Kesal

2139 Words
Reine membanting pintu kamar Will saat ia berada di luarnya. Ia menurunkan kantong sampah yang ia ambil dari kamar pria itu dengan gusar. “Menyebalkan! Aku bisa mati muda jika terus menjalani pekerjaan ini dengan si bodoh itu,” gumam Reine seraya mengambil kembali kantong sampah yang ia jatuhkan tadi ke lantai dan melangkah keluar apartemen untuk membuang sampah. Sekembalinya ia dari membuang sampah, ia bertemu Will di ruang tengah, keduanya saling melempar tatapan sinis mematikan sembari mendengkus. “Kamu kenapa masih di sini? Kamu tuli, ya?! Aku gak butuh orang seperti kamu!” Will kembali melontarkan kemarahannya. Reine menahan amarah yang siap meledak bagai lava gunung api dengan mengepalkan tangannya. “Tenang saja, aku juga gak butuh orang seperti kamu jadi aku akan dengan senang hati berhenti mengurusi pria bodoh seperti kamu ini.” Reine melangkah ke meja kaca tempat ia meletakkan tas tangannya, mengambilnya lalu beranjak pergi. Bunyi pintu terbanting saat Reine keluar membuat Will agak terkejut. Ia menyugar rambutnya dengan d**a naik turun. “Huh! Akhirnya, dia pergi juga.” Ia pun beranjak ke dapur kemudian dan akan membuat sesuatu yang bisa ia makan pagi itu, tetapi ia menemukan masakan Reine di atas meja pantry lengkap dengan secangkir kopi yang masih hangat. Dengan tidak tahu diri, Will menyantap sarapan itu dengan masih menyumpahi Reine. Untuk menghibur diri, ia pun beralih ke ponselnya dan berselancar di sosial media. Akhirnya, ia bisa tertawa dan melupakan kekesalannya pada Reine dengan hiburan yang ia dapatkan di sosial media. Sementara itu Reine dengan kemarahan yang masih menggantung di dalam dirinya, duduk di dalam taksi yang akan membawanya untuk menemui Arthur. Reine menghubungi nomor Arthur tetapi tidak ada jawaban. Sesampainya di gedung tempat ia akan bertemu Arthur, gadis itu langsung saja masuk ke ruangan Arthur dengan wajah kusut masai. “Aku mau berhenti!” Reine tanpa basa-basi mengatakan kalimat sakral itu. Arthur menghela napas dan menatap Reine dari balik bulu matanya. “Kamu terlalu terbawa perasaan dengan Will.” “Aku muak!” Reine memperlihatkan wajah ingin menangis sekaligus kagok. “Kamu tahu kalau Will-“ “Aku tidak peduli! Aku bisa mati muda kalau terus mengurus pria bodoh seperti dia!” Reine menghempaskan tubuh ke sofa yang ada di sisi kiri. Ia kemudian menutup wajah dengan kedua tangannya dengan kedua sikunya ia letakkan di atas pahanya. Lalu ia menyugar rambutnya, terlihatnya wajahnya yang basah dengan air mata. “Aku akan berhenti. Kau bisa cari orang lain yang bisa mengurus si bodoh itu.” Hidung Reine sudah tampak memerah akibat menahan tangis, tetapi tidak begitu berhasil. Ia tetap menangis. Arthur menghela napas panjang kemudian menghampiri Reine dan duduk di single sofa yang berseberangan dengan gadis itu. “Kau tahu cara kamu yang bisa aku andalkan untuk mengurus Will. Jangan buang kesempatan ini, Rei,” bujuk Arthur yang bukan untuk pertama kalinya. Namun, Arthur selalu berhasil untuk tetap membujuk gadis itu untuk bersabar pada Will. “Jangan membujukku, kau tahu kalau aku yang menjalani ini. Tidak, aku berhenti, Arthur. Will kuserahkan padamu mulai sekarang dan jangan ganggu aku lagi.” Reine berkata dengan nada tegas tak ingin diganggu gugat. Arthur berdecak dan mulai frustrasi, ia khawatir kali ini ia tidak bisa membujuk gadis itu. “Kau tahu cuma kamu yang cocok dengan Will.” Reine mendengkus sembari tersenyum sinis mendengar perkataan Arthur. “Cocok katamu? Kami seperti musuh abadi yang dipaksa untuk bersatu. Kamu tidak tahu bagaimana Will dengan semua kelakuan bodoh dan dungunya.” Reine begitu marah ketika ia mengingat semua yang ia lakukan untuk Will, termasuk acara bersih-bersih bak babu yang ia lakukan selama ini. “Tidak ada yang cocok dengan Will, kau tahu itu, dan yah, aku tahu kelakuan Will yang suka bersenang-senang dengan gadis-gadis yang adalah fansnya sendiri, tapi hanya kamu yang bisa tahan dengannya sejauh ini. Semua orang menyerah atas dirinya kecuali kamu, dan itu yang buat aku suka dengan pribadi gadis sepertimu yang harus menangani Will.” Arthur bicara panjang lebar hanya agar Reine membatalkan niatnya untuk berhenti. Jika Gadis itu berhenti, pekerjaannya akan semakin bertambah. Will sudah cukup membuatnya pusing jangan lagi dengan perginya Reine. “Will itu hewan liar, dan aku bukan pawang hewan liar, aku manajer artis,” ucap Reine dengan kekesalan yang masih ada. Belum berkurang sedikit pun. “Aku akan bicara pada Will, dan kamu ambillah libur.” Arthur memberikan solusi yang direspon Reine dengan memalingkan wajah masam dari Arthur. “Tidak, aku mau berhenti.” Sekali lagi Reine kekeh dengan keputusannya, ia mengatakan itu seraya menoleh kembali ke arah Arthur. “Rei, please... Kamu yang terbaik untuk Will.” Arthur masih berusaha membujuk. Reine menggeleng. “Aku lelah,” ungkap Reine dengan tatapan hampir putus asa. Matanya sembab dan hidungnya merah karena menangis. “Ambillah libur sesuka hatimu, aku akan bicara pada Will. Aku janji ini akan beres, oke?” Arthur pun memulai kesepakatannya. Reine menghela napas berat. “Kalau ini tidak berhasil, aku tetap memilih berhenti. Lebih baik untuk kesehatan mentalku,” ujar Reine yang membuat Arthur akhirnya mengangguk lemah dengan wajah lelah. Reine bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja setelah negosiasi yang melelahkan itu. Untuk melepaskan stress, Reine memilih untuk pergi ke mall jalan-jalan. Sementara itu, Arthur merusak wajahnya dengan kasar setelah ia kembali sendirian di ruangannya. Ia tidak tahu mengapa Will yang bisa mendatangkan uang banyak untuknya berkelakuan buruk seperti itu. Namun, ia juga tidak bisa sembarangan mengambil keputusan. Arthur mengeluarkan ponselnya dan menerima pesan dari Reine kalau hari ini Will ada pemotretan dan ia yang harus menemani pria itu karena Reine terhitung libur. Ia pun beranjak ke apartemen Will untuk menemui pria itu akan jadwal pemotretannya. Pada belum pertama, Will membukakan pintu untuk Arthur. Pria itu mengernyitkan kening saat melihatnya. “Kenapa ke sini?” tanya Will. “Biarkan aku masuk dulu, kita bicara di dalam.” Arthur menampakkan wajah setengah kesal dan lelahnya. Will pun menyingkirkan tubuhnya untuk memberi jalan pada pria itu. “Kau ingin bicara apa?” Tanpa basa-basi Will langsung saja bertanya saat Arthur baru saja meletakkan bokongnya di sofa. Arthur menatap Will sejenak dengan tatapan lelahnya dan selama beberapa detik mereka berdua saling menatap dengan pemikiran masing-masing. “Sekali saja, kau mencoba memperbaiki sikapmu.” Arthur memecah hening di antara mereka, Will mendengkus sembari berpaling dan tersenyum sinis. “Apa si gendut itu yang melapor padamu? Bukan aku yang seharusnya jaga sikap, tapi dia. Dia yang tidak bisa memahami aku karena dia terlalu kaku.” Will dengan semua sikap egoisnya mendebat Arthur. “Tapi selama ini, cara Reine yang bisa kamu andalkan, kan?” Pertanyaan itu tentu menohok Will dengan telak. Tidak bisa ia pungkiri, Reine selalu bisa menangani semua kekacauan dan hal-hal yang ia sebut dengan bersenang-senang dengan baik dan tanpa cela. Will bungkam seketika. “Untuk sementara, Reine cuti, aku yang akan menangani selama dia tidak ada.” “Baguslah kalau begitu, aku tidak keberatan.” Pembicaraan mereka pun berakhir dengan Arthur yang memberitahu jadwal pemotretan Will hari ini. Setibanya di lokasi pemotretan, Will benar-benar membuat Arthur kewalahan. Will menghempaskan kotak makan siang yang ia terima dari Arthur. “Apa kau sudah gila? Aku tidak makan makanan seperti ini, beri aku makanan seperti biasanya.” Will kesal dan duduk dengan menyandarkan punggungnya ke kursi santai miliknya, kedua kakinya pun ia julurkan ke depan. Arthur menatap Will dengan perasaan kesal tetapi mencoba sabar. “Mana aku tahu kau makan apa setiap siang makan siang selama ini,” ujar Arthur yang mencoba terdengar bersabar. Pertengkaran mereka menjadi tontonan kru pemotretan di studio siang itu. “Kenapa kau tidak tanya sama manajer gendut kesayanganmu itu?” Will mendengkus. Arthur menghela napas panjang. Ia pun berbalik dan menjauhi Will untuk menelepon Reine. “Halo, Rei, ini aku.” Arthur duduk di salah satu kursi yang ada di studio tak jauh dari Will yang saat ini tengah meminum sebuah minuman bersoda di kaleng yang diberikan oleh seorang fans wanita. Will tampak berbasa-basi dengan gadis itu dan terlibat pembicaraan ringan. “Ada apa? Halo, Arthur?” Mendengar suara Reine yang memanggilnya Arthur kembali fokus ke teleponnya setelah tadi memerhatikan gerak gerik Will yang mulai terlihat menggombal gadis yang saat ini bicara dengannya. “Oh, ya, kau tahu apa yang biasa dimakan Will makan siang?” Arthur menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Terdengar Reine menghela napas di seberang sana lalu menyebutkan menu makanan yang biasa dimakan Will. “Baiklah, Terima kasih informasinya dan... Hei, aku sudah bicara dengan Will tentang kalian. Aku akan berusaha membujuknya untuk berbaikan denganmu.” Sementara itu, Reine di tempat lain terdiam mendengar perkataan Arthur. “Kalau dia tidak mau, aku juga tidak.” Reine tetap pada pendiriannya dan itu semakin membuat Arthur pusing. “Hei, jangan begitu, kau tahu hanya kau yang bisa kupercaya untuk menangani Will, aku akan menambah gajimu.” Akhirnya Arthur mengeluarkan iming-iming andalannya. “Tidak, Arthur, kau tidak tahu beban sikis yang aku alami,” ucap Reine di seberang sana dengan nada frustrasi. “Ayolah... Itu sudah yang paling tinggi, aku tidak bisa memberimu di atas penawaranku ini.” Tiba-tiba terdengar Will berteriak memanggil Arthur. “Arthur! Mana makan siangku!?! Aku tidak bisa bekerja dengan baik kalau perutku lapar, teganya kau memperlakukan artis penghasil uang terbesarmu seperti ini!” Suara Will yang bergema dan menyalak bak anjing galak penjaga rumah bisa didengar Reine dari seberang line. Arthur menghela napas kemudian pamit pada Reine. “Aku tutup dulu, nanti kita bicara lagi.” Setelah mematikan sambungan telepon, Arthur mendengkus. “Kalau saja kau tidak menghasilkan uang yang banyak untukku, sudah kucincang habis kau,Will,” gumam Arthur dengan kesal yang ia tahan sebisa mungkin agar tidak meledak. Arthur berjalan menuju pintu keluar untuk membeli makan siang will. Setelah beberapa saat, ia pun meletakkan makan siang itu dengan sedikit melemparnya di meja kecil di dekat kursi yang Will duduki saat ini. “Ini makananmu, makanlah dan setelah itu lakukan tugasmu.” Arthur menampakkan wajah datar tanpa ekspresi. Will berdecih kemudian menatap makanan yang diberikan Arthur padanya. “Kau pikir aku hanya makan? Seharusnya kau juga memberiku minum.” Will berkata dan Arthur seperti akan menelan hidup-hidup pria itu di pikirannya. Ia menghela napas panjang setelah menghirup udara cukup banyak melalui hidung. “Kau mau minum apa?” tanya Arthur berusaha sabar. “Kau memang payah, ambilkan aku jus jeruk dan air,” titah Will dengan gerakan tangan mengusir pada Arthur. Bak robot yang diperintah tuannya, Arthur pun beranjak untuk memenuhi permintaan Will. Setelah makan siang penuh drama itu, penderitaan Arthur belum berakhir. Ia masih harus menjadi babu seorang Will sampai pemotretan selesai. Namun, saat sesi break pemotretan itu, Will kembali berbincang dengan gadis yang tadi diajaknya bicaranya saat jam makan siang. Gadis itu mengaku sebagai fansnya. Will cukup tertarik dengan gadis itu sehingga ia meladeninya. “Jangan terlalu cepat terpesona dengan gadis-gadis. Itu bisa berakibat buruk dengan citramu.” Arthur kembali mengingatkan. Mereka dalam perjalanan pulang ke apartemen Will. “Aku sudah bosan mendengar nasehat itu darimu, dan bukankah selama ini kau berhasil menutupinya? Itu sidah menjadi tugasmu, anggap saja kita impas. Aku menghasilkan uang yang banyak untuk orang-orang sepertimu dan kau membuatku menikmati jerih payahku tanpa masalah.” Dengan berlagak santai, Will sibuk membalas chat dari gadis yang akan ia ajak tidur malam nanti. Sementara Arthur bertindak sebagai supirnya. “Tapi setidaknya kau perlu memerhatikan peringatan ini. Aku tidak akan mencampuri kehidupan pribadimu tapi-“ “Keputusan yang bijak,” ucap Will seraya menjentikkan jarinya. Arthur menghela napas. Ia pun setuju dengan perkataan Reine kalau Will seperti hewan liar. Ia pun semakin bertekad untuk bisa membujuk gadis itu agar tidak berhenti. Tidak ada yang bisa menangani Will sebaik Reine. Itulah yang ditanamkan Arthur di otaknya. Semua manajer yang pernah menanganinya kabur dalam jangka waktu yang tidak lama, berbeda dengan Reine yang begitu sabar. “Aku hanya ingin kau dan Reine berbaikan dan saling menghormati, Will. Kau membutuhkan orang seperti Reine, kalian tim hebat yang selama ini.” Arthur berusaha memuji keduanya. Will pun tidak dapat memungkiri hal itu, ada sisi di mana dia dan Reine saling klop. “Akan kupikirkan.” Will berucap tetapi fokusnya ke layar ponselnya. Arthur tersenyum tipis, sekarang giliran ia membujuk Reine. “Nanti malam aku ada janji dengan seorang gadis, atur pertemuanku dengannya di salah satu restoran mewah.” Will lagi-lagi memberikan titah yang membuat Arthur seolah ingin melempar pria itu lebih gunung api. “Kau tidak takut terekspos media? Minggu lalu ada tiga paparazzi yang tertangkap basah mengikuti.” Arthur mengingatkan lagi insiden minggu lalu yang untung saja bisa ditangani Reine dengan baik. Lagi-lagi, Reine yang menjadi penyelamat Will saat nama baik pria itu hampir saja terseret skandal. Seorang paparazzi berhasil mengabadikan foto Will dengan berciuman dengan penuh napsu dengan seorang gadis di mobil pria itu. Untung sana foto panas itu tidak sempat tersebar karena Reine sudah mengambil tindakan atas kejadian itu. “Baiklah, aku akan menyuruh gadis itu datang di apartemenku,” putus Will akhirnya yang hanya membuat Arthur menghela napas panjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD