Accident

1677 Words
Terik bola raksasa begitu menyengat hingga ke ubun-ubun membuat emosi setiap orang akan mudah tersulut. Namun keadaan tersebut berbanding terbalik dengan Ana yang sedari tadi senyum tak lepas dari bibir mungilnya. Ia begitu bahagia dengan hasil bimbingan beberapa jam lalu yang membuatnya teramat semangat dan ceria. Dan sekarang ia sudah duduk manis didalam perpustakaan kampusnya guna mempelajari beberapa metode dan instrumen penelitian yang akan ia laksanakan lusa. "Gimana revisian kemaren?" Tanya Nay, teman dari satu jurusan yang sama-sama tengah duduk dengan tumpukan buku dihadapanya. "Udah kuajukan tadi dan langsung acc" Jawab Ana seraya mengangkat rendah lembaran kertas berisi bab dua skripsi miliknya dengan kedua tangan. "Bagus dong!" Seru Nay takjub dengan langkah cepat Ana. "Jadi sekarang udah bisa nyusun instrumen penelitian ya?" Lanjutnya dan Ana hanya menjawab dengan anggukan semangat serta mengangkat ibu jarinya. "Kamu udah nyampek mana?" Tanya Ana balik pada Nay. "Masih muter di bab dua. Karena judul ku tentang perbandingan , jadi refrensi dari setiap faktor harus banyak" jelas Nay kemudian menunjuk beberapa buku yang tertumpuk di hadapanya, "dan semua ini masih kurang" lanjutnya lesu. Dengan sigap, Ana mengelus pundak temanya yang terlihat hilang semangat. "Aku juga pernah ngalamin hal ini jadi, jalani aja Nay daripada kita beli skripsi tapi pas ujian cuma melongo gak paham sama kerjaan kita" hibur Ana mencoba membangkitkan semangat temanya. "Iya juga sih, kalo ngerjain sendiri kan kita lebih tahu dan paham. Yah, minimal gak malu-maluin pas ditanya di sidang ntar meskipun banyak yang comot sana-sini" kekeh Nay disusul Ana yang tertawa ringan.                        **** Dini memarkirkan sepeda motor yang ia kendarai bersama Ana di halaman sebuah Bank Swasta. "Udah disiapin belum surat dari kampus?" Tanya Dini mengingatkan sahabatnya yang terkadang sering lupa jika sudah gugup. Ana membuka tas ranselnya mencari amplop berlogo universitasnya. Setelah merapikan rambut sejenak karena tertiup angin selama perjalanan serta helm yang dikenakan membuat tatanan rambut sedikit berantakan, Dini mengikuti langkah Ana masuk kedalam Bank. Seolah sudah memiliki janji karena setelah memberitahu kedatanganya pada satpam, Ana segera dipersilahkan menuju lantai dua tempat Manajer berada. Kini Dini hanya duduk layaknya nasabah yang sedang antri mendapat giliranya. Selang setengah jam kemudian, Ana turun dan menghampiri Dini yang asyik membaca majalah bisnis. "Ayok pulang Din!" Tegur Ana begitu ia sampai didekat tempat duduk Dini. "Udah selesai?" "Udah kok,  cuma ngasih surat dan mastiin kapan aku bisa mulai penelitian disini" jawab Ana sambil memasukan mencari kunci motor dari dalam saku tasnya. Motor yang dikendarai menuji ke tempat ini adalah milik Ana namun Dini lah yang melajukanya. "Mau langsung ke Rumah Sakit apa mampir ke Kost dulu?" Dini yang ditanya melihat jam dinding bertuliskan logo Bank " Langsung aja takut telat ntar" jawabnya kemudian berdiri dan berjalanan beriringan menuju parkiran. Kali ini Ana yang melajukanya, dengan kecepatan sedang motor berplat nomor KT membelah kota Samarinda yang memang macet. Terang saja karena kota yang menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur ini sudah dipadati oleh masyarakat pendatang yang kebanyakan dari tanah Jawa membuat pulau yang dulu berwarna hijau sebagai simbol hutan lebat di peta telah berubah menjadi kota padat penduduk. Pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat membuat biaya hidup setara dengan di Jakarta bahkan melebihi. "Skripsi mu bahas apaan sih Na?" Tanya Dinid yang duduk sambil memeluk pinggang Ana dari belakang. "Yah biasa lah masalah keuangan, saham, nilai tukar gitu. Namanya juga Manajemen Keuangan pasti yang dibahas masalah uang" Jelas Ana sedikit berteriak karena angin mengaburkan suaranya. Tidak sampai satu jam mereka sudah sampai di parkiran Rumah Sakit tempat Dini bekerja. Melepas helm dan menyerahkanya pada Ana kemudian melambai sambil berjalan sedikit bergegas menuju pintu masuk. Sedangkan Ana segera menghidupkan motornya bergegas menuju kampus guna mempersiapkan penelitianya.                    *************** Reksa mengemudikan mobilnya sedikit tergesa, pasalnya saat menghadiri sebuah seminar di salah satu hotel mendadak ponselnya berbunyi mengabarkan jika pasien yang beberapa hari lalu ditangani di ruang VIP tiba-tiba kritis. Karena pasien tersebut dibawah tanggung jawab Reksa, otomatis ia harus turun tangan langsung meskipun sudah ada Dokter lain yang menangani sementara ia masih dalam perjalanan. Padahal seminar ini amat dinantikanya mengingat jadwalnya yang padat membuat seminar ini teramat penting untuk seorang Dokter Reksa. Namun tugas dan kewajibanya tetap nomor satu.  Untung saja ia bukan termasuk pemateri sehingga dalam keadaan mendesak seperti ini ia dapat meninggalkan acara yang sedang memasuki inti pembahasan yang tentunya bagian inilah yang terpenting. Dan karena begitu tergesanya, Reksa tidak memperhatikan sebuah motor yang tengah menyeberang dengan pelan. Hingga ..... Cciiiiiiikkktttttttttttt... Brraaaaakkkkkkk! benturan ujung mobil Reksa dengan motor seseorang dari arah samping seketika mengehntikan laju mobil Reksa. Beberapa orang disekitar mengerumuni pengendara motor yang terjatuh. Sadar dengan kondisinya yang bisa dianggap sebagai tersangka dan kemungkinan mendapat amukan dari warga membuat Reksa segera turun dari mobil dan ikut menerobos kerumunan orang. Matanya memicing melihat seorang perempuan yang terduduk dengan helm yang masih dipakainya tengah mengurut pergelangan kakinya yang kesakitan akibat tertimpa motornya. "Gimana Mbak, ada yang sakit lagi?" Tanya seorang laki-laki paruh baya dengan handuk yang menggantung di lehernya tampak khawatir. Ana menggeleng berusaha meyakinkan para kerumunan bahwa dirinya baik-baik saja. "Perlu dibawa ke Rumah sakit?" Tanya seseorang lagi yang menyadari ada darah yang mulai terlihat dari siku gadis itu. Ana menekuk lenganya melihat luka pada siku yang mungkin timbul saat tanganya tadi berusaha menahan motor dan tubuhnya yang oleng kesamping. "Maaf, maaf saya tidak sengaja menabraknya. Tapi ini teman saya jadi biar saya yang bawa ke rumah sakit" sela Reksa yang muncul dari kerumunan warga. Terdengar riuh menyalahkan dan nasehat dari beberapa orang melihat kehadiran Reksa yang langsung bersimpuh dihadapan Ana. "Maaf Na, tadi aku kurang hati-hati menyetirnya sampai nabrak kamu" sesal Reksa. "Aku gak papa kok cuma luka kecil aja" Ana yang menyadari laki-laki semalam yang menghabiskan waktu bersama hujan begitu menghawatirkanya membuat gadis itu meyakinkan Reksa bahwa dirinya memang baik-baik saja. Reksa memapah Ana masuk kedalam mobilnya sedangkan beberapa orang membantu mengamankan motor Ana. Jalanan yang sempat macet sudah kembali lancar. "Kita ke Rumah Sakit Na, aku gak mau jadi orang yang tidak bertanggung jawab" Reksa bersikeras melihat mata kaki Ana juga berdarah akibat bergesekan dengan aspal dan himpitan motor. "Terserah kamu deh tapi motorku gimana?" Ana melirik dari cendela mobil tentang motornya yang kini diparkir dihalaman sebuah toko elektronik. "Nanti biar satpam Rumah Sakit yang bawa" Mobil melaju meninggalkan kerumunan orang, tempat kejadian kecelakaan menuju Rumah Sakit. Reksa memasang earphone untuk menghubungi seseorang diseberang sana, "Pak Rudi, tolong ambilak motor di Antasari depan Toko Wijaya Elektronik". Ana hanya diam dengan bantuan Reksa membawanya ke Rumah Sakit dan menyuruh orang mengambilkan motornya. Ana pikir memang itu sudah kewajiban pelaku tabrak larinya jadi ia hanya pasrah saja. "Maaf ya kamu jadi luka begini" Reksa melirik sekilas kearah Ana kemudian pandanganya fokus lagi kearah jalanan karena takut kejadian tadi terulang. "Aku baik-baik saja Dok, gak usah khawatir berlebihan seperti itu lah" Reksa tersenyum simpul dengan sikap santai Ana. Biasanya orang yang menjadi korban akan marah dan meminta ganti rugi. Tapi Ana malah merasa kekhawatiranya berlebihan. Apa karena mereka sudah saling mengenal seolah hal ini tidak perlu dibesar-besarkan? Kenal? Bahkan baru sekali  mereka bertemu hanya sedikit mengobrol tentang nama, hobi, alasan kenapa menembus hujan di malam hari dan kesibukan masing-masing. Tentu saja kejadian malam itu dianggap sebuah perkenalan. Karena perkenalan biasanya  minimal mengetahui nama saja entah satu pihak atau kedua belah pihak, batin Reksa meyakinkan diri. "Dokter lagi buru-buru ya kok sampai gak konsentrasi tadi?" Pertanyaan Ana barusan menyadarkan Reksa alasan kenapa dia tergesa mengemudikan mobilnya hingga menabrak ah lebih tepatnya sedikit menyenggol motor Ana karena Reksa langsung menghentikan mobil tepat saat ujung mobilnya menubruk samping motor Ana. "Ataga aku lupa!" terdengar nada panik Reksa yang menepuk keningnya seakan baru tersadar dari sesuatu membuat Ana menatap Dokter disampingnya sambil mengerutkan kening. "Sepertinya kita akan sedikit menambah kecepatan" ucap Reksa berusaha tenang agar 'pasien' yang dibawanya tetap tenang disela kepanikan dirinya. "Memang ada apa Dok?" Tanya Ana ingin tahu. "Sebenarnya tadi ada pasien yang sedang kritis, makanya mobilnya kulajukan lebih kencang" alasan Reksa yang tatapanya fokus kearah jalanan karena ia sedikit melajukan mobilnya lebih kencang. Ana diam saja melihat situasi yang tidak memungkinkanya untuk bertanya apapun lagi melihat Reksa yang panik namun berusaha fokus ke jalanan. Hingga tak berapa lama kemudian mobil itu sampai di pelataran Rumah Sakit. Reksa turun dari mobil kemudian berjalan masuk, beberapa menit kemudian ia berjalan diikuti dua perawat dibelakangnya dan sebuah kursi roda yang didorong oleh salah satu perawat. "Maaf Na, aku harus menangani pasien dulu tapi tenang saja setelah selesai aku akan menemuimu. Sekarang kamu bersama mereka" Reksa menunjuk suster yang tengah menyiapkan kursi roda disamping mobil Reksa. Dibantu dua suster perawat ia keluar dari mobil dan duduk di kursi. Reksa buru-buru mengunci mobilnya dan sedikit berlari melewati pintu masuk rumah sakit.                   *************** "Kamu kok bisa luka-luka begini sih Na?" Dini yang diminta Ana untuk menemuinya atas bantuan salah satu perawat yang tadi membantunya, merasa khawatir dengan kondisi sahabatnya. "Aku gak apa-apa Din gak usah lebay begitu, ini cuma luka gores aja" Ana mencoba menenangkan sahabatnya. Memang lukanya tidak terlalu parah namun tetap saja terasa ngilu dan perih di siku, mata kaki dan telapak tanganya. "Trus yang nabrak kamu gimana? Lari atau dikeroyok massa?" Ana yang mendengar tuduhan pada pelaku kecelakaan tersebut langsung tertawa ringan. "Kamu kebanyakan lihat berita kriminal Din" "Lah trus gimana ceritanya?" Sahut Dini. "Yang nabrak aku tadi gak lari ataupun dikroyok, malah dia yang bawa aku ke sini" jelas Ana yang ditanggapi oh saja oleh Dini. "Yah setidaknya dia tanggung jawab lah udah bikin kamu begini" "Ehm." Deheman dari sosok pelaku tabrakan tadi membuat Dini yang duduk di tepian ranjang Ana menjadi terlonjak dan buru-buru turun. Sedangkan Ana hanya tersenyum saat Reksa menghampirinya karena hal itu memang yang dijanjikan Reksa bahwa ia akan menjenguknya setelah selesai dengan pasien kririsnya. "Gimana keadaanmu, Na?" Tanya Reksa tiba-tiba membuat Dini bertanya-tanya darimana Dokter Reksa mengenal sahabatnya itu apalagi panggilan nama yang disebut barusan seakan mereka terlihat akrab. "Baik, dok, gimana dengan pasien kritisnya?" Reksa mendekat dan melihat ke arah perban yang melilit pergelangan kaki Ana. "Sudah selesai karena ada teman yang menggantikan tugasku sejenak". "Istirahatlah, kalau ada apa-apa bisa panggil perawat. Aku tinggal dulu, ok?" Reksa tersenyum dan dibalas pula oleh Ana kemudian berlalu meninggalkan kedua gadis. "Kamu kok akrab banget sama Dokter Reksa sih Na?"tanya  Dini penasaran. "Owh, dia yang nabrak aku tadi"                  -------------------          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD