Kala terbangun tanpa Atma di sampingnya. Mungkinkah Atma telah berangkat lebih dulu ke Pontianak?
Ah, jam berapa sekarang?
Kala mengucek matanya sebentar. Lalu melihat jam di dinding yang berada di hadapannya. Jam sembilan pagi.
Sembilan pagi?
Itu artinya Atma benar-benar meninggalkannya. Huh. Salahkan laki-laki itu yang membuatnya merasa tak punya tulang saat ini. Semalam, Atma memang mengajak Kala tidur tapi ada lain hal yang mereka lakukan sebelum itu,
Ya,
Ya,
You know what it is.
Kalau sudah seperti ini, ya lebih baik Kala tertidur lagi. Mau menyusul pun percuma, mau marah-marah juga tidak ada orangnya. Apalagi memangnya yang harus Kala lakukan?
Cklek~
Kala terhenyak saat mendengar suara pintu yang terbuka. Dari balik kamar mandi, muncul Atma yang sudah berpakaian rapi--seperti hari-harinya dan setiap kali Kala melihatnya pun akan terpesona. Untung laki-laki itu suaminya.
"Kamu tidak apa-apa aku tinggal?" Atma berjalan mendekati Kala yang masih berada di atas kasur.
Kala mengangkat selimutnya ke atas, menutupi badannya yang hanya memakai pakaian tipis, "memangnya kalau aku kenapa-kenapa mas tidak akan pergi?" Kala menatap Atma yang sudah berada di sampingnya. Dan itu membuat tangan Kala gencar meremas selimutnya dan menempelkannya lebih erat di tubuhnya.
"Bisa aku pikirkan." kata Atma dengan tangan yang berada di atas tangan Kala dan menarik selimut itu agar turun sedikit ke bawah.
"Mas!" Kala mengawasi tangan Atma dan menarik selimut itu kembali.
"Iya, tutupi saja. Aku sudah puas kok melihatnya." gelak tawa tertahan serta kerlingan mata Atma sungguh membuat Kala tak mengenalinya sebagai suami yang kaku lagi, ini lebih menyebalkan ternyata dari sikap Atma yang sebelumnya.
"Mas!" bentak Kala. Tawa Atma semakin pecah saat melihat ekspresi yang ditunjukkan Kala.
"Ya sudah. Aku berangkat ya?" Atma berdiri.
"Mas?"
"Ya?"
"Aku boleh menginap di rumah mama atau ibu?"
Atma memincingkan sebelah alisnya kemudian ia mengangguk dan berjalan begitu saja menjauh dari pandangan Kala.
|•|
Kala bersyukur Atma bukanlah tipe laki-laki yang membuatnya cemas karena tak dikabari seharian. Sesibuk apapun Atma pasti laki-laki itu akan mengirimkan pesan singkat berupa apa saja pada Kala dan memastikan jika dirinya baik-baik saja. Mungkin inilah untungnya menikah dengan laki-laki yang lebih dewasa, yang tahu makna dari kabar meski sekecil apapun kehadirannya. Kalau seperti ini, bagaimana Kala bisa menyesali keputusannya untuk menikah di usia belia?
Kalau tidak salah ini sudah hari ke tiga Atma berada jauh dari Kala. Bagi Kala tak masalah dengan pekerjaan Atma yang sering pergi keluar kota. Berhari-hari. Selama Atma tak pernah mempersalahkan kuliahnya maka selama itu juga Kala akan berusaha paham dengan pekerjaannya. Dan yang paling penting adalah Kala sangat amat mempercayai Atma.
"Kamu dan Atma ngga nunda momongan kan?"
Kala menyudahi suapan roti bakarnya, saat mamanya bertanya. Sebenarnya itu bukan tanda tanya yang sulit dijawab, hanya saja Kala merasa sensitif.
"Engg--- belum ada omongan apa-apa sih tentang momongan ma." mungkin ini adalah jawaban yang paling baik. Kala meminum susunya lalu mengambil tas yang berada di sampingnya, bersiap untuk pergi ke kampusnya.
"Tapi kamu tidak menun--"
"Mas Atma keluar di dalam kok, ma." Kala memotong ucapan mamanya. Membuat wanita berumur lima puluhan awal itu geram dengan sikap anaknya. Terlebih saat anaknya menyalami dan berlalu begitu saja dari hadapannya.
"Kala!"
"Ada yang salah, mah?" Kala menghentikan langkah kakinya, berbalik.
Mama hanya menggeleng-geleng, "Yang salah Atma."
"Kok jadi Mas Atma?" tanya Kala tak terima.
"Iya, dia salah mau tinggal dan hidup sama kamu."
|•|
Waktunya tinggal lima menit lagi, tapi ojek online yang Kala tumpangi belum sampai seperempat jalan menuju kampusnya. Salahkan keadaan yang membuat Kala harus berangkat telat, lagi. Ternyata, sulit juga membiasakan diri dengan ketidakhadiran Atma di sisinya. Tak ada yang merecoki paginya hingga membuat Kala menyiapkan makan, air dan baju untuk Atma dengan mata yang masih rekat, tak mau membuka.
"Mas, cepetan lagi bisa ngga?" kata Kala pada Mas Ari, tukang ojeknya hari ini.
"Bisa mbak, tapi mobil di depan saya ngga bisa."
Kala melirik ke depan. Stag, mobil pun motor tak bisa bergerak barang setengah kuku. Jakarta pukul tujuh pagi benar-benar lebih rumit dari apapun.
"Nah. Ngebut ya mbak?" Mas Ari bertanya saat laju motor yang ia kendarai sudah dengan kecepatan yang stabil.
Kala hanya mengangguk.
"Mas~"
BRRAAK~
Di mata Kala semua menjadi gelap.
|•|
Tentu, tak ada satupun suami yang tidak cemas jika mendengar kabar kecelakaan istrinya. Tentu. Dan itulah yang sedang Atma rasakan saat ini, kepulangannya seusai menjalankan tugas di Pontianak harusnya bisa disambut dengan pelukan hangat Kala tapi untuk sekarang justru ia mendapatkan kabar buruk.
Kala kecelakaan.
Dan itu membuatnya hampir kehilangan akal dan kendali.
"Gimana keadaannya, Ga?" Atma yang datang dengan tergesa-gesa langsung melemparkan pertanyaan pada Lingga yang sedang berdiri di depan ruang IGD.
"Dokter baru aja masuk." Lingga menatap Atma, "duduk Bang Atma."
Atma menuruti perkataan adik kandungnya itu. Sambil memijat pelipisnya Atma menatap nanar lantai rumah sakit ini.
"Pengemudi ojeknya gimana, Ga?"
"Rawat jalan mas, tadi dia ngucapin permitaan maafnya."
Atma mengangguk, "ya, ngga apa-apa namanya juga kecelakaan." ucapan Atma di akhiri dengan helaan napas kasar.
Dan ketika dokter baru saja keluar dari ruang IGD maka perasaan Atma semakin kacau, takut, takut dan hanya rasa takut yang ada di dalam dirinya.
"Keluarga Mbak Kala?"
"Saya suaminya." Atma langsung menghampiri dokter Ida, yang ia kenali lewat name tag yang dikenakan dokter tersebut.
Dokter Ida tersenyum, "Syukur Mbak Kala tidak mengalami cidera berat hanya luka di beberapa bagian tubuhnya saja."
Diam-diam Atma tersenyum dan bersyukur dalam hati.
"Hanya saja....."
Dokter Ida memberi jeda beberapa saat untuk Atma menarik napas.
Sesuatu yang buruk tidak terjadi, Atma mengulang kata-kata itu dalam hatinya.
"Hanya saja, Mba Kala mengalami keguguran."
Seketika Atma merasa runtuh, seperti sebagian dirinya hilang bersamaan kabar yang ia dengar sekarang. Kakinya lemas, Atma hampir terjatuh kalau saja Lingga tak menahan tangannya.
"Kala keguguran?" Atma mengulang kata-kata dokter Ida dengan nada bertanya.
"Ya. Usia kehamilan yang baru empat minggu memang sangat rentan, Pak. Guncangan jatuh dari motor mungkin menjadi penyebabnya." jelas dokter Ida yang semakin membuat Atma merasa bersalah.
"Ada yang ingin ditanyakan lagi?"
Atma menggeleng lemah.
"Baik. Mba Kala bisa dipindahkan ke ruang rawat."
Atma mengangguk lemah. Dan dokter Ida berjalan menjauhi tempat Atma.
"Kala keguguran." ulangnya lagi sambil menatap Lingga.
"Tenang, bang. Tenang." Lingga menepuk bahu Atma sesekali. Tapi laki-laki yang sedang di dera kesedihan yang begitu hebat itu tak bisa tenang hanya dengan tepukan Lingga. Maka Atma mencari cara lain untuk menyuarakan rasa sedih dan marahnya.
BRRAAK~
Atma memukul dinding rumah sakit kencang, memberi retakan di sana. Tak ada ringisan, penyesalan atau apapun saat tangannya sudah mengeluarkan darah. Rasa sedih, marah dan kecewa masih bersarang di hatinya.
"Bang!"
Atma mengangkat tangannya ke udara, mencoba memukul dinding itu sekali lagi.
BBBUUG...
Satu pukulan mendarat sempurna di pelipis Atma. Bukan ia yang memukul tentu saja, siapa lagi kalau bukan Lingga.
"Mati aja, mati sekalian. Biar Mbak Kala sendirian!" ucap Lingga penuh penekanan dimana-mana. Atma tak bisa berkutik. Matanya kosong menatap Lingga. Memang tak ada tangis, tapi luka menyorot begitu dalam. Atma telah gagal menjadi ayah, lebih buruknya lagi ia telah gagal menjadi seorang suami. Ia memang tak becus dalam hal apapun.
"Kala. Keguguran." ulangnya lagi-lagi sampai entah. Sampai akhirnya dering ponselnya menyadarkan Atma dari segala kalut yang menderanya saat ini.
Atma mengangkat telepon dengan berbagai ekspresi.
"Ga. Abang ke kantor sebentar, ada urusan. Tolong jaga Kala dan beri dia pengertian ya." meski berat setengah hati mengucapkan itu tapi mau tak mau Atma harus meninggalkan rumah sakit dan menjalankan tugasnya yang lain.
Sabar sayang, sabar. Tunggu aku. Jangan menangis, jangan bersedih. Aku ada, untukmu, untukmu dan selalu untukmu.