Posesif

1165 Words
"Aku cek kesehatan besok, Mas," ucap Aluna pelan, matanya kosong menatap lurus ke arah suara televisi yang gaduh. "Aku antar," jawab Baskara singkat, nadanya sedingin embun pagi. Ia tak menoleh sedikit pun dari ponselnya. Aluna mengusap lembut kucing yang tidur di pangkuannya. "Kamu besok nggak ke kantor, Mas?" tanyanya ragu. "Antar kamu dulu, baru ke kantor," tegas Baskara. "Oke," sahut Aluna. Senyap sesaat, hanya diselingi dengkuran halus si kucing. "Mas, lagi apa?" tanyanya lagi, memecah keheningan. "Pegang HP, lagi lihat jadwal besok," jawab Baskara. "Oh, gitu ya? Apa aku bisa lihat lagi, Mas?" Aluna bertanya dengan nada penuh harap. Baskara terdiam. Ia meletakkan ponselnya, menoleh, dan menatap lekat mata Aluna yang sayu. Tangan kekarnya terangkat, menggapai wajah Aluna, lalu mendarat dan membelai lembut pipinya. "Sayang, aku lagi berusaha," desah Baskara, suaranya sedikit parau. "Jangan bahas ini terus, ya? Aku suka sakit d**a, sesak jika lihat kamu begini." "Memangnya aku kenapa sampai nggak bisa lihat, Mas?" Aluna bersikeras, keheranan tercetak jelas di wajahnya. "Aku tuh jadi suka dengar suara-suara aneh... Apa dulu aku juga gini?" Baskara menarik napas dalam, sorot matanya berubah gelap oleh kesedihan yang tersembunyi. "Kita kecelakaan di jalan tol, Sayang. Saat itu hujan besar, aku nabrak kucing, dan mobil kita tergelincir ke pembatas jalan..." Ia mengusap kepala Aluna dengan sangat lembut, seolah menyentuh kaca yang rapuh. "Kepala kamu... terbentur cukup keras." Ia berhenti sejenak, menelan gumpalan di tenggorokannya. "Aku juga kaki aku patah, Sayang. Aku sembuh lebih dulu, kalau kamu... koma selama satu tahun," bisik Baskara, sebuah pengakuan yang selalu terasa menyakitkan. "Ooh, gitu, ya?" Aluna bergumam, mencerna fakta yang terasa asing itu. "Apa hidup kita memang sepi kayak gini, Mas?" Baskara mengerutkan keningnya, tatapan dinginnya menghilang, diganti kebingungan. "Sepi? Sepi bagaimana, Sayang?" "Rumah ini sepi, Mas. Nggak ada anak kecil, nggak ada canda tawa... Apa memang kayak gini?" Aluna memandang sekeliling ruang keluarga yang luas dan sunyi. "Andai kamu tahu, dulu rumah ini hampir tak ada suara setiap harinya," batin Baskara getir, teringat masa lalu yang jauh lebih kelam. "Mas?" Aluna memanggil lagi karena tak ada jawaban. Baskara hanya diam, menatap istrinya, sosok yang kini jauh berbeda dari Aluna yang ia nikahi. "Iya, Sayang? Ada apa?" tanya Baskara, berusaha kembali fokus. "Di sini memang sepi. Aku nggak banyak keluarga di Indonesia," ucap Baskara sambil menyesap kopi. "Oh, gitu ya? Mas, kalau aku punya keluarga, kan?" tanya Aluna polos. "Sudah malam, Sayang. Kita bobok ya," ucap Baskara, buru-buru mengalihkan pembicaraan. Ia memberikan Aluna obat tidur dosis ringan, lalu membawanya masuk ke kamar. Aluna merasa heran. Setiap kali ia bertanya tentang hal-hal tertentu, selalu ada dinding tak terlihat yang melarangnya mengetahui lebih jauh. Baskara membaringkan Aluna, menyelimutinya dengan hati-hati. Setelah mematikan lampu dan memastikan Aluna terlelap, ia merebahkan diri di sofa yang sengaja ia letakkan di kamar itu. Tengah malam, Aluna bermimpi. Ia duduk di sebuah taman yang sangat indah, sebuah tempat damai yang hanya bisa ia kunjungi dalam tidurnya. Di hadapannya, ia melihat tiga wanita seusianya. Mereka tampak familiar, namun samar. "Lo ke mana aja? Kita kangen!" ucap salah satu wanita itu dengan nada riang. "Kalian siapa?" tanya Aluna, alisnya bertaut. "Kita sahabat lo, Sayang," jawab wanita lainnya sambil tersenyum misterius. "Aku ada di rumah suami aku. Aku sakit. Kenapa kalian nggak pernah datang?" Aluna bertanya, hatinya dipenuhi kerinduan yang tak terjelaskan. "Kamu hilang..." bisik suara serak seorang laki-laki di belakang Aluna. Suara-suara mereka terdengar berbisik, wajah mereka pun semakin samar dan menjauh. Aluna mencoba meraih mereka, ingin bertanya lebih banyak tentang masa lalunya, tetapi ia tidak menemukan jawaban apa pun. Ia berjalan, mengikuti teman-temannya, hingga ia berdiri di depan sebuah rumah yang asing. Aluna masuk. Ketiga sahabatnya sudah berkumpul, duduk di sofa. Mereka bercanda, tertawa bersama. Aluna tersenyum, lalu tawa kecilnya keluar. Tawanya itu menembus dunia nyata. Baskara tersentak bangun dari sofa. Ia mendekat, menatap wajah Aluna yang sedang tertawa dalam tidur. Dia mimpi apa? gumamnya, tangannya mengepal, rahangnya mengeras menahan amarah yang tiba-tiba. Ia mengusap rambut Aluna, lalu membungkuk dan mengecup bibirnya dengan tekanan penuh. Mimpi Aluna buyar seketika. Ia menggeliat, mengubah posisi tidurnya, lalu kembali tenang. Baskara kembali ke sofa, berbaring, dan mencoba tidur lagi, tetapi malam itu pikirannya terlalu gelisah. Keesokan paginya, Baskara bangun lebih dulu. Ia sarapan di ruang makan sambil menunggu Aluna terbangun. "Tuan, Ibu di bangunkan?" tanya Santi, pengurus rumah tangga yang selalu sigap. Baskara melirik jam tangannya. "Sebentar lagi. Kasihan," ucapnya sambil menyesap kopi. Mimpi apa dia? gumamnya lagi, matanya menyipit, berpikir keras. Tak lama kemudian, Aluna terbangun. Santi sudah berdiri di sampingnya, bersiap memandikan dan membantunya bersiap. Usai mandi, Aluna mengenakan baju kasual. Rambutnya yang panjang tergerai. "Aku mau pakai makeup," pintanya dengan senyum cerah. "Baik, Bu," sahut Santi, lalu memakaikannya rangkaian skincare, sunscreen, bedak tipis, dan lipstik. Baskara masuk ke kamar, berdiri di belakang Aluna, memperhatikan pantulan istrinya di cermin. "Aku cantik nggak, San?" tanya Aluna pada Santi, penuh harap. "Cantik sekali, Ibu," jawab Santi tulus. "Istriku sudah cantik nih," ucap Baskara tiba-tiba. Sejak tadi ia hanya memperhatikan tanpa bicara. "Akh, Mas! Ngagetin!" seru Aluna sambil tersenyum malu. "Aku kepang rambutnya, ya?" tawar Baskara. Ia mengambil sisir, menyisir lembut rambut Aluna, lalu mengepangnya dengan telaten. "Sudah jadi, rapi kan?" ucap Baskara, menggenggam tangan Aluna, lalu mengajaknya ke rumah sakit pagi itu. Setelah diperiksa, Aluna duduk di taman rumah sakit bersama Santi, menikmati hangatnya matahari pagi. Sementara itu, Baskara duduk di ruangan dokter. "Dok, apakah istri saya bisa ingat lagi jika dia selalu bermimpi?" tanya Baskara, suaranya tegang. "Bisa saja, Tuan. Apa dia suka bertemu teman atau keluarganya? Itu bisa membuat penyembuhannya lebih cepat," jelas Dokter. "Nggak, Dok. Mereka sibuk," jawab Baskara cepat. "Oh, begitu. Kondisi Ibu Aluna baik, ya. Soal ingatannya, jangan dipaksakan. Soal matanya, kita masih berusaha mencari pendonor," ujar Dokter menenangkan. "Baik, Dok. Terima kasih," ucap Baskara, lalu pamit dan pergi. "Ayo," ajak Baskara sambil meraih tangan Aluna dengan kuat. Mereka masuk ke mobil dan segera meninggalkan rumah sakit. Di dalam mobil, Baskara tak bisa menahan rasa penasarannya. Ia bertanya dengan hati-hati. "Semalam mimpi apa sampai senyum sendiri?" "Aku itu lagi di taman. Tiba-tiba lihat tiga orang cewek cantik. Katanya mereka teman aku," jawab Aluna jujur. Baskara langsung mengeratkan genggaman tangannya pada setir mobil. Rahangnya mengeras, napasnya memburu. Ia mendengus kesal. "Kenapa gitu, Mas?" tanya Aluna lembut, merasakan perubahan ketegangan di udara. "Itu cuma mimpi, jangan sampai mikir yang aneh-aneh," ucap Baskara, nadanya terdengar seperti membentak, tetapi ia berusaha meredamnya. Santi yang duduk di kursi belakang menunduk diam, takut melihat kemarahan yang tiba-tiba meluap dari diri Baskara. "Ya, aku juga mikir cuma mimpi aja, kok. Nggak mikir aneh, Mas. Kenapa Mas gitu ngomongnya?" Aluna bertanya heran, merasa disalahkan. Baskara tak menjawab. Ia hanya mempercepat laju mobilnya, hingga mereka tiba di rumah. Aluna berjalan, dipapah Santi, dari gerbang menuju pintu. Sementara itu, Baskara pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia melajukan mobilnya dengan kencang, meninggalkan asap. "Dia kenapa?" gumam Aluna, sangat heran. Santi tak berani menjawab, takut salah bicara. Aluna pun masuk, duduk di sofa, dan mencoba menenangkan pikirannya dengan mendengarkan musik. Ia tahu, ada sesuatu yang besar yang disembunyikan Baskara darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD