeluarkan keringat demi menapaki undakan demi undakan tangga yang ada. Tak ada lift di kantor ini. Dan semua karyawan mulai dari karyawan rendahan sampai atasan yang bergelar Manager pun harus rela melangkahkan kaki mereka agar dapat menaiki ruangan sampai di lantai teratas. "Baru datang, Moz!" Sapa sosok gadis berkulit putih dengan jilbab membungkus kepala. Gadis yang tak lain adalah teman satu divisi juga duduk di samping kubikelnya. "He eh. Hampir saja telat. Kurang satu menit," jawabnya enteng sambil nyengir mempertontonkan deretan gigi putihnya. Menarik kursi kerja untuk dapat dia duduki sebelum menyimpan tas ransel ke dalam laci. "Begadang lagi semalam?" tebak sang rekan yang biasa dipanggil Mita oleh Moza. "Ada proyek besar yang harus segera aku selesaikan, Mit. Baru subuh tadi bisa merem." "Kamu ini. Sudah tahu paginya harus kerja, masih saja suka nerima job freelance." "Demi duit, Mit." "Duitmu kan sudah banyak. Mau buat apa lagi, sih!" "Modal kawin," jawab Moza asal dengan tangan begitu cekatan menyalakan layar monitor yang akan dia pergunakan untuk bekerja selama delapan jam ke depan. "Serius mau segera kawin?" Sampai-sampai Mita mencondongkan tubuhnya ke depan demi bisa menatap kesungguhan dari wajah sang teman. Namun, yang ditatap sedemikan rupa justru biasa saja. "Moz! Lagian Mas Edham itu kaya. Pasti nanti biaya kawinan kalian berdua, dia semua yang akan mencukupinya. Kenapa kamu harus repot-repot segala kerja keras begitu." Ocehan Mita tak ditanggapi oleh Moza karena gadis itu sibuk memainkan jari jemarinya pada keyboard. Ya, sepagi ini Moza memang harus segera memulai pekerjaannya. Sebagai seorang arsitek yang menjabat pada divisi Technical Service Engineer, banyak sekali tanggung jawab pekerjaan yang dibebankan padanya. Tak hanya urusan desain tapi juga hasil kerja para kontraktor di lapangan. Namun demikian apa yang menjadi tanggung jawabnya sebanding dengan gaji yang dia dapatkan per bulan. Cukup untuknya menopang hidup di kota besar yang jauh dari keluarga. Moza benar-benar berubah menjadi wanita karir yang mandiri dan tak mau bergantung pada siapa pun juga, termasuk sang kekasih yang bernama Edham. "Moz!" Di tengah keseriusannya mengecek gambar-gambar pada layar komputer, lagi-lagi Mita harus mengganggunya. "Hem." "Dengar-dengar minggu depan akan ada direktur baru yang akan menggantikan Pak Gunawan." "Oh, ya?" Respon Moza hanyalah biasa saja karena dia sungguh tidak tertarik dengan siapa pun itu yang akan menjadi pemimpin perusahaan. Merasa dirinya hanyalah sebagai karyawan biasa yang tak pernah berhubungan langsung dengan yang namanya Direktur Utama. Bahkan selama hampir empat tahun bekerja di perusahaan ini, bisa dihitung dengan jari berapa kali dia bertemu apalagi harus terlibat obrolan dengan sang atasan yang menjabat peranan penting dalam perusahaan. Selain itu, karena ruang kerja Moza ada di lantai tiga, tentulah jarang baginya berinteraksi dengan para pejabat penting perusahaan yang berada di lantai satu. Ya, memang. Lantai satu dikhususkan untuk para orang-orang penting perusahaan seperti halnya Manager yang memiliki ruangan khusus dan bersekat. Sengaja di letakkan di lantai bawah agar tak capek naik turun tangga mungkin. Sementara itu, di lantai dua, dihuni oleh divisi sales dan marketing. Sementara lantai tiga ada divisi Technical dan administrasi dan juga bagian keuangan. "Dengar-dengar lagi ... pengganti Pak Gunawan dari luar negeri." Masih juga Mita membahas soal pemimpin baru di perusahaan mereka. Pak Gunawan yang sejak tadi disebut-sebut oleh Mita adalah direktur utama yang sekarang. Karena faktor usia hingga menyebabkan Pak Gunawan harus pensiun dan digantikan oleh orang baru. Yang mengherankan, penggantinya ini tidak diambil dari orang dalam yang jelas-jelas sudah paham mengenai seluk beluk perusahaan. Tetapi justru mengambil dari orang luar. Ah, Moza tak paham dan dia tidak mau tahu soalan begituan. Otaknya sudah terlalu ngebul demi mengurusi pekerjaannya sendiri. Jadi tak mau menambah beban pikirannya lagi dengan memikirkan soalan penggantian direktur utama perusahaan. Asalkan penggantinya nanti adalah orang yang baik dan royal pada karyawan, Moza rasa itu sudah cukup karena dengan memiliki atasan yang royal maka bekerja pun jadi lebih semangat tentunya. "Moz! Macam tak tertarik saja dengan berita ini." "Memang aku nggak tertarik." "Dasar! Sekali-kali kenapa sih kamu ini tertarik membahas soalan lain, bukan hanya gambar dan desain. Ah, begitu ya orang technical. Serius semua." Moza hanya berdecak malas menanggapi apa yang Mita katakan. Bukankah temannya itu juga orang Technical, tapi masih bisa sesantai itu. Dan lagi setelah mengatakan itu pada Moza, Mita pergi meninggalkannya. "Mit! Mau ke mana?" "Pantry. Bikin kopi." "Aku sekalian." "Ogah!" Dan Moza hanya tertawa menanggapi. Lihat saja, meski di mulut akan mengatakan ogah, nyatanya sepuluh menit kemudian gadis itu datang dengan kopi di tangan. Meletakkannya di atas meja kerja Moza. "Makasih Mita cantik." "Jika ada maunya saja mengatakan aku cantik." "Ya, memang kamu cantik." "Traktir makan siang." "Tidak bisa. Nanti siang Mas Edham mau ngajak aku lunch." Ya, Moza tak berbohong. Memang kekasihnya sudah mengirimkan chat sejak pagi tadi dan mengatakan akan membawanya makan siang hari ini. Kebetulan memang tempat kerja Edham, ada di lokasi kawasan industri yang sama dengan tempat kerja Moza. Jadi tak susah sama sekali jika keduanya selalu janjian pergi makan. "Ya, sudah lain kali saja." Dengan begitu pengertiannya Mita berkata. Melebarkan senyuman di bibir Moza. Beruntung mendapatkan sahabat dan teman baik seperti Mita. •••• Edham Linggarjaya. Pria berusia mendekati kepala tiga itu sudah duduk dengan tampannya di dalam mobil yang diparkir depan gerbang kantor tempat Moza bekerja. Siang ini Edham ada janji makan siang bersama sang kekasih yang sudah menjalin hubungan hampir tiga tahun lamanya. "Maaf, Mas. Sudah nunggu lama, ya?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Moza ketika gadis itu membuka pintu mobil milik kekasihnya. Edham hanya mengulas senyuman. "Belum lama juga aku di sini. Ayo buruan masuk. Panas di luar," pintanya yang masih duduk di balik kemudi. Moza mengangguk dan menjatuhkan tubuh di samping Edham. "Banyak kerjaan, hem?" "Iya. Proyek lagi banyak sekali." "Jangan memfotsir diri seperti itu. Jaga kesehatan." Selalu saja penuh perhatian yang membuat Moza enggan berpaling dari pria di sebelahnya ini. "Mau makan ke mana kita?" "Terserah Mas saja." Menjalin hubungan dengan Edham selalu menjadikan Moza merasa diratukan. Perusahaan otomotif tempat Edham bekerja yang dekat dengan tempat kerja Moza, memudahkan mereka untuk saling bertemu hingga intensitas pertemuan di antara keduanya pun terjadi lebih sering. Di sebuah cafe yang lokasinya masih berada di kawasan industri yang sama dengan tempat mereka berdua bekerja, di siang terik seperti ini kondisinya tak pernah sepi karena para pekerja yang tengah memanfaatkan waktu istirahat akan lebih suka menghabiskan waktu di sini. Selain untuk sekedar ngopi, tapi juga dapat memesan beberapa jenis makanan yang memang menjadi menu makan siang di cafe ini. Kini sepasang kekasih itu saling duduk di salah satu kursi yang berada di samping jendela. Tempat favorit Moza ketika mengunjungi sebuah cafe atau resto. Menurutnya, jika duduk di samping jendela seperti ini akan dengan mudah baginya melihat-lihat arah luar juga memperhatikan lalu lalang para pengunjung. Sudah ada dua cup ice coffee di atas meja. Tinggal menunggu makan siang yang belum diantar oleh pelayan. Jam istirahat yang hanya satu jam, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mendatangi cafe terdekat seperti ini misalnya agar ketika harus segera kembali ke kantor, maka Moza tidak akan terlambat. Lain halnya dengan Edham yang bisa sesuka hati keluar masuk kantor tanpa terikat jam kerja karena posisi yang menjabat sebagai Manager Marketing, tak mengharuskan pria itu selalu berada di kantor. Yang penting omzet tercapai sesuai dengan target yang perusahaan berikan. "Moz, ayo kita menikah?" Ajakan seperti ini kerap dilontarkan oleh Edham. Sayangnya, Moza terlalu enggan menjawab, ya aku bersedia. Wanita itu selalu diam penuh dengan pertimbangan. Dan Edham sudah paham akan hal itu. Tangan Edham terulur untuk dapat meraih kedua tangan Moza dan ia genggam dengan erat penuh kelembutan. "Kenapa harus ada status itu yang selalu saja membuatmu ragu menerima pinanganku," ucap Edham mendongakkan kepala Moza dengan bibir sedikit terbuka. Gadis itu ingin menjawab, tapi sulit rasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD