Kata orang, hidup itu tentang tujuan yang ingin dicapai. Kala setuju dengan hal itu, salah satunya yang menjadi tujuan Kala adalah menikah. Dan sekarang sudah tercapai dengan memilih seorang Satmaka Ajie sebagai suaminya. Tentu saja menikah bukanlah akhir dari segala tujuan hidup Kala, masih ada banyak hal, terutama tentang kuliahnya sekarang.
Sebelumnya, Kala ingin berterimakasih pada emansipasi wanita dan tentu saja pada Ibu Kartini yang sudah membuat wanita sama derajatnya dengan laki-laki. Pasti setiap dari kita sudah paham konsep emansipasi. Namun, tetap saja ada beberapa orang yang tadinya hanya berucap menjadi berkata lalu mengatai hingga menyumpahi pilihan yang Kala pilih yaitu menikah disaat usia muda—19 tahun dan belum lulus sarjana.
Bagi Kala, menikah dengan kondisi seperti itu tak masalah terlebih ia mendapatkan sosok suami seperti Atma yang begitu pengertian tentang Kala. Atma itu berbeda dari laki-laki lainnya. Segala yang ada di pikiran serta hatinya tak akan sama dengan apa yang pernah Kala duga tentang laki-laki berumur dua puluh tujuh tahun itu sekarang. Dan, sederhana itu Kala jatuh cinta dengan sosok Atma tak kurang dari tiga bulan sejak pertemuan pertama mereka di kampus dan memutuskan untuk menikah setahun kemudian.
Awalnya Kala pun sempat meragu. Tapi memilih menikah lebih dulu atau kuliah lebih dulu baginya bukan pilihan yang cukup baik hingga Kala membulatkan tekat untuk menikah. Yang harus ia tanam dalam dirinya adalah prasangka-prasangka baik bahwa ia bisa dan ia mampu menjadi seorang istri juga seorang mahasiswi dan nantinya akan menjadi seorang ibu. Itu yang harus Kala tanam dalam-dalam di benaknya.
Sepuluh hari menikah. Sungguh, Demi Tuhan. Kala tak pernah menyesali keputusannya ini, ia sangat bahagia--teramat dengan sangat. Tujuan hidup Kala pun berubah, sekarang ia hanya ingin bahagia.
Bahagia dengan pernikahannya,
Bahagia lulus sarjana,
Bahagia memiliki anak,
Bahagia memiliki anak,
Bahagia memiliki anak,
Kala tersenyum. Ia ingin tiga anak, soal jenis kelamin laki-laki atau perempuan asal sehat. Tak masalah.
Bahagia mengurus anak-anak,
Bahagia menuju tua dengan Atma dan anak-anak.
Ya. Begitulah hidup, tak pernah bisa diduga. Seperti apa yang ada di kepala Atma. Karena saat ini Kala dikejutkan dengan kehadiran Atma yang sudah berada di kampus Kala, menemui Kala dan mengajaknya makan siang di kantin.
"Mas mau tambah es teh manisnya?" pandangan Kala beralih menuju gelas berukuran tanggung, berisi es teh manis yang sudah disesap Atma hingga tandas.
"Punyamu saja." Atma menyuap nasi dengan ayam bakar yang terakhir kalinya. Tanpa menunggu jawaban Kala, tangan Atma sudah berhasil mengambil gelas Kala yang masih terisi penuh dan meminumnya.
"Aku tidak tahu kalau ayam bakar Mas Dodo ini rasanya masih sama saja dari yang lima tahun yang lalu."
Kala tersenyum, mengangguk setuju. Kemudian ia kembali melanjutkan makannya.
Atma mengeluarkan dompetnya. Mengambil dua lembar uang lima puluh ribu meletakkannya di atas meja.
"Terima kasih ya." kata Atma sambil berdiri, membenarkan sedikit bagian lengan kemejanya. Menatap Kala dengan senyum sementara di kepala wanita itu--entah apa yang ada di dalam kepala Kala, seperti semuanya terasa kosong saat mendengar ucapan Atma.
Atma ke sini jelas bukan untuk bertemu apalagi benar-benar mengajak Kala makan siang. Apa ini semua murni hanya keinginan Atma yang sedang ingin memakan ayam bakar Mas Dodo?
Entah.
Tapi bisikan serta ciuman sekilas di pipi Kala sepertinya mampu menyanggal itu semua.
"Tapi buatan kamu lebih juara." ucap Atma sebelum akhirnya dia benar-benar pergi dari pandangan Kala.
|•|
Sedari tadi Atma mengetuk-ngetukan jemarinya di meja kerjanya sambil matanya menatapi map berwarna biru yang sedang berada di genggamannya.
Telepon di samping Atma berbunyi, membuat pandangan Atma berpindah.
"Selamat siang, Pak Atma."
"Siang."
"Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Guntoro. Beliau ingin memastikan tentang perjalanan bisnis yang akan dilakukan, bapak menyetujuinya?"
"Sedang saya pikirkan."
"Baiklah. Mohon secepatnya pak."
Atma menutup sambungan teleponnya lalu kembali menatap map. Sebelum itu, matanya menatap pigura yang berisikan poto dirinya bersama seorang wanita yang tak lain dan tidak bukan adalah Swatu Kala, istri tercintanya.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Atma melakukan perjalanan bisnis. Dari luar kota hingga ke luar negeri tapi yang membedakan sekarang adalah adanya sosok Kala. Dan melakukan perjalanan bisnis dengan status sebagai suami adalah yang pertama. Walau Atma tahu, Kala pasti tak akan mempermasalahkan tentang pekerjaan Atma yang sibuk sekali tapi Atma hanya takut jika sewaktu-waktu Kala merasa lelah berada di sampingnya.
Atma menarik napasnya dalam. Kata sewaktu-waktu itu terlalu jauh untuk Atma pikirkan dan harusnya Atma tak perlu berpikir seperti itu sebab Kala yang ia tahu sangat mencintainya dan Kala juga tahu Atma mencintainya.
Mencintainya?
Benarkah?
Benar. Atma sangat mencintai Kala. Meski bibirnya terlalu sulit untuk mengucapkan kata cinta pada Kala. Atma memang tak bisa mengungkapkan kata cinta dengan kata-kata kiasan, sikap dan perilakunya pun kadang tak menentu. Tapi percayalah, Atma sangat mencintai wanita itu. Dengan segenap hati dan jiwanya. Hari ini dan selama-lamanya.
Pikiran Atma kembali beralih. Menimbang-nimbang antara iya atau tidak. Dalam hal ini tentu saja Atma tak bisa menyimpulkannya sendiri maka saat ini yang ia lakukan adalah menghubungi Kala.
"Assalamualaikum, Mas." Atma sedikit tersenyum saat mendengar riangnya suara Kala. Wanita itu, dengan segala keajaibannya mampu membuat Atma yang tadinya kalut menjadi sedikit lulut.
"Waalaikumsalam."
"Mas lagi apa? Udah makan siang?"
Lagi. Atma kembali tersenyum.
"Kala. Mas mau tanya, boleh?"
"Ngga!"
Eh.
"Ya boleh lah. Ada apa mas?"
"Minggu besok mas boleh pergi perjalanan bisnis ke Pontianak?"
"Berapa lama?"
"Kali ini hanya seminggu."
"Memang biasanya berapa lama?"
"Satu sampai tiga bulan."
"Mas~" desah Kala pasrah. Atma merasa tak enak.
"Boleh?"
"Ya boleh lah. Masa ngga boleh. Jakarta keras, Mas. Kalau kamu dipecat sama saja kamu berniat menjandakan aku."
Wanita itu, benar-benar membuat Atma tergila-gila.
|•|
"Kal~"
Kala menatap Atma yang sedang berada di belakangnya. Untuk sementara waktu, tugas yang bersarang di laptopnya ia tinggalkan.
"Ya? Ada apa mas? Mas belum tidur? Mau aku buatkan s**u hangat?" Kala memundurkan kursinya kemudian berdiri agar bisa sejajar seperti Atma.
Atma tak menjawabnya. Kata iya, tidak atau emph yang biasa diucapkan Atma pun tak terdengar. Justru Atma kini berjalan mendekat ke arah Kala dan membuat Kala menjadi berbalik lagi, memunggungi Atma.
Dlep~
Atma melingkarkan tangannya di pinggang Kala. Meletakan dagunya di bahu Kala membuat Kala sedikit terhenyak, tak menduga-duga dengan pergerakkan Atma yang saat ini sangat mengejutkan untuknya.
"Kamu sedang apa?" bahkan saat Atma berucap, deru napas menerpa kulit leher Kala.
"Mengerjakan tugas."
"Sebanyak itu?" mata Atma menatap tajam lembaran-lembaran kertas di meja yang berada di ruang kerja Atma yang menjadi satu dengan ruang belajar Kala.
Kala mengangguk.
"Selarut ini?"
Larut? Benar kah? Yang Kala tahu terakhir kali ia melihat jam, pukul masih menunjukan angka sembilan malam tapi saat ini, saat matanya menangkap jam dinding di hadapannya. Pukul sudah menunjukkan angka hampir dua belas malam.
Kala mengangguk lagi.
"Kal~"
"Ya?"
"Jangan terlalu lelah. Kamu pasti butuh istirahat." Atma membenarkan posisinya. Dan berusaha menarik Kala agar mau berhadapan dengannya, dengan tangan yang masih melingkari pinggang Kala. Atma menatap mata wanita itu sampai-sampai membuat Kala menundukkan kepala. Rasanya masih aneh saja ketika Atma menatapnya begitu intens.
"Yuk tidur."
Tanpa penolakan. Atma menuntun Kala untuk berpindah dari ruang kerja ke kamar mereka.