Matahari hampir tenggelam. Jingga mulai terlihat di langit barat. Chris berhasil mengalihkan perhatian gadis-gadis yang mengejarnya. Segera pergi ke markas Aron. Namun, Aron tidak ada di sana. Chris kesulitan membuka markas itu yang ternyata dikunci.
"Ah, dasar pak tua! Jangan-jangan dia masih berkeliaran menyanyi tidak jelas. Ayolah, ini sudah hampir malam!" menendang pintu markas itu sambil menggerutu.
Berdecak tidak ada yang bisa dia lakukan. Duduk di sudut markas sambil bermain batu kerikil. Dia melemparnya ke jalanan. Wajah lesu tak menghilangkan kadar ketampanannya membuat beberapa orang yang lewat memperhatikannya. Chris sudah bosan ditatap penuh takjub seperti itu. Apalagi sambil senyum menggoda, rasanya sungguh tidak menyenangkan.
"Bagaimana para aktor bisa senang dipuji? Aku tidak begitu." gerutu Chris sambil menunduk kembali bermain kerikil.
"Perjalanan ini terasa menyakitkan. Seperti sungai darah mengalir dari hulu ke hilir. Malapetaka selalu mengancam. Mimpi buruk kerap kali datang. Berharap ada sepercik cahaya datang menyelamatkan.... Mimpi indah di malam bersama gadis tercinta. Tiada angin atau badai yang mampu menerjangnya. Siapakah diri ini yang penuh duri nestapa. Hanya hati dan bekas luka yang menemani, diriku hingga kini..." petikan gitar itu usai bersamaan dengan lagu asing.
Sontak Chris mendongak. Berdiri tersenyum melihat kedatangan Aron yang tengah bernyanyi seperti menyambutnya.
"Wah, kau membuat lagu sendiri? Kenapa sedih sekali?" Chris bersemangat.
"Karena aku tau kau akan datang. Terima kasih sudah setuju." Aron setia dengan senyumnya.
"Cih! Aku hanya kasihan padamu." Chris berkacak pinggang memalingkan perhatiannya sebentar.
"Haha, dasar anak muda." Aron melempar gitarnya pada Chris lalu membuka gerbang markasnya. Chris sedikit tersentak menerimanya. Kemudian memainkan senarnya pelan. Ikut masuk ke markas bersama Aron. Masih sama seperti sebelumnya, gudang yang besar.
"Kenapa tidak pagi saja?" tanya Aron sambil menutup gudangnya.
"Aku, 'kan kuliah." Chris masih memetik gitar. Lalu, menaruh gitar itu di pojok ruangan. Aron menatapnya dalam. Chris jadi salah tingkah. "Apa?" mengangkat bahu bertanya.
"Kau akhirnya setuju," ujar Aron.
Chris tersenyum, "Ayolah, aku, 'kan kuat." menepuk otot lengannya.
"Kau dengar laguku? Seperti itu yang akan kau alami di sana. Ada banyak bahaya dan rintangan, juga ada keajaiban yang membuatmu takjub tak berkesudahan," lanjut Aron.
"Kau seperti memberiku bekal dan aku terlihat mengorbankan diri. Kalau kau tidak mau aku menyambung misimu, tidak apa-apa. Akan kubocorkan duniamu pada seluruh warga kota Vier." Chris melipat tangan di d**a sambil tersenyum bermain.
Aron berdecih walau tersenyum, "Kau benar. Pilihan tidak boleh diubah. Baiklah, kau siap?"
"Sedia!" jawab Chris lantang.
Aron memutar cermin ke arah lampu, seketika keajaiban yang sama seperti kemarin datang. Sepatu Chris mulai menginjak pasir dari gurun. Benda-benda unik milik Aron pun terlihat. Aron mengambil sebuah kalung batu giok yang tertuliskan namanya. Memberikan itu pada Chris.
"Pegang dan genggam erat-erat," kata Aron.
Chris menerimanya tanpa ragu. Dia menggenggamnya erat sesuai perintah Aron. "Untuk apa kalung ini?"
"Aku tidak memberimu bekal apapun, hanya kalung ini yang tertuliskan namaku. Awalnya aku ingin memberikan pedangku agar kau bisa melindungi diri di sana, tetapi itu hanya akan mempersulit dirimu," Aron serius.
"Kenapa?" dahi Chris sedikit berkerut.
Aron menyampingkan dirinya, "Pedang seberat itu mana bisa kau mengangkatnya?"
Chris mengepalkan tangan ingin meninju kepala Aron, "Sialan kau, Paman! Aku bisa mengangkatmu dengan satu jari!"
"Hahaha, aku tidak percaya. Sudahlah, bawa kalung itu saja." Aron kembali mantap Chris. Tatapan serius Aron membuat Chris berhenti kesal. "Aku sudah menggenggamnya, apa yang akan kau lakukan agar aku bisa masuk dunia bayangan?"
"Genggam erat kalung itu. Fokuskan pikiranmu dan percayalah bisa menembus dunia bayangan," Aron tidak main-main.
Chris terdiam sebentar, "Kalau tetap tidak bisa?"
"Kalung batu giok itu bukan kalung sembarangan. Cepat pergilah!" Aron membentaknya.
"Kejam sekali kau. Baiklah, mungkin kita akan berpisah di sini. Paman, kau akan menanggung semua yang terjadi padaku, ya," pinta Chris.
Aron mengangguk pasti. Chris memandang kalung batu giok itu. Ukiran nama Aron Gronn terlihat jelas. Chris mengeratkan cengkeramannya. Menarik napas dalam dan memusatkan seluruh konsentrasi pada kepercayaan adanya dunia bayangan. Perlahan matanya tertutup sempurna. Aron ikut ketar-ketir memandangnya. Mendadak tangan Chris bergetar. Dahinya berkerut tipis, keringat dingin mulai bercucuran. Aron terkejut, tapi dia tetap diam. Lalu, seluruh tubuh Chris bergetar. Semakin cepat dan semakin memburu napas Chris. Kalung itu mengeluarkan cahaya. Aron tersentak mundur. Tangan Chris seolah mengurung kalung batu giok itu yang ingin keluar beserta cahayanya. Cahaya yang begitu terang berhasil memenuhi ruangan hingga membutakan Aron sesaat. Dia tidak bisa melihat apapun. Namun, Chris merasakan dirinya menjadi ringan dan diliputi cahaya. Tanpa membuka mata ataupun tangannya dia terserap bersama cahaya kalung batu giok kemudian menghilang tanpa jejak. Seketika cahaya itu menghilang. Aron mengerjap menyesuaikan keadaan. Dia terkejut tersentak mundur. Mulutnya terbuka bersamaan mata yang melebar sempurna.
"Di-dia menghilang," gumamnya terbata-bata.
Pandangan mengedar ke seluruh sudut ruangan. Masih tetap sama. Di mana cahaya itu? Aron tidak bisa menemukannya. Cahaya itu telah membawa Chris. Sontak Aron tersenyum begitu lebar. Dia mengepalkan tangan dan meninju udara.
"Yeaahhh!!! Sudah kuduga berhasil! Chris, aku percayakan padamu!" seruan Aron menggema. Langit-langit dan butiran pasir menjadi saksinya. Matanya kembali terbuka seiring menurunkan tangannya. Menghembuskan napas kasar, "Berjuanglah, Sang kesatria! Layaknya pahlawan sejati! Aku akan menunggumu di sini. Kau pasti akan kembali hidup-hidup dan membawaku ke dunia bayangan."
Deretan giginya tertutup menjadi senyuman yang tenang. Memandang tempat Chris berpijak sebelum memutar cermin bayangan hingga markas itu kembali ke wujud aslinya.
"Aaaaaaaa!" Chris menjerit tanpa membuka mata juga masih menggenggam kalung batu giok.
Jatuh terjungkir menjadi kepala di bawah dan kaki di atas. Wajahnya penuh pasir gurun sekarang. Teriakannya terhenti ketika mulutnya tidak sengaja menyedot pasir. Dia mengeluarkannya kasar kemudian membuka mata. Menjerit lagi sadar akan posisi dan langsung membersihkan wajahnya.
"Apa-apaan ini? Aku penuh pasir. Bwahh, pasir gosong sangat tidak enak!" Chris menepuk-nepuk lidahnya. Dia melongo ketika kalung itu sedikit melukai lidahnya. "Ha? Kalung ini... Astaga, aku tertelan cahaya," gumamnya.
Mendongak mendapati keindahan tiada tara dari luasnya gurun tanpa batas. Langit cerah serta burung besar nan mematikan sedang terbang di atasnya. Mereka membuka paruh mencari mangsa. Chris ternganga memandang itu semua. Kakinya tidak bisa digerakkan.
"Apa... Apa aku berhasil tiba di dunia bayangan?" lirihnya tak percaya.
Memandang kalung itu lagi. Dia memantulkan cahaya terkena sinar matahari yang sangat terik.
"Kalung ini... Astaga, aku berhasil. Aku sungguh berhasil. Ini nyata!" serunya sedikit tersenyum. Kembali mendongak menimbulkan dahinya berkerut. "Kenapa siang hari? Bukannya tadi malam? Ini terlalu panas," herannya.
Chris pikir karena berada di dunia yang berbeda menjadikan waktu yang berbeda pula. Namun, dipikir berulang kali hal itu tetap tidak masuk akal. Chris memilih tidak memikirkannya. Dia memakai kalung itu yang tidak begitu berat dan terlihat cukup keren di lehernya. Sepatu yang dia pakai penuh pasir sekarang. Mencari arah mata angin agar bisa menelusuri gurun itu.
"Sshh, Padang pasir yang sangat luas. Ke mana aku akan pergi? Pakaianku tidak berubah, seharunya handphone dan uang masih ada di saku." merogoh sakunya yang ternyata benar-benar ada handphone dan beberapa uang kertas miliknya.
"Wah, ini keren! Ternyata pak tua itu tidak bohong. Aku tidak punya banyak waktu untuk bermain di gurun ini kalau tidak aku akan mati kehausan. Mana aplikasi kompas?" mencari kompas dari handphone dan ternyata tidak bekerja. Tidak ada sinyal internet dan handphone miliknya tiba-tiba mati. Chris panik, dia pikir akan buta arah nantinya. Handphone itu satu-satunya jalan sekaligus teman, jika rusak tamat sudah riwayatnya.
"Ini mengerikan! Ayolah, aku sedang membutuhkanmu. Ayo menyala!" berbagai cara jari-jarinya mencoba menghidupkan kembali handphone itu, tetapi gagal. Lalu, dia teringat sesuatu, "Ah, baterainya tadi memang tinggal sedikit. Pantas saja mati. Sekarang bagaimana?"
Melenguh mengantongi handphone-nya lagi. Dia sangat tidak tahu arah mata angin. Apalagi di gurun pasir yang membuatnya seperti satu-satunya manusia di bumi. Lelaki hebat itu sempat merasakan takut. Dia bahkan masih gemetar sampai sekarang. Tempat apa yang dia datangi. Hal konyol apa yang dia lakukan saat ini. Semua pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya. Kakinya terus melangkah seiring insting memandu.
'Universitas, kota Vier, teman-teman, dan semua impian juga ring pertarungan bela diri. Maaf aku pergi meninggalkan kalian, tapi ini hanya sementara. Aku akan berpetualang dan menjadi lebih kuat untuk kurun waktu yang lama. Aku ... akan merindukan kalian,' kata Chris dalam hati.
Tidak disangka waktu berjalan begitu cepat. Hari sudah gelap dan Chris masih berjalan di gurun. Lapar tidak dirasakan, dia sudah biasa menahannya. Sayangnya rasa haus tidak bisa ditoleransi. Berpikir pasti ada oasis di sekitar gurun. Namun, yang dia temui hanya pasir penghisap. Untung saja dia selalu berhasil menghindar. Hanya sepatunya saja yang akan terhisap. Detak jantung Chris seolah diajak bermain. Dia bergemuruh sejak pertama kali datang. Menurutnya ini adalah dunia yang aneh.
"Di mana ujung gurunnya?! Aku tidak mau seperti ini selamanya!" berteriak lantang. Lelah sudah dia berjalan akhirnya bertekuk lutut memandang langit malam. Menghembuskan napas kasar lalu membanting diri terlentang. Langit malam yang tidak ada bintang. Chris cukup tenang walau kesepian.
"Lagi dan lagi sunyi. Tidak di kota Vier, tidak juga di sini, semuanya sama saja. Aku tetap sendirian," dia bergeming.
Napasnya teratur menghilangkan lelah. Redupnya langit menyegarkan mata. Kalung itu dipegangnya tanpa memalingkan pandangan.
"Aku akan istirahat dulu di sini. Besok pagi akan kembali mengarungi gurun pasir." matanya terpejam setelah bergumam.
Sringgg!!!
"Aaaaaa, siapa kau?!"
Sebilah pedang hampir saja mengenai kakinya. Nasib baik insting Chris bekerja cepat, kalau tidak habislah sudah. Chris merangkak mundur kemudian berdiri. Perempuan itu membiarkan pedangnya tertancap di pasir.
"Kau gila, ya?! Siapa kau?! Seenaknya saja mau menebas orang!" menunjuk perempuan itu tidak terima. Namun, lawannya tetap diam membuat Chris mengerjap-ngerjap.
'Sorotan matanya mengarah ke kalungku. Perempuan tua, ya? Usianya pasti tidak jauh dari paman Aron. Dia lumayan berbahaya dan misterius,' kata Chris dalam hati.
Menatap perempuan itu dan kalung batu giok bergantian, "Hei, kau ini kenapa? Apa kau pencuri dari gurun? Kalungku begitu menarik perhatianmu."
Mendengar ucapan Chris gadis itu kembali menatapnya. Menarik pedang yang meninggalkan bekas pasir dan menodongnya pada Chris. Chris tersentak mundur. Perempuan itu menunjukkan wajah serius. Matanya tajam seolah Chris musuh yang tak akan diberi ampun.
"Siapa kau?" tanya perempuan itu.
"Dari tadi aku menanyakan hal yang sama padamu!" Chris kesal napasnya sampai memburu. "Hahh, sepertinya kau tuli," sambungnya.
"Aku tidak tuli."
Chris meringis mendengarnya, "Lalu, kau siapa?"
"Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kau ... bukan berasal dari dunia bayangan." Perempuan itu semakin mendekatkan pedangnya.
Mendadak Chris terdiam. Pandangannya berubah serius. Dia juga tidak bergerak meskipun ujung pedang menantang d**a.
'Bagaimana dia bisa tau?' pikir Chris.
"Kalung itu bukan milikmu. Itu milik Aron Gronn. Katakan dari mana kau mendapatkannya? Apa yang telah kau lakukan padanya?!" Perempuan itu menggertak menodongkan pedangnya lagi. Jarak sudah satu jengkal dari ujung pedang ke d**a Chris dan Chris masih diam. Dia memandang kalungnya dan perempuan itu lagi.
"Apa kau mengetahui sesuatu tentang kalung ini dan Aron si pengamen jalanan itu?" Chris baru bisa bicara setelah memikirkan sesuatu.
'Melawan orang tua itu tidak baik, tapi parasnya masih sangat muda. Apa mungkin juga dia masih gadis? Paman Aron pasti juga mengenal orang ini,' pikir Chris.
"Apa yang kau bicarakan?" dahi perempuan itu semakin berkerut.
"Singkirkan dulu pedangmu, mari bicara baik-baik. Aku bukan musuh dan aku memang mengenal si tua itu. Dia ... Hei, apa yang kau lakukan?!" belum selesai bicara perempuan itu sudah menyerang Chris dengan jurus tusukan super tajam nan cepat.
Pergerakan Chris juga tak kalah cepat. Itu hanya sebuah pedang yang dia kira bisa ditaklukkan dengan mudah, akan tetapi penggunanya benar-benar seorang ahli pedang. Chris hanya bisa terus menghindar tanpa menangis ataupun melawan.
"Aku bertanya kenapa kau menyerangku!" gertak Chris lagi. Dia melompat ke belakang membuat pergerakan mereka terus berputar-putar.
"Dua puluh tahun sudah Aron menghilang dan ternyata bocah ingusan semacam kau yang menjadi dalangnya. Kembalikan Aron Gronn sekarang juga! Kalau tidak aku akan menebasmu menjadi dua!" seruan yang lantang melebihi burung elang di langit luas.
"Apa?! Tidak, kau salah paham!"
Perempuan itu mengarahkan pedangnya untuk membelah dari kepala Chris. Beruntung Chris secepatnya melompat tinggi ke lain arah sehingga pedang itu hanya menimbulkan angin dan menyayat pasir.
"Jangan seperti itu, akan berbahaya!" Chris merasa kasihan.
"Jangan mengajariku, Bocah!" perempuan itu memutar pedang dan menusuk tepat ke batu giok kalung Chris.
Kaki Chris diam sehingga hanya tubuhnya saja yang menghindar dan pedang itu berhasil megenai batu gioknya.
"Wow, keren!" Chris tersenyum lebar.
"Dasar bodoh! Matilah kau!"
Chris melakukan salto dua kali secara berturut-turut membuat perempuan itu kesulitan menghajarnya. Secepat kilat Chris berada di belakang perempuan itu dan memukul lehernya. Sontak perempuan itu terjatuh. Chris segera mengambil pedang itu.
"Sial!" perempuan itu segera bangkit ingin merebut pedangnya, tetapi Chris menghalangi.
"Ini berbahaya, Nyonya. Emm, aku harus memanggilmu apa? Nyonya atau Bibi? Tapi kau masih nampak muda tidak seperti Paman Aron." Chris mendongak membayangkan wajah Aron.
Napas perempuan itu terengah. Seketika Chris sadar jika lawannya tidak memiliki tenaga yang cukup. Dia mengembalikan pedang itu.
"Ambil ini. Aku tidak mau bertarung denganmu. Selain orang asing, kau adalah perempuan yang usianya jauh di atasku. Aku menghormatimu. Boleh aku menganggapmu Bibi?" Chris tersenyum dengan pedang tertunduk di tangannya.
Perempuan itu tidak menduga Chris akan tersenyum semanis itu. Tangannya menerima pedangnya sendiri dengan ragu.
'Senyumnya sangat hangat. Dia melakukan itu?' batin perempuan itu.
"Kenapa kau tersenyum?" menampakkan raut wajah yang datar setelah kalah dalam pertarungan singkat.
Chris menggaruk kepala belakangnya, "Aku ingin melakukannya. Aku memang bodoh."
Perempuan itu terkejut dalam hati. 'Senyum itu lagi? Dia begitu naif,' batinnya.
"Hei, Bibi. Aku bukan orang jahat dan aku memang bukan dari dunia bayangan. Aku dikirim oleh pemilik kalung ini yang kehilangan ingatannya. Kalau kau orang baik maka bekerja samalah denganku." Chris masih tersenyum.
Perempuan itu terbelalak, "Aron Gronn? Maksudmu dia hilang ingatan?"
"Kalau kau percaya padaku, ikutlah denganku. Percayalah aku ini orang baik. Gurun sebesar ini aku tidak mengenalnya. Aku juga tidak tersesat, tapi aku sedang mencari jalan. Percayalah." Chris mengulurkan tangannya.
Perempuan itu memandang tangan Chris ragu, "Bagaimana kalau kau berbohong?" hampir menarik pedangnya lagi.
"Kalau aku berbohong kau bisa menebasku kapan saja. Lagipula siapa yang mau menipu orang di gelap gulita seperti ini? Keadaannya tidak memungkinkan dan sepi," tangan Chris masih di posisi yang sama.
Perempuan itu menghela napas panjang sekali lalu menjabat tangan Chris membuat Chris semakin lebar tersenyum. "Dasar bocah. Namaku Armei Ziacu. Kau bisa memanggilku Armei. Usiaku empat puluh lima tahun. Aku sudah menunggu cukup lama di gurun ini, tepatnya dua puluh tahun sekarang," perkenalan yang mmebuat Chris langsung melepaskan jabatan tangan mereka.
"Apa?! Itu tidak mungkin! Kau menyia-nyiakan waktumu sebanyak itu di gurun ini?! Kau ... jangan-jangan kau mayat hidup! Mau makan apa dua puluh tahun di sini? Pasir?!" pekik Chris heboh.
"Perkenalkan dirimu," Perempuan itu tetap tenang.
Chris berdeham sadar kalau perempuan itu sudah mulai percaya padanya dan ingin mendapat informasi lebih lanjut.
"Aku adalah Evans Chris. Usiaku dua puluh tahun. Semua orang memanggilku Chris. Aku seorang mahasiswa sekaligus petarung nomor satu dalam ilmu bela diri. Itu sebabnya aku bisa menghindari semua seranganmu. Ngomong-ngomong, itu pedang yang bagus. Ditempa tanpa cacat oleh pandai besi yang pasti sangat hebat. Aku juga ingin punya pedang seperti itu." Chris menunjuk dirinya sendiri.
"Baiklah, Chris. Rasa percaya diri yang tinggi. Aku tidak mengerti sebagian ucapanmu. Apa itu mahasiswa? Dari mana kau berasal dan yang paling penting adalah keberadaan Aron." perempuan bernama Armei itu menajamkan matanya lagi.
Chris berkedip dua kali. Sekarang bukan senyuman lebar yang dia tunjukkan melainkan handphone dan uang. Dia menggunakannya sebagai barang bukti agar Armei percaya semua perkataannya nanti. Benar saja, Armei terkejut sampai meneleng memperhatikan dua benda itu.
"Mari kita bicara dari awal hingga ke tahap ini, Bibi Armei."
"Aku bukan bibimu, Dasar bocah!" seketika Armei naik pitam dipanggil bibi.
"Aku juga bukan bocah, Dasar bibi menakutkan! Aku sudah remaja dewasa!" Chris ikut tersulut.
Keduanya terdiam lalu tertawa. Langit memang menunjukkan pesona. Dalam kegelapan pasti terjadi sesuatu yang tidak terduga.