bc

The Special Ability

book_age12+
87
FOLLOW
1K
READ
tragedy
no-couple
mystery
scary
expert
male lead
multiverse
supernature earth
supernatural
special ability
like
intro-logo
Blurb

INNOVEL WRITING CONTEST -- THE NEXT BIG NAME

Erick Swan, ia adalah seorang pemuda yang memiliki kemampuan istimewa. Erick dikaruniai penglihatan masa depan mengenai kematian seseorang. Hanya dengan menatap mata oranglain, ia dapat melihat kapan dan bagaimana mereka mati.

Orang-orang yang belum waktunya mati, maka bisa diselamatkan. Namun, hidup dan mati seseorang tetaplah di tangan Tuhan, Erick tidak bisa merubah takdir yang maha kuasa Karena kemampuannya ini Erick juga terjatuh dalam jurang bahaya, ada sekelompok peneliti yang ingin menjadikannya sebagai kambing percobaan, Erick juga harus berhati-hati agar dirinya tidak diperalat oleh orang lain.

(Silahkan tekan tanda Love dibagian kanan bawah, agar cerita ini tersimpan di library kalian)

chap-preview
Free preview
1. THE SPECIAL ABILITY
Erick Swan adalah seorang pria berusia 22 tahun, kesehariannya hanya lah berkuliah di pagi hari dan siangnya menuju ke bengkel mobil tempatnya bekerja. Hari ini ia sedang berada di bengkel mobil, menghitung kendaraan-kendaraan yang mangantre untuk diperbaiki. Ia mendesah pelan karena ada sekitar tujuh mobil di sana, padahal hari ia perlu ke rumah sakit untuk menjenguk keadaan adiknya yang dirawat, Luisa menderita penyakit kanker hati, Erick hanya mempunyai adiknya sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki. “Rick, ambilkan obeng di atas rak.” Seorang pemuda lain berujar, pemuda itu sedang berjongkok melihat kerusakan pada mobil pelanggannya. Erick yang sedang melamun pun tersentak, ia benar-benar tidak fokus bekerja karena memikirkan keadaan adiknya. “Ahh ya, tunggu sebentar.” Erick bergegas berjalan memutari mobil-mobil itu, pergi menuju rak penyimpanan alat-alat bengkel. Ia melihat-lihat dengan cermat ada di mana alat tersebut, hingga matanya menemukan segepok peralatan bengkel di sana, Erick pun segera meraihnya tanpa hati-hati. BRAK! Segepok alat-alat itu jatuh mengenai kaki Erick, pemuda itu meringis pelan sambil melihat luka menganga pada kuku kakinya. “Aghh…” Erick meringis kecil, rasanya perih dan nyeri. Sekelebat bayangan Luisa tiba-tiba muncul dalam pikirannya, Erick semakin merasakan kecemasan luar biasa. Ia buru-buru memungut alat tersebut dan memberikannya pada Liam, teman kerjanya. Liam melihat bawah kaki Erick lalu berkata, “Ehh kakimu terluka?” “Bukan masalah, hari ini aku tidak bisa bekerja karena harus menjenguk Luisa di rumah sakit, tolong izinkan pada Bos.” Liam mengangguk kecil sambil menerima obeng dari Erick, ia merasa kasihan dengan rekan kerjanya ini karena harus hidup tanpa orangtua dan menjadi tulang punggung keluarga. “Ya, obati dulu kakimu.” Teriak Liam saat Erick lebih dulu berlari terburu-buru. “Nanti saja,” balasnya. Erick menaiki sepeda yang terletak di halaman bengkel, berbekal kayuhan sepeda itu ia menuju ke rumah sakit. Jalanan agak becek karena air gerimis yang menghujani daratan, Erick sama sekali tidak terganggu dengan rintikan demi rintikan tersebut. Para pejalan kaki langsung berteduh kala gerimis melanda, ini memudahkan Erick agar bisa mengebut di jalanan beraspal itu.   Sepanjang jalan ia terus memikirkan keadaan adiknya, tak terasa setitik air matanya tumpah bercampur dengan air hujan. Gerimis yang tadinya hanya rintik-rintik berubah menjadi hujan yang cukup deras, Erick sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, yang penting ia segera sampai di sana.   Setengah jam telah terlewati, akhirnya Erick sampai di rumah sakit pinggiran kota, bangunan itu tak terlalu mewah, hanya rumah sakit sederhana yang menampung sedikit pasien.   Erick menyandarkan sepedanya pada tiang listrik, setelahnya ia langsung masuk rumah sakit dengan pakaian basah kuyup. Tetesan air yang berasal dari pakaian basahnya terjatuh di lantai, membuat jejak-jejak langkah pria itu.   Sepanjang mata memandang hampir semua orang melihat ke arah Erick dengan kening berkerut, dipikirnya Erick sudah gila karena basah-basahan tanpa mempedulikan keadaannya sendiri.   Dinginnya ruang ber AC sontak saja membuat Erick menggigil, ia berusaha memeluk tubuhnya sendiri agar tidak kedinginan.   Ia berbelok ke lorong sebelah kiri, ada ruangan-ruangan berjejeran, ia menghitung nomor ruangan itu hingga sampai ke ujung.   Dandelion.13 ruangan Luisa, buru-buru Erick masuk ke dalam. Ia mengernyitkan dahi bingung tatkala melihat ada Dokter serta Perawat yang sedang mengerubungi ranjang Luisa. Erick mendekat pada mereka, sepertinya  ada yang tidak beres dengan Luisa.   “Dokter, ada apa dengan adikku?”   Dokter menatap Erick lalu menggeleng pelan, gelangan yang cukup ambigu. Erick melihat bahwa Perawat mulai melepaskan alat bantu oksigen serta infus yang tertancap di punggung tangan Luisa, hal ini membuat Erick kalang kabut.   “Suster, kenapa kau melepaskan alat bantu Luisa?” Erick mendekat pada Suster wanita, berusaha untuk menghalangi tindakannya. “Perlu kami sampaikan bahwa pasien Luisa tidak bisa diselamatkan, kankernya sudah menyebar di seluruh tubuh. Anda bisa mempersiapkan pemakamannya, saya turut berduka!” Dokter itu berujar.   Tubuh Erick menegang, perkataan Dokter seolah petir yang menyambar tubuhnya. Kepalanya menoleh dengan kaku pada Luisa, benar saja wajah Luisa sangat pucat khas mayat. Bibirnya kering pecah-pecah, tidak ada deru napas terdengar.   Luisa meninggal! Keluarga terdekat Erick satu-satunya.   Erick menggeleng pelan, ia tertawa dengan miris. “Tidak mungkin adikku pergi secepat itu, kalian berbohong. Suster, jangan lepas alat bantu Luisa!”   Erick tidak mau menerima kenyataan pahit ini, ia masih ingin bersama adik tercintanya. Dokter dan perawat pun hanya bisa menatap Erick dengan iba, sebagai paramedic, mereka sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi takdir lah yang menentukan segalanya.   Erlin berjalan dengan gontai menuju ke luar pintu, ia terduduk di lantai yang dingin dengan mata menyorot tanpa arti. Andai saja ia lebih cepat mengetahui penyakit sang adik, mungkin Luisa tidak akan mati secepat ini. Andai saja Erick mempunyai kemampuan untuk melihat kematian seseorang, ia bisa menyelamatkan nyawa adiknya. Nasi sudah menjadi bubur, Luisa memang sengaja menyembunyikan penyakitnya agar Erick tidak cemas.   Banting tulang Erick bekerja untuk menghidupi dirinya dan sang adik, ia juga bekerja amat keras akhir-akhir ini demi membayar biaya perawatan Luisa.   Setelah ini ia harus hidup sendiri, Erick tersenyum miris meratapi nasib buruknya. *** Rinai hujan membasahi bumi, tanah kering menjadi basah seketika tercucuri oleh air hujan. Sebuah gundukan tanah yang masih baru terlihat dikelilingi oleh beberapa orang, salah satu dari orang itu duduk bersimpuh menatap lekat batunisan. Luisa Swan, itu nama yang tertera di sana. Erick mengusap batunisan Luisa dengan sayang, berharap agar adiknya tidak lagi merasakan sakit, Luisa sudah berada di surga bersama Tuhan. “Erick, tabahkan hatimu.” Liam menepuk pundak Erick untuk memberikannya dukungan mental.   Erick menghirup napas dalam-dalam lalu membuangnya, ia harus tegar menjalani hidup setelah kematian sang adik. Erick melepaskan kacamata hitam miliknya, matanya terlihat memerah sembab, ia berusaha untuk menghapus air mata itu.   Sejurus kemudian orang-orang yang tadinya memenuhi makam pun berangsur-angsur pergi. Tinggal lah Erick sendiri, sekali lagi ia menaburkan segenggam bunga mawar merah favorit Luisa, lalu berusaha untuk tersenyum meski sakit.   “Selamat tinggal, Luisa. Semoga kau bahagia di sana, percayalah bahwa kakak sangat menyayangimu.”   Hari-hari berlanjut seperti biasanya, hanya saja kini rumah Erick semakin sepi saja. Ia juga telah memindahkan barang-barang Luisa ke dalam kotak kardus lalu menyimpannya di gudang. Rumah Erick terletak dipinggiran kota, tidak mewah ataupun besar. Kini pagi-pagi sekali Erick langsung berangkat menuju kampus, sudah tidak ada lagi alasan untuknya berlama-lama di rumah. Bagi Erick, jika ia keseringan berada di rumah maka itu akan mengingatkannya pada Luisa.   Erick berjalan melewati koridor yang masih sepi, tentu saja sepi, mahasiswa paling rajin pun tidak akan berangkat sepagi Erick. Pria itu memasuki ruang kelas, ia mengambil tempat duduk paling pojok belakang.   Erick menghela napas pelan, setelahnya ia membuka buku-buku literasi tentang dunia otomotif. Dirinya mengambil program studi Teknik Mesin dan Industri, sehingga antara materi dan praktik bisa ia kembangkan secara bersamaan sekaligus.   Di sini ia tak mempunyai teman, Erick tergolong mahasiswa pendiam yang jarang bergaul. Selepas kuliah, ia langsung pergi menuju bengkel untuk bekerja, Erick juga tidak berminat membuat hubungan pertemanan dengan mahasiswa lainnya.   Erick fokus pada buku bacaannya, sehingga menit pun terus berputar, tak terasa kini ruangan yang tadinya amat sepi berubah menjadi ramai. Suara-suara tawa dan berisik juga terdengar, mayoritas kelas adalah laki-laki, sisanya wanita hanya tiga orang saja.   Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, saat itu pula ada seorang mahasiswa yang masuk ke dalam ruang kelas dengan terburu-buru bersama gerombolannya. Itu adalah Zack Kylian, pentolan kampus yang cukup terkenal dikalangan para wanita. Zack sangat sombong dan arogan, ia tak segan-segan merundung dan menghina mahasiswa lain yang dianggap sebagai kutu.   Ketika Zack masuk ke dalam kelas, suasana riuh tadi pun terhenti seketika, hampir semua mahasiswa di sini merasa canggung dengan Zack.   Zack ingin berulah, ia memindai seluruh isi ruang kelas lalu tatapannya tertuju pada Erick yang fokus membaca buku.   Zack diikuti dengan Nino berjalan menuju Erick, senyuman sinis terukir dari bibirnya.   BRAK! Zack memukul meja Erick hingga terdengar suara bedebum keras, tapi Erick sama sekali tak menanggapi. Ia sudah terbiasa mendapat perundungan dari Zack, ia hanya perlu diam sampai pria itu pergi dengan sendirinya. “Hai, kutu buku si montir mobil.” Zack berujar dengan nada meremehkan.   Erick masih diam, Zack memang sering merendahkan profesi orang lain.   “Malang sekali hidupnya tidak pernah mempunyai teman, hanya kuliah pulang – kuliah pulang dan seperti itu seterusnya. Bekerja di Bengkel? Halah, gajinya juga tidak seberapa.” Zack tertawa terbahak-bahak setelahnya, disusul oleh Nino dan gerombolannya yang lain.   Erick menghela napas kasar, ia terganggu dengan suara berisik Zack yang mengganggu konsentrasi bacaannya.   “Heh, bisu ya?” tanya Nino.   “Ohh kalian dengar kabar terbaru? Adiknya Erick baru saja meninggal kemarin, menurut informasi karena kanker. Aishh, menyedihkan sekali nasib gadis itu, penyakitan!” Sahut Zack lagi.   Tiba-tiba saja tangan Erick mengepal dengan sempurna, ia sangat marah jika adiknya diseret-seret oleh Zack. Bisa saja Zack menghina dan mencaci maki dirinya, tapi Erick tidak akan rela jika ada orang berani mengganggu nama adik tersayangnya.   Erick bangkit berdiri dengan cepat, ia menatap Zack dengan pandangan amarah.   “Jangan kau bawa-bawa adikku dalam hal ini, ia tidak ada urusannya denganmu.” Ujar Erick dengan nada dinginnya, baru kali ini ia marah ketika dihina.   Zack pura-pura takut, “Oh ya, begitu? Aku sama sekali tidak takut.”   “Lagipula aku berbicara fakta, adikmu yang bernama Luisa mati karena penyakit! Kau kakak yang tidak becus.” Sahut Zack lagi yang semakin membuat hati Erick panas.   “Diam, tutup mulutmu, Zack!” Erick sudah berusaha ikhlas menerima kepergian sang adik, tapi kini ada saja orang yang mengingatkan memori menyedihkan itu lagi.   “Apa ‘hah?”   BUGH!   Erick memberikan bogem mentah pada Zack, ia tidak mentolerir orang yang telah menghina adiknya. Luisa bukan orang penyakitan, Erick juga sudah melakukan upaya terbaik bagi adiknya.   Keributan terjadi di kelas itu, mereka semua tak menyangka jika Erick berani melawan Zack.   Zack sendiri terhuyung ke belakang hingga menimpa Nino.   Saat mereka ingin menyerang balik Erick, disaat bersamaan muncul Dosen yang akan mengajar, sehingga menghentikan pertengkaran untuk sementara.   “Awas kau, Erick.” Zack memberi peringatan keras pada Erick, ia akan menuntut balas hingga puas. Erick sama sekali tidak takut, ia tidak salah. Ini adalah ulah Zack sendiri, memancing kemarahan seorang Erick Swan.    Erick berjalan menyusuri jalanan kota yang cukup ramai, awan mendung masih membumbung tinggi. Kaki-kaki itu terus melangkah hingga Erick berbelok ke sebuah g**g yang mulai sepi, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Sedikitnya hawa dingin merangsek masuk dalam dirinya, Erick menyukai cuaca mendung, tapi ia tidak suka hujan.   Erick menghela napas, kepalanya mengadah ke depan. Samar-samar ia bisa melihat kilatan cahaya dari pepohonan yang rindang, ia mengerjapkan mata untuk memastikan penglihatannya tak salah.   Dengan langkah ragu-ragu, pria itu mendekat pada pohon yang mengeluarkan sinar cahaya. Erick menatapnya dengan penuh penasaran, kini dirinya sudah berada tepat di depan pohon tersebut. Erick memindai cahaya yang membentuk sebuah portal, ia memberanikan diri untuk menyentuh portal itu, hingga tiba-tiba ada sebuah tarikan kuat yang menarik tangannya untuk masuk ke dalamnya. Erick membelalakkan matanya kaget, saat ia ingin berusaha melepaskan diri, justru tarikan itu bagai magnet yang amat kuat. “Lepas! Tolong aku, arghhh….” Perlahan tubuh Erick mulai masuk ke dalam portal tersebut, rasanya ia melayang bagai di angkasa.   Suasana berubah jadi sepi mencekam, Erick terjatuh di padang bunga yang begitu luas. Ia mengerjapkan matanya dengan pelan, berusaha untuk menatap sekeliling. “Ada di mana aku?” gumamnya sembari berdiri. Sepanjang mata memandang, yang terlihat di mata Erick adalah hamparan bunga indah. Pria itu mengucek matanya lagi, benar, ia tidak salah lihat. Bunga-bunga ini sangat beragam warnanya, Erick mencoba untuk melihat salah satunya dengan detail. Kelopak bunga mawar merah, ini adalah kesukaan Luisa. Tangan Erick mencoba untuk memetiknya, di saat yang bersamaan terlihat bayangan Luisa ada di dalam kelopak bunga itu. Erick tersentak kaget, dengan matanya sendiri ia melihat bagaimana Luisa mati meregang nyawa akibat penyakit yang dideritanya. Erick segera membuang bunga itu, ia syok. Bagaimana mungkin ia bisa melihat kematian adiknya di sana? Ini gila.   Erick meraup wajahnya dengan kasar lalu bergumam, “Tidak mungkin.”   Tak hanya itu, kini bunga-bunga disekeliling Erick pun bisa memperlihatkan proses kematian banyak orang, termasuk orangtua Erick sendiri. Erick tidak tahan lagi, ia takut dengan penglihatannya. Pria itu berusaha berlari sejauh mungkin untuk menghindari hamparan bunga ini, ia tak mau melihat proses kematian yang mengerikan. Erick seolah-olah dipermainkan oleh alam, sejauh ia melangkah lari, proses bayangan kematian selalu mengikuti dirinya. Erick melupakan sesuatu, bukankah dirinya sendiri berharap untuk bisa melihat proses kematian seseorang sebelum orang itu benar-benar meninggal? Setidaknya, dirinya ingin menyelamatkan orang-orang yang masih bisa diperjuangkan kehidupannya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marriage Aggreement

read
81.3K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
861.1K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.5K
bc

JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU

read
4.2K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.4K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
625.4K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook