3-Bertemu Lelaki Penggombal

1603 Words
“Mau ke mana, Za?” Langkahku seketika terhenti mendengar pertanyaan itu. Aku menoleh dan mendapati Kak Avram duduk di kursi teras. “Mau cari cemilan, Kak.” “Kakak anter, ya.” Aku menggeleng tegas. Bukannya menolak tawaran Kak Avram, hanya saja aku tak ingin terlalu merepotkan. Sejak Kak Avram tinggal lagi di rumah Mama Verny aku sering merepotkannya. Dia selalu mengantarku ke kampus saat aku ada kuliah pagi. Sedangkan saat kuliah siang aku diantar sopir suruhan Mama Verny. Kak Avram menatapku penuh tanya. Suami Kak Scarla itu terlihat lelah dan sedikit mengurus setelah diangkat menjadi kepala staf keuangan, itu yang aku dengar dari cerita Kak Scarla. Jadi aku tak ingin membuat lelah kak Avram. “Zahya bisa jalan sendiri kok, kan deket di ujung komplek,” jawabku. “Bener? Kamu bawa ponsel, kan? Kalau ada apa-apa hubungi kakak, ya.” “Siap!” jawabku sambil mengacungkan kedua jempolku. Setelahnya aku berbalik dan pergi meninggalkan rumah. Bagiku Kak Avram tipe kakak ipar yang ideal. Dia menyayangiku layaknya adiknya sendiri. Kak Avram sering menanyakan kondisi kakiku dan bagaimana kuliahku. Aku berjalan pelan sambil menikmati angin semilir. Entah pastinya sekarang jam berapa, tapi seingatku saat aku keluar tadi waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Malam ini rasanya aku ingin makan cokelat. Suasana hatiku cukup gundah dan aku butuh moodboaster. Sepulang dari kampus ucapan Flo masih menghantui. Terlebih saat aku melewati kamar Ahmar, setelah dari kamar Kak Scarla. Kamar Ahmar ada di lantai dua berhadapan dengan kamar Kak Avram. Selama aku tinggal di rumah Ahmar, tak sekalipun aku masuk ke kamarnya. Dulu saat Ahmar masih ada aku tak pernah ke kamarnya. Aku pernah sekali ke rumah Ahmar, tapi hanya sebatas ruang tamu. Saat itu aku takut terjadi sesuatu karena Ahmar tengah di rumah sendiri. Awal aku tinggal Mama Verny memintaku menempati kamar Ahmar, tapi aku menolak. Aku tak kuat kalau setiap malam di kamar Ahmar yang pasti banyak hal dan barang yang melekat tentang Ahmar. Mungkin kalau sudah masuk kamar Ahmar aku tak akan mau keluar karena tak ingin terpisah, karena aku merasa dekat dengannya di kamarnya itu. Makanya aku memilih menggunakan kamar tamu, lebih aman. “Selamat malam.” Aku tersenyum singkat ke kasir yang mengucapkan selamat malam saat aku membuka pintu. Tatapanku menjelajah mini market, mencari deretan makanan ringan. Saat melihat deretan premen aku berjalan ke arah sana. Biasanya deretan permen dekat dengan cokelat, itu yang sering aku jumpai. “Ini dia,” gumamku saat melihat cokelat berjejer. Aku mengambil dua buah cokelat, satunya coeklat hitam dan satunya cokelat putih. Aku lalu berbalik mencari makanan ringan. Tatapanku tertuju ke kacang telur, aku ambil kacang telur itu ingat dengan Kak Scarla sangat suka kacang telur. Tatapanku masih tertuju ke deretan makanan ringan, tak ada makanan ringan yang menggugah seleraku. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan menuju kasir. Saat melewati deretan sabun, aku tersentak saat ada seseorang menabrakku. Cukup keras sampai membuatku mundur beberapa langkah, tapi beruntung tak sampai jatuh. “Loh? Lo, kan, yang nangis kemarin?” Aku menatap lelaki yang telah menabrakku itu. Melihat wajahnya, aku merasa pernah bertemu dengannya. Aku amati dirinya sekali lagi, ah ya aku ingat. Lelaki aneh yang menggangguku kemarin. “Permisi, saya buru-buru,” kataku tak ingin dijaili lagi. Setelah mengucapkan itu aku berjalan menuju kasir, meletakkan barang pembelianku dan menunggu kasir menotalnya. Saat sedang menunggu aku meraskan kehadiran seseorang di sebelahku. Aku menoleh dan mendapati lelaki itu berdiri dengan senyumannya. “Gue gak ganggu kok. Gue cuma mau bayar,” katanya. “Totalnya empat puluh lima ribu, Kak.” Mendengar ucapan petugas kasir, aku mengalihkan pandang. Aku mengambil uang di saku celana lantas membayarnya. Tak lama si kasir memberiku uang kembalian dan aku buru-buru keluar. “Jangan pergi dulu!!” Aku menoleh dan mendapati lelaki itu menatapku. Dia berbicara denganku? Aku mengangkat bahu acuh tak acuh dan melangkah keluar. “Hei!! Tunggu!!” Teriakan itu kembali terdengar. Aku tetap berjalan dan tak berniat menunggunya. Dari arah belakang, aku dengar derap langkah. Sepertinya lelaki itu mengejarku. “Kenapa gue ditinggal?” Aku menoleh sambil mengernyit. Ditinggal? Apa lelaki itu tidak salah? Aku tak janjian menunggunya. Aku tetap melanjutkan langkah dan tidak menghiraukan lelaki itu. “Lo bisa ngomong, kan?” Langkahku seketika terhenti mendengar pertanyaan anehnya. Aku menatap lelaki itu tajam, sedangkan lelaki itu menggaruk tengkuk. Aku mengangkat bahu acuh tak acuh lantas melanjutkan langkah. “Beneran lo nggak bisa ngomong?” “Apa, sih?” tanyaku sedikit kesal. “Huh!” Lelaki itu menarik napas lega. Dia lantas mendekatiku dan berjalan di sebelahku. Aku menoleh sekilas, melihat lelaki itu menatapku dengan senyum tipisnya. “Kenapa dari tadi diem aja? Padahal gue ngomong sama lo.” “Maaf kita nggak saling kenal.” Setelah mengucapkan itu aku berlari saat tinggal beberapa lagi sampai gerbang rumah. Aku membuka pintu gerbang lalu masuk. Saat hendak menutup aku melihat lelaki itu berdiri menatapku. Aku buru-buru menutup gerbang, takut dengan lelaki aneh itu. “Nama gue Panca!! Semoga besok kita ketemu lagi, ya!!” Aku tidak menghiraukan teriakannya dan tak berniat membalas. Kenapa aku bisa bertemu dengan lelaki itu lagi? Apa dia tinggal di komplek ini? Ah entahlah, ngapain juga memikirkannya.   ***   Taksi yang aku tumpangi berhenti di dekat taman komplek. Aku turun dari taksi setelah membayar argo. Sore ini aku menggunakan transportasi umum. Pak Samin sopir Mama Verny sedang izin sakit. Sebenarnya aku lebih suka menggunakan taksi. Alasannya karena aku tidak ingin terlalu merepotkan. Aku menatap taman komplek yang sedikit sepi ini. Aku tak tahu ke mana perginya anak kecil yang selalu memadati, mungkin mereka masih tidur siang. Seperti biasa, aku langsung menuju bangku kayu dan duduk di sana. Seketika aku mengambil ponsel dan earphone dari tas, lantas mulai mendengarkan musik. Lagu awal yang terdengar adalah Hero dari Mariah Carey. Aku merasa lagu ini adalah gambaran diriku, tentu saja Hero-nya adalah Ahmar. There's a hero If you look inside your heart You don't have to be afraid Aku ingat masih SMA, aku tak memiliki teman karena bisa sekolah dengan beasiswa. SMA-ku adalah sekolah untuk kalangan berduit. Aku bisa mendapatkan beasiswa di sana karena seleksi penerimaan beasiswa yang selalu diadakan sekolah itu setiap tahunnya. Saat kelas satu dan kelas dua, aku hanya menyendiri di perpustakaan. Tak ada yang mau berteman denganku karena aku tidak modis, tidak gaul tentu saja tidak kaya. Namun, itu berubah sejak insiden Ahmar ke perpustakaan dan meminta tolong kepadaku mencari buku yang dia cari. Sejak saat itu Ahmar sering menyapaku dulu. Membuat Flo dan teman-temannya membenciku. Lalu semuanya seolah berjalan begitu cepat, Ahmar mendekatiku dan kami sering mengobrol. Hingga hari itu tiba, saat Ahmar menembakku dengan surat cinta yang dia selipkan di buku catatanku yang dia pinjam. Seketika semua berubah, aku mulai memiliki teman. Teman sekalasku terutama siswi mulai mendekatiku. Aku berpikir mereka mulai mau menerima kehadiranku. Namun, setelah Ahmar tiada semua kembali seperti semula. “Gue udah tebak kalau lo pasti di sini!” Samar-samar aku mendengar ada seseorang yang berbicara denganku. Aku menoleh dan melihat lelaki semalam tengah duduk di sebelahku. Kalau tak salah namanya Panca. Hah! Dia pasti akan mengangguku lagi. “Gue semalem udah kasih tahu nama gue. Sekarang lo kasih tahu nama lo,” pintanya. Aku masih diam, menikmati lagu Hero. Tatapanku tertuju ke anak komplek yang mulai memadati taman. Bibirku tertarik ke atas melihat tingkah konyol mereka. “Nah gitu dong senyum. Lo itu cantik kalau senyum.” Lelaki itu mengganggu lagi. Aku menoleh, lelaki itu tersenyum lebar dan menatapku intens. Lelaki ini menakutkan. Seketika aku menyampirkan tas di lengan lalu buru-buru beranjak. Lebih baik aku mencari tempat yang aman. “Hei!! Kenapa pergi!!” Samar-samar terdengar lelaki itu berteriak. Aku berjalan cepat ke kursi besi di dekat air mancur. Di tempat ini sedikit ramai, kalau terjadi apa-apa denganku pasti ada yang menolong. Aku duduk lalu menoleh ke bangku kayu. Lelaki itu masih di sana dan melambaikan tangan ke arahku. Buru-buru aku mengalihkan pandang. Lebih baik aku menikmati senja yang sebentar lagi datang. Tatapkanku tertuju ke langit kemerahan. Lagu Krispatih Mengenangmu mulai terdengar. Seketika perasaan sesak memenuhi d**a. Aku memejamkan mata, dengan sendirinya memoriku dengan Ahmar berputar. Aku menikmati bayangan saat Ahmar mengantarku pulang, saat Ahmar memintaku mengajariku matematika dan saat Ahmar mencuri ciuman pertamaku. Bibirku tertarik ke atas ingat aku ngambek selama tiga hari gara-gara Ahmar menciumku. Aku dulu benar-benar konyol. Tak lama lagu Krispatih selesai. Aku membuka mata lalu menatap cahaya kemerahan. Sungguh indah ciptaanmu Tuhan, sama seperti ciptaanmu yang sampai saat ini aku cintai. “Sebenarnya apa lo tangisi?” Tubuhku tersentak mendengar pertanyaan itu. Aku menoleh dan mendapati Panca duduk di sebelahku. Kapan lelaki ini pindah? “Kenapa lo tiap sore nangis?” Satu alisku terangkat. Apa lelaki ini setiap sore di sini sampai tahu aku menangis? Atau jangan-jangan dia penguntit? Buru-buru aku melepas earphone-ku. Aku memasukkan ponsel ke dalam tas lantas berdiri dan meninggalkannya. “Hei!! Lo pergi lagi!! Gue bukan orang jahat. Rumah gue beda tiga komplek doang dari rumah lo!” Aku menoleh dan mendapati lelaki itu berjalan pelan ke arahku. Benarkah begitu? Aku menatap wajahnya lekat. Aku akan menanyakannya nanti ke Kak Avram. “Gue bukan orang jahat kok.” “Hem, oke,” jawabku singkat dengan kewaspadaan tinggi. Panca mengulurkan tangan ke arahku. Aku menatap matanya untuk memastikan. Setelah itu aku menjabat tangannya. “Nama gue Zahya.” “Nama yang cantik seperti orangnya.” Aku mendengus, lelaki itu menggombal lagi. Sepertinya dia termasuk lelaki perayu ulung, belum kenal saja ia sudah seperti itu. Aku lalu berbalik dan melanjutkan langkah. “Mau pulang, ya, Za?” “Iya,” jawabku singkat. “Bareng sama gue ya jalannya. Sayang orang cantik kayak lo nggak ditemenin.” Aku memutar bola mataku. Lihatlah lelaki ini kembali menggombal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD