Serly Novianti Marcelia, wanita yang saat ini berusia tiga puluh satu tahun adalah istri dari Revaldo Anggara Dinardi berusia tiga puluh delapan tahun, seorang CEO dari perusahaan ternama, mempunyai sekaligus mengelola proyek hotel, pusat perbelanjaan, dan yayasan-yayasan sosial.
Serly dan Aldo memiliki dua anak. Anak pertama mereka seorang putri yang belum genap berusia empat tahun bernama Nayra Azalea Dinardi dan putra kecil mereka berusia satu tahun bernama Rainer Ivander Dinardi.
Kehidupan keluarga Revaldo sekarang selalu diisi dengan kebahagiaan setelah liku-liku permasalahan yang mereka alami sebelumnya.
Sekarang Serly sedang berada di kamarnya. Setelah beberapa saat lalu menemani sang putri untuk tidur. Nayra sudah memiliki kamar sendiri di sebelah kamar orang tuanya, sedangkan Rainer memang masih tidur di kamar Serly dan Aldo. Kadang mereka masih sering tidur berempat.
Serly tersenyum melihat sang putra kecil tertidur dengan lelapnya bahkan dia tak terbangun saat Serly pergi menemani Nayra. Coba saja jika Rainer bangun, pasti tangisannya akan menggema di seluruh ruangan. Rainer hampir sama dengan Nayra dulu, yang akan menangis jika tak melihat salah satu dari orang tuanya atau orang yang dikenalnya.
Serly masih belum mengantuk, suaminya pun sibuk di ruang kerja. Aldo memang sering pulang lebih awal karena selalu rindu dengan dua buah hati dan dirinya. Alhasil pria itu akan bekerja sampai larut di ruang kerjanya seperti sekarang ini.
Serly memilih mengambil tablet miliknya, berselancar di dunia maya. Melihat beberapa berita. Dia memang sudah lama tak membaca berita karena sibuk mengurus putra-putrinya dan toko kuenya.
"Astaga tega sekali, ada pengantar katering yang membunuh seorang pelanggan." Serly mencoba mencari video rekaman pembunuhan yang digembar-gemborkan, cukup sulit karena sepertinya rekaman itu telah dihapus, sampai ia menemukan satu website yang belum menghapus video itu. Serly bergidik ngeri ketika menonton video mengerikan itu, wajah pelaku sama sekali tak terlihat. Namun, lebih sadis karena pembunuhnya perempuan.
"Katanya ini yang dibunuh istri dari Raffa Alfandra seorang pengusaha juga. Mas Aldo kenal tidak, ya?" Perusahaan Raffa bergerak di bidang industri tekstil. Perusahaan itu cukup maju.
“Ternyata yang dibunuh adalah istri ketiga Raffa dan sekarang Raffa dirumorkan sebagai CEO yang dikutuk karena istri-istrinya selalu celaka bahkan yang ketiga sampai terbunuh.”
Serly semakin tertarik dengan cerita kehidupan pernikahan Raffa, juga dengan peristiwa pembunuhan itu. Nama istri dari Raffa adalah Grasia Desliana.
"Aku jadi kasihan dengan Raffa, pasti dia sangat sedih karena kematian istrinya, belum lagi rumor buruk tentangnya." Serly sendiri percaya tak percaya dengan rumor itu, apalagi dia tahu di dunia yang ia tempati sekarang penuh dengan misteri. Kehidupannya pun juga bisa dikatakan misteri.
Serly penasaran dengan nama dan wajah pelaku pembunuhan sadis itu, dari yang ia baca hanya inisial yaitu Z.A, tak ada yang menyebutkan nama lengkapnya.
"Kenapa nggak ada? Mungkin artikel yang menyebutkan nama dan memperlihatkan wajah sudah dihapus semua kali ya." Serly tampak kecewa karena rasa penasarannya tak terobati.
Serly pantang menyerah ia melihat jam telah menunjukkan pukul 21.30, belum terlalu malam untuk menghubungi seseorang.
Serly mengirim pesan kepada salah satu anak buah Aldo.
Serly : Win, cari tahu tentang pembunuhan istri dari Raffa Alfandra. Aku ingin tahu nama dan wajah pelakunya. Sekarang ya.
Win pun langsung membalas pesan itu.
Win : Siap, Bu Boss. Tunggu 5 menit.
Win yang dulu ikut terlibat dalam menculik Serly dan Erina, sahabat Serly, tapi akhirnya ikut membebaskan mereka, saat ini memang menjadi anak buah Aldo dan bekerja di perusahaan suami dari Serly itu. Beberapa tahun terakhir Win sangat setia pada Aldo dan Serly. Pria itu bersyukur karena diberi kesempatan, apalagi biaya pengobatan kanker sang adik sudah ditanggung oleh Serly. Sekarang adiknya telah dinyatakan sembuh, tapi harus terus dilakukan pemeriksaan rutin agar mudah terdeteksi jika memang sel kanker masih ada.
Hanya menunggu lima menit, terasa lama bagi Serly karena benar-benar penasaran ingin melihat wajah pelaku pembunuhan yang rumornya adalah psikopat.
Bunyi pesan masuk ke ponsel Serly. Benar saja itu dari Win dan dengan terburu-buru Serly membukanya.
"Namanya Zeeya Auristela. Kenapa aku merasa pernah dengar? Coba kulihat fotonya." Seketika tangan Serly gemetar saat memperhatikan foto itu. Tabletnya terjatuh dari tangannya, wajahnya tampak tak percaya.
"Dia—wajahnya seperti—halusinasiku dulu," lirih Serly.
Ingatannya melayang saat enam tahun lalu di kehidupan yang lama.
"Hai kak, namaku Zeeya Auristela, bisa dipanggil Zeeya atau Zee. Nama kakak siapa?"
"Kenapa kakak diam saja? Kakak tidak bisa bergerak, ya?"
"Kenalkan ini putra putriku namanya Reno dan Rani. Aku juga sedang hamil anak ketigaku. Nanti kalau aku sudah melahirkan, aku ajak main ke sini."
"Kakak aku bantu pijat kakinya. Pasti kakak pegal tidak bisa bergerak."
Serly tersadar dari lamunannya.
"Dulu aku kira dia hanya halusinasiku karena aku butuh teman untuk sekedar bersamaku di hari-hari terakhir hidup di dunia itu, tapi ternyata dia benar-benar nyata," gumam Serly. Dia memang dulu sering berhalusinasi, sulit baginya menyadari mana yang nyata dan mana halusinasi kadang ia pun melihat sosok seseorang berlumuran darah ingin membunuhnya.
Zeeya mengunjungi Serly setiap hari kira-kira selama seminggu sebelum ia meninggal untuk sekedar mengobrol. Memang hanya Zeeya yang berbicara panjang lebar karena Serly tak mampu berbicara kala itu. Selama ada Zeeya di ruangannya, Serly tidak berhalusinasi hal-hal buruk sehingga Serly merasa nyaman ketika berada di dekat Zeeya, tapi dalam pikirannya dia menganggap Zeeya hanya sekedar halusinasi.
"Sepertinya Zeeya di duniaku dulu memang mengalami gangguan jiwa. Seingatku dia menganggap boneka sebagai bayinya, tapi apa benar Zeeya di dunia ini orang yang tega membunuh dan seorang psikopat?" Serly ingin sekali memastikan. Dia bermaksud berkunjung ke rutan, tapi akan susah meminta izin pada Aldo.
***
Sementara itu di ruangannya, Aldo sedang berkirim pesan dengan Nathan. Mereka akan membantu perusahaan Raffa Alfandra salah satu adik tingkat keduanya saat kuliah dulu. Raffa sedang terkena musibah bertubi-tubi. Perusahaannya mengalami penurunan akibat pembunuhan istri Raffa dan rumor buruk tentang pria itu.
"Aneh sekali? Kenapa Raffa selalu mengalami kejadian janggal dalam pernikahannya," gumam Aldo. Apalagi sekarang istri Raffa terbunuh dan jenazahnya belum ditemukan.
Suara ketukan membuyarkan lamunan Aldo.
"Masuk!"
"Mas aku bawakan kopi." Serly masuk ke dalam ruang kerja suaminya. Pria itu tersenyum melihat istri cantiknya berkunjung sambil membawakan kopi.
Serly menaruh cangkir kopi itu di atas meja. Dia kembali mendekati Aldo dan duduk di pangkuan sang suami. Inilah kebiasaan Serly yang telah ia lakukan selama hampir enam tahun terakhir.
"Mas ...," panggil Serly sambil mengecup pipi Aldo.
"Apa, Sayang?" Aldo membalas kecupan di pipi sang istri sembari memeluk erat pinggang wanita itu.
Serly terdiam, ragu untuk mengatakan hal dalam pikirannya.
"Sayang, kamu mau minta apapun, masmu ini akan berusaha menurutinya." Aldo berusaha meyakinkan istrinya yang sepertinya bimbang untuk mengatakan keinginannya.
Serly tersenyum, suaminya memang se-sweet itu. Beruntunglah ia mempunyai suami baik, tampan, mapan, dan tentu mencintainya.
"Tapi, jangan marah ya?"
"Memangnya sekarang Mas pernah marah sama kamu." Mengingat saat tiga tahun di awal pernikahannya dengan Serly, Aldo selalu marah terhadap sang istri, tapi itu semua karena kesalahpahaman semata.
"Aku boleh tidak jenguk seseorang di penjara?" Aldo mengerutkan keningnya.
"Siapa? Dion?" Serly dengan cepat menggeleng. Buat apa dia menjenguk Dion. Dia sudah tidak ada urusan dengan pria itu, benar- benar ingin melupakan kenangan buruknya.
"Bukan, Mas tau nggak kasus pembunuhan istri pengusaha yang namanya Raffa Alfandra?"
"Tau. Raffa itu adik tingkatku saat kuliah dulu. Sekarang aku dan Nathan berencana membantu perusahaan Raffa, tapi apa hubungannya sama kamu yang ingin ke penjara, Sayang?"
"Aku mau menemui tersangka pelaku pembunuhan itu." Serly tampak gugup.
"Hah!?” Aldo tersentak kaget dengan keinginan sang istri. "Jangan aneh-aneh, Sayang. Bahaya, wanita itu kelihatannya memang psikopat. Apa kamu sudah lihat videonya? Itu sadis sekali. Lagi pula kamu mau apa ketemu dia?" Aldo tidak mengerti jalan pikiran sang istri saat ini.
Serly memajukan bibirnya, cemberut. Aldo yang tadinya kesal menjadi gemas. Pria itu mengecup singkat bibir ranum sang istri.
"Ih genit," gerutu Serly. Aldo terkikik geli karenanya.
"Kamu belum jawab, Sayang. Ada perlu apa kamu sama wanita itu? Kamu memangnya kenal?"
Serly terdiam, bingung mau menjawab apa. Dia kenal, tapi bukan di kehidupan ini.
"Mas percaya nggak tentang dunia lain, kehidupan lain, dimensi lain, ada orang-orang yang memang wajahnya mirip kita di kehidupan itu?" Serly ingin tahu pendapat suaminya. Jika suaminya tampak percaya mungkin dia akan berbicara jujur tentang dirinya.
Aldo menatap dalam mata sang istri. Ia tentu percaya karena Aldo pernah memimpikan itu saat ia koma, tentang Aldo di dunia lain yang sangat mencintai Serly, tapi wanita itu menikah dengan Dion dan akhirnya meninggal. Selanjutnya ketika Aldo ingin mencari bukti tentang kematian Serly dan juga Nathan, sahabatnya, Aldo di dunia lain pun kecelakaan dan akhirnya meninggal.
Serly yang melihat suaminya terdiam menjadi ragu ingin mengatakan sejujurnya atau tidak.
"Aku percaya," jawab Aldo singkat. Serly menatap Aldo. Ia melihat ada kesedihan di mata suaminya.
Aldo sendiri sedang mengingat dirinya di kehidupan lain yang begitu menyedihkan karena cinta yang bertepuk sebelah tangan dan akhirnya harus meregang nyawa.
"Apa Mas percaya kalau aku di kehidupan lain pernah menjadi gila dan—" Serly ragu mengatakannya takut sang suami tak percaya dan berpikir dia mengada-ada.
"Meninggal karena jatuh dari atap gedung rumah sakit jiwa Amarilis bersama Om Rico." Aldo melanjutkan dan berpikir sepertinya Serly juga pernah memimpikan kehidupan lain.
Serly terbelalak karena Aldo tahu tentang itu.
"Ma—mas kenapa bisa tahu?" Suara Serly tercekat. Dia tidak mengira Aldo mengetahui ini.
Aldo menggendong Serly dan mendudukkannya di sofa ruangan itu, kemudian pria itu duduk di sebelahnya. Serly tidak terima dan kembali duduk di pangkuan Aldo. Pria itu yang awalnya ingin serius membicarakan tentang mimpinya saat koma menjadi geli sendiri dengan tingkah super manja sang istri yang tak pernah berubah.
"Kamu tuh manja banget. Gimana mau serius coba?"
"Kalau nggak manja bukan Serly namanya." Serly menempelkan kepalanya di d**a bidang Aldo.
"Ayo Mas cerita, kenapa Mas bisa tahu tentang kehidupan lain?" Aldo akhirnya menceritakan mimpinya kala itu.