1. Kematian dan Hidup kembali

2134 Words
Suara nyanyian terdengar dari seorang wanita berusia 22 tahun sembari menggendong dua boneka bayi, menimang boneka itu penuh senyuman. Nama wanita itu Zeeya Auristela. Nama yang indah, tapi tak seindah kehidupannya selama beberapa tahun terakhir. Saat ini ia berada di rumah sakit jiwa, dikirim ke sana karena delusi parah yang dideritanya. Zeeya mengalami gangguan jiwa berat. Penyebab utamanya karena keguguran sebanyak tiga kali yang ia alami selama 2 tahun menjalani pernikahan. Apalagi setelah itu sang suami menceraikannya begitu saja dan menikah kembali dengan adik tirinya. Tidak berapa lama, mentalnya mulai terganggu dan segera dikirim ke rumah sakit jiwa oleh ibu tiri dan adik tirinya. “Sayang, kamu bentar lagi bakal punya adik.” Zeeya berbicara pada kedua boneka yang ia tidurkan di bangku taman RSJ. Dia merasa sedang hamil anak ketiga saat ini. Wanita cantik itu tersenyum senang mengusap perut ratanya menanti anak ketiga yang hanya khayalan semata. Tidak jauh dari sana ibu tiri dan adik tiri Zeeya memandangnya dengan tatapan mencemooh. “Tidak sulit ternyata menyingkirkan dia,” ujar ibu tiri Zeeya yang bernama Vina. “Benar Ma, tapi malu juga ya punya kakak tiri gangguan mental kayak dia,” balas Fira, adik tiri Zeeya. “Yang penting kita dapat semua hartanya. Kamu bisa menguasai Arvin sepenuhnya Sayang, tanpa terganggu oleh orang sakit jiwa seperti dia.” Arvin adalah suami dari Fira dan tentu saja mantan suami Zeeya. Ibu dan anak itu tertawa bersama melihat perilaku aneh Zeeya, mereka tak perlu lagi menyingkirkan wanita itu seperti menyingkirkan ibu Zeeya. *** Enam tahun kemudian “Sayang-sayangnya mama bosan tidak di sini?” tanya Zeeya kepada tiga boneka yang ia bawa setiap hari. “Bagaimana kalau kita ke balkon atap lihat pemandangan dari sana?” usulnya. Zeeya berjalan mengendap-ngendap pada malam hari ke balkon atap rumah sakit jiwa itu. Ia berhasil membawa ketiga bonekanya ke sana. “Lihat Sayang lampunya kelap-kelip cantik sekali.” Zeeya terus berucap kepada tiga boneka yang ia anggap sebagai putra-putrinya. Pandangannya tertuju pada lampu-lampu gedung pencakar langit. Tidak terasa ia sudah berdiri di dekat pembatas balkon. Karena kesusahan memegang tiga boneka, salah satu bonekanya terjatuh dari tangannya. “Rani!!!” Mata Zeeya terbelalak meneriaki nama boneka yang ia anggap sebagai putrinya. Tanpa berpikir panjang ia juga ikut melompat dari balkon lantai lima rumah sakit jiwa tempatnya tinggal selama enam tahun terakhir. Darah mengucur deras dari kepala Zeeya. Ia jatuh dengan posisi telungkup. Sekelebat bayangan kehidupannya muncul. Kebahagiaan bersama papa dan mamanya. Lalu, setelah mamanya meninggal munculah ibu tiri dan adik tiri yang kelihatan baik. Namun, saat papanya sakit-sakitan dan akhirnya menutup mata, ibu tiri dan adik tirinya berubah total. Untunglah saat itu ia memiliki kekasih yang amat mencintainya dan tidak berapa lama lelaki itu melamarnya. Mereka akhirnya menikah dan awal pernikahan terjalin dengan bahagia. Namun, setelah Zeeya mengalami dua kali keguguran hubungannya dengan sang suami menjadi renggang. Mertua yang dulu menyayanginya tampak tak peduli lagi padanya dan beberapa kali terdengar mencemooh dirinya. Zeeya tahu, ini adalah ulah Vina dan Fira. Dia bisa sampai keguguran pun Zeeya curigai karena ulah mereka. Setelah ia hamil anak ketiga, Zeeya berusaha menjaganya, tapi lagi-lagi keguguran dan dinyatakan akan susah hamil kembali. Setelah itu, suami yang ia cintai dengan setulus hati menceraikannya dan menikahi Fira, adik tirinya. Ini yang membuat Zeeya mengalami depresi berat dan akhirnya berujung pada gangguan kejiwaan. Zeeya memandang boneka yang ingin ia selamatkan. Betapa bodohnya dia baru menyadari bahwa itu adalah sebuah boneka. Kesadaran itu terlambat karena ia yakin sudah diambang kematian. Seluruh tubuhnya sakit, nafasnya semakin tercekat, hingga akhirnya ia menutup mata. Inilah kehidupan akhir Zeeya Auristela di usianya yang ke 28 tahun dan selama enam tahun hanya hidup dalam delusi. *** Zeeya PoV Di mana ini? Aku berjalan di lorong yang gelap, namun di ujung lorong tampak cahaya yang menyilaukan. Kakiku terus melangkah mendekati cahaya itu. Aku juga bisa melihat seorang wanita di sana. Semakin aku berjalan ke arah wanita itu, semakin aku merasa wanita itu sangat mirip denganku. Benar saja kami sama persis. Siapa sebenarnya dia? “Kamu siapa?” tanyaku penasaran. “Aku jiwa Zeeya di dunia yang berbeda,” jawabnya. Aku mengernyit mendengar perkataannya. “Dunia yang berbeda?” Dia hanya menganguk mendengar pertanyaanku. “Kita sudah mati,” ungkapnya. Kalau itu aku pun sudah mengira. “Tapi, di antara kita masih ada yang bisa hidup kembali,” lanjutnya. Aku terkejut mendengar itu. “Apa maksudmu? Aku benar-benar bingung.” “Aku mungkin akan beristirahat. Apa kamu ingin hidup kembali atau beristirahat denganku?” tawarnya. “Aku mau hidup kembali!” Tanpa pikir panjang aku mengucapkannya. “Aku menyianyiakan waktuku selama enam tahun di rumah sakit jiwa. Jika aku diberi kesempatan hidup kembali, aku akan berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi.” “Kamu memang lebih pantas hidup kembali. Pilihlah di mana kamu akan hidup di duniamu dulu atau di duniaku. Pilihlah cepat sebelum tubuh kita dikuburkan.” “Aku—” Aku bimbang di mana sebaiknya, di duniaku dulu atau di dunia yang berbeda. Kalau aku kembali ke duniaku, aku harus memutar arah melewati lorong yang sudah kulewati tadi, sedangkan kalau memilih dunia yang berbeda aku harus terus maju sampai melewati cahaya terang itu. Kalau aku hidup di duniaku kembali, apa aku akan bahagia? “Aku pilih duniamu,” jawabku mantap. Kuyakin di kehidupan baru aku bisa lebih bahagia. “Apa kamu yakin?” Kulihat ada garis kekhawatiran di wajahnya. Kenapa? Apa yang terjadi di dunianya? Tapi tekadku sudah bulat aku ingin kehidupan baru di dunia lain. “Yakin!” “Baiklah. Pakailah tubuhku di sana dan kamu harus ingat penglihatanku di dunia itu istimewa. Satu hal lagi aku tak pernah membunuh siapa pun!” “Apa maksudnya?” “Aku tidak bisa jelaskan, cepatlah lari menuju cahaya itu! Semoga kamu bisa bahagia di sana.” Aku bergegas berlari menuju cahaya ke dunia lain, sempat aku menoleh ke belakang. Namun, dirinya sudah menghilang. Apa keputusanku ini tepat? Aku terus berlari dan masuk ke dalam cahaya menyilaukan menuju dunia lain. *** Aku membuka mata perlahan, sepertinya wajahku ditutup oleh sehelai kain. Tanganku bergerak membuka kain itu. Kudengar suara keterkejutan orang-orang yang berada disekitarku. Aku pun ikut terkejut karena di sekitarku penuh dengan orang-orang berseragam polisi dan bisa kulihat juga ruangan tempatku berada adalah rumah sakit. Di sana ada satu pria berjas yang menatap tajam ke arahku. Pria yang menurutku sangat tampan, tapi tatapannya seakan ingin membunuhku. Aku mencoba menatap matanya. Tunggu, kulihat samar-samar bayangan pria itu membanting ponselnya, saat mendengar diriku mencoba bunuh diri dan ia juga mengumpatku sebagai seorang pembunuh. Mengapa bisa begitu? Aku ingat perkataan jiwa Zeeya pemilik tubuh ini, kalau penglihatannya istimewa dan ia tak pernah membunuh siapapun. Jangan-jangan di kehidupan ini aku dituduh pembunuh. Astaga mengapa nasibku seperti ini. “Ternyata kamu pura-pura mati!” geram pria itu dengan suara beratnya, ia menatapku tajam. “Apa kamu ingin kabur dari penjara, Pembunuh?!” lanjutnya. “Pertama, aku bukan pura-pura mati. Kedua, apa alasanmu menuduhku sebagai pembunuh?” balasku tenang. Pria itu terlihat kaget mendengar jawabanku. Polisi di sana ikut terkejut. Aku berusaha menyelami mata pria yang tadi membentakku, matanya tajam, tapi indah dipandang. Oke, bukan saatnya aku mengaguminya. “Huh, tidak terlihat apapun lagi. Bagaimana cara menggunakan penglihatan istimewa ini?” gumamku pelan lalu mendengkus. Namun, gumamanku sepertinya terdengar oleh mereka yang ada di sana sehingga mereka menatapku aneh. Apa aku bilang hilang ingatan saja? Aku mencoba sekali lagi melihat mata salah satu polisi, yang ada terlihat bayangan sebelum polisi itu mendengar kabar bunuh diriku, ia sempat bermesraan dengan istrinya. Aku lalu dengan cepat memutuskan pandangan karena tak sesuai harapan malah melihat hal mesùm. “Maaf sekali lagi, Pak Polisi, Bu Polwan, dan masnya, aku tidak ingat apapun. Tolong ada yang bisa jelaskan kenapa aku bisa di sini dan dituduh membunuh? Oh, coba deh masnya yang natap aku terus dari tadi jelaskan. Aku masih baru di sini jadi tidak mengerti apapun.” Aku berusaha berkata jujur. “Kamu ini benar-benar tidak waras!” bentak pria itu kepadaku. Inginku menjawab aku memang sudah pernah menjadi tidak waras selama enam tahun, tapi kuurungkan, itu bukan sesuatu yang membanggakan. “Kamu telah membunuh istri saya, menusuknya berkali-kali dan menyembunyikan tubuhnya!” terang pria itu dengan nada penuh kebencian. “Apa!? Kok bisa!?” Aku terkejut dan bodohnya justru balik bertanya. “Karena kamu psikopat!” “Apa buktinya?!” tanyaku menantang. “Jelas ada rekaman CCTV-nya!” Pria itu memperlihatkan rekaman CCTV di ponselnya. Di dalamnya tampak diriku sedang mengantarkan katering ke rumah mewah yang kuyakini rumah pria itu. Seorang wanita membukakan pintu, mungkin itu istrinya. Lalu, aku menyerahkan pesanan ke wanita tersebut dan sepertinya aku diminta untuk masuk. Deg! Tiba-tiba di rekaman CCTV ruang tengah, seseorang yang mirip diriku dan pakaiannya pun sama denganku yaitu pakaian petugas katering tampak menyeret tubuh istri dari pria itu yang sepertinya pingsan. Lalu perempuan yang mirip denganku mengambil pisau di sakunya dan menusukkan berkali-kali ke istri pria itu. Penusukan memang tidak terlihat karena tampak dari belakang punggungku, tapi yang jelas darah berceceran di mana-mana. Setelah itu tiba-tiba video rekaman menjadi gelap. “Sudah lihat sekarang! Kamu itu pembunuh!” Tangan pria itu mengepal. Apa ia ingin memukulku? Apalagi jarak kami semakin dekat karena tadi sama-sama menonton rekaman. “Mas itu—itu pasti bukan aku! Buat apa aku membunuh istri mas? Kami juga sepertinya tak saling kenal. Ini pun video rekaman tidak terlihat jelas wajah pembunuhnya. Bisa jadi ada yang menjebakku dengan postur tubuh sama denganku.” “Tapi, hanya kamu yang datang ke rumah saya hari itu! Dan saya yang menemukan kamu tertidur di sofa sambil memegang pisau dengan darah istri saya!” Pria itu terlihat frustrasi menceritakannya. “Mas, Pak Polisi, dan Bu Polwan tolong percaya. Aku tidak pernah membunuh orang. Meskipun saat ini aku tidak ingat setelah masuk ke rumah itu aku melakukan apa, tapi—” Ucapanku terputus. Bagaimana ya cara meyakinkan mereka. Aku memang tidak ada ingatan apapun. Hanya perkataan jiwa Zeeyalah yang aku yakini bahwa ia tidak pernah membunuh orang. “Mana ada pembunuh yang mau ngaku?! Apalagi kamu seorang psikopat! Cepat katakan di mana tubuh istri saya!” bentak pria itu lagi. Benar juga ucapannya, apalagi semua bukti mengarah kepadaku. Aku mengacak rambutku lalu kembali merebahkan diri dan menutup wajahku dengan kain putih. “Kalau tahu begini, aku mending ke duniaku saja!” kesalku setengah berteriak. Aku yakin semua akan menganggapku tidak waras, terdengar pria itu mengumpatiku beberapa kali. Dokter datang dan memeriksaku. Sepertinya dokter itu sangat terkejut karena kondisiku baik-baik saja, yang kutahu ternyata Zeeya di dunia ini memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri setelah sepuluh hari dipenjara. Kalau aku mengakhiri hidupku juga, apa aku punya kesempatan lain untuk kembali ke duniaku yang lama. Setidaknya aku di sana bukan berada di dalam jeruji besi, tapi sepertinya tak mungkin aku diberi kesempatan lagi. “Saudari Zeeya Auristela, sekarang waktunya Anda kembali ke Rutan!” tegas salah satu polisi, lalu Bu Polwan memborgol pergelangan tanganku. “Pak, Bu, aku tidak bersalah.” Aku panik karena tidak mau masuk penjara. Dua orang polwan memegangi tanganku dan menyeretku keluar. “Mas, tolong percaya kalau aku bukan pembunuh!” teriakku sambil menoleh ke belakang melihat pria yang mengira aku adalah pembunuh, tapi ia tetap menatapku sinis. Akhirnya aku hanya pasrah mereka mengiringku masuk ke mobil dan kembali ke Rutan. Di perjalanan aku sempat bertanya pada seorang polwan yang menurutku bisa diajak bicara sedikit. Ternyata statusku masih sebagai tersangka, mereka dalam penyelidikan meski semua petunjuk mengarah kepadaku. Namun, ada beberapa hal yang mengganjal. Aku benar-benar tak ada hubungannya dengan Nyonya Grasia, istri dari Tuan Raffa. Dari sanalah aku tahu nama pria tadi adalah Raffa Alfandra dan istrinya bernama Grasia Desliana. Polwan itu juga mengatakan aku telah melakukan tes kejiwaan, hasilnya aku tidak bermasalah hanya saja diriku orang yang sedikit tertutup. Belum lagi mengenai CCTV yang tiba-tiba rusak dan juga di mana sebenarnya tubuh Grasia karena tampak aku tak keluar dari rumah mewah itu. Hal itu yang melandasi belum ada kepastian tentang kasus ini dan masih dalam penyelidikan lebih lanjut. Polwan itu heran mengapa aku bisa sampai hilang ingatan karena percobaan bunuh diri yang kulakukan. Namun, tidak mungkin aku menjawab kalau aku bukanlah jiwa Zeeya di dunia ini, bisa-bisa aku dianggap tidak waras, tadi saja aku sudah tampak aneh. Sekarang aku bertekad untuk bertindak senormal mungkin agar tidak dianggap mengalami gangguan mental. Aku pun dimasukkan ke dalam sel tahanan yang hanya aku sendiri di dalamnya karena diriku tersangka pembunuhan yang sangat keji pada korbannya. Benar-benar menyeramkan bukan. Dulu aku di RSJ, sekarang aku di Rutan. Andai saja aku memilih kembali ke duniaku, aku bisa bebas dari RSJ memulai hidup baru, ya walau aku masih ingin punya anak dan jika kembali ke dunia itu kemungkinan besar aku tidak bisa punya anak, tapi di sini aku malah terkurung di penjara. Kalau begini bagaimana caranya mencari lelaki baik, menikah, dan punya anak? “Zeeya oh Zeeya kenapa nasibmu begini amat?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD