Malam itu, Aluna diam di kamarnya. Sunyi, sepi, tak ada suara selain detak jam dinding yang terasa memecah kesunyian.
Aku kapan sembuh, ya? batin Aluna pilu. Aku nggak mau jadi beban dan nggak berguna kayak gini.
Gelombang pertanyaan menyergapnya. Apa aku punya keluarga? Apa aku punya teman? Kenapa mereka tak ada yang peduli padaku?
Lalu, pertanyaan yang paling menyakitkan muncul. Kenapa aku dan Baskara tidak satu ranjang? Kenapa dia pisah kamar? Apa pernikahan kami sungguhan?
Ia menutup matanya, berusaha mengusir sejuta pertanyaan yang membebani benaknya, dan tertidur dalam keheningan yang menyesakkan.
Keesokan harinya, Aluna terbangun pagi hari. Ia sudah rapi dan tampak cantik berkat bantuan Santi.
"Mas Baskara ke mana, ya? Kok nggak ada dari semalam?" tanya Aluna, menyadari kekosongan tempat di sofa kamar.
"Tuan nggak pulang, Bu," jawab Santi hati-hati.
"Kamu ada nomornya, kan?" tanya Aluna, nada khawatirnya jelas.
"Iya, Bu," sahut Santi.
"Aku ikut nelpon ya," pinta Aluna, cemas pada suaminya.
Santi mengangguk. Ia menekan nomor Baskara di telepon rumah dan memberikan gagang telepon itu pada Aluna.
"Halo? Ada apa?" tanya Baskara dari seberang, suaranya terdengar dingin dan tegas.
"Mas, ini aku," ucap Aluna dengan lembut.
"Ekh, Sayang? Ada apa?" Suara Baskara seketika melembut, terkejut dan sedikit gugup.
"Kenapa Mas nggak pulang?" tanya Aluna.
"Aku semalam lembur, Sayang, dan ketiduran di apartemenku. Kenapa?" jawab Baskara.
"Apartemen?" Tiba-tiba, Aluna merasa ada kilasan masa lalu yang cepat, seperti flash kamera. Ia melihat dirinya tertawa bahagia bersama seorang laki-laki—wajahnya samar—di sebuah apartemen.
"Iya, apartemen kita, Sayang," kata Baskara cepat, menutup celah pertanyaan.
"Aku khawatir lho, Mas, sama kamu. Kamu sudah makan?" tanya Aluna, kembali ke mode istri yang peduli.
"S... sudah," jawab Baskara, gugup yang kentara.
"Kok gitu jawabannya? Jangan bohong, Mas. Nanti sakit. Sarapan dulu ya? Nanti malam pulang kan?" desak Aluna.
"Iya, Sayang, aku akan pulang," janji Baskara.
"Aku tunggu ya, Mas," ucap Aluna lega.
"Iya, Sayang." Baskara menutup teleponnya.
Semalam Baskara memang tidak pulang. Ia merasa frustrasi karena usaha mencari pendonor mata untuk Aluna belum membuahkan hasil. Dalam keputusasaan, ia pergi ke sebuah klub dan mabuk parah bersama teman-temannya.
Ia tak menyangka Aluna akan mengkhawatirkannya.
"Kok kamu beda, Aluna?" gumam Baskara sambil termenung di apartemen miliknya.
Apartemen ini adalah miliknya sebelum menikah. Dinding kamar penuh dengan foto-foto Aluna saat masih kuliah. Namun, baik di rumah maupun di apartemen ini, tidak ada satu pun foto pernikahan mereka.
"Maafkan aku, Aluna," ucap Baskara lirih, menatap foto istrinya lebih lama, penuh penyesalan. Ia pun memutuskan pergi ke kantor siang itu, wajahnya lelah dan matanya memerah.
Di rumah, Aluna terdiam. Ia mencoba mengingat kilasan tentang apartemen itu, tetapi kepalanya tiba-tiba terasa sangat pusing.
"San..." panggilnya, memijit pelipisnya.
"Ya, Bu?" sahut Santi sigap.
"Apa aku dulu sering ke apartemen Mas Baskara?"
"Nggak, Bu," jawab Santi tanpa ragu.
"Nggak?" Aluna terheran. Barusan apa, ya? gumamnya dalam hati, masih memegangi kepalanya yang berdenyut.
Sore harinya, Aluna mandi dan bersiap menyambut Baskara. Ia berdandan cantik, menggunakan riasan tipis. Aluna pun mulai belajar berjalan sendiri di dalam rumah, sengaja agar tak merepotkan siapa pun, meskipun Santi tetap mengikuti dengan waswas.
Tak lama, Baskara masuk ke rumah. Suara langkah kakinya yang berat dan cepat terdengar jelas oleh Aluna yang sedang duduk di sofa ruang tengah.
"Mas, sudah pulang?" ucap Aluna, tersenyum lebar. Senyumnya begitu tulus, menghilangkan penat di wajah Baskara.
Baskara tertegun melihat Aluna yang cantik dan menyambutnya. Rasa lelahnya seketika hilang.
"Sudah. Aku bawain makanan untuk kamu," kata Baskara sambil menghampiri Aluna.
"Bawa apa?" tanya Aluna ceria.
"Donat sama pizza," jawab Baskara.
"Wah, enak kayaknya!" ucap Aluna.
"Aku mandi dulu ya," ucap Baskara, lalu bergegas pergi.
Aluna mengangguk, namun dalam hati ia kembali mempertanyakan. Apa Baskara tak mencintaiku? Kenapa tak ada pelukan atau ciuman sebelum atau sepulang kerja?
Aluna diam. Ia pun memutuskan berjalan menuju taman sambil menunggu Baskara selesai mandi.
Di tengah perjalanan, Aluna sempat membentur meja. Kakinya terasa sakit. Santi was-was, takut Baskara akan marah besar karena istrinya terluka. Ia harus bersiap kena amuk.
Usai mandi, Baskara duduk di hadapan Aluna. Ia menyuapi Aluna dengan lembut.
"Ini enak banget, ya," ucap Aluna sambil tersenyum.
"Hmm, pasti," sahut Baskara, ikut tersenyum tipis.
"Mas makan juga, dong. Aku suapin ya," tawar Aluna sambil meraba-raba mencari tangan Baskara.
"Nggak usah," jawab Baskara, suaranya terdengar ketus.
"Maaf," ucap Aluna, wajahnya langsung tertunduk dan terdiam.
"Gak apa-apa. Kamu makan yang banyak. Aku sudah kenyang," ujar Baskara, mencoba memperbaiki suasana.
"Mas, kenapa sih sikap kamu berubah-ubah?" tanya Aluna, bingung.
"Nggak, aku biasa aja," kilah Baskara.
"Tadi kamu baik, tapi sekarang tiba-tiba ngambek," tuduh Aluna.
"Aku nggak ngambek. Ini, makan pizzanya," Baskara kembali menyuapi.
"Aku kenyang," ucap Aluna, tiba-tiba selera makannya hilang.
Mereka pun diam tak bersuara. Tiba-tiba, Baskara melihat lutut Aluna membiru. "Ini kenapa?" tanyanya, nada suaranya berubah panik dan khawatir.
"Aww, sakit! Kok ditekan sih?" rengek Aluna manja.
Kok dia manja? gumam Baskara dalam hati, keheranan dengan tingkah baru istrinya.
"Tadi aku jalan sendiri. Aku nggak mau ngerepotin orang lain, tapi kejedug meja," jelas Aluna, nadanya merengek manja, membuat Baskara semakin keheranan.
Baskara mengelus luka itu, lalu pergi menghampiri Santi.
"Maafkan saya, Tuan," bisik Santi, tidak ingin Aluna mendengar.
"Kan saya sudah bilang jaga dia! Kamu ini!" Baskara meluapkan kekesalannya.
"Dia yang ingin jalan, Tuan. Saya sudah ikuti, tapi dia nggak mau dipegang," bela Santi.
"Ya sudah. Besok jangan terulang lagi," tegas Baskara.
"Iya, Tuan," ucap Santi lalu pergi.
Aluna berdiri dan mencoba berjalan menuju ruang tengah.
Baskara dengan sigap menghampirinya, memegang erat tangan Aluna. Tangan satunya melingkari pinggang Aluna, mendekapnya agar tak terjatuh. Jantung Aluna berdebar kencang, pipinya memerah.
"Kamu demam?" tanya Baskara, melihat pipi Aluna terlihat berwarna pink.
"Nggak," ucap Aluna malu-malu.
"Tapi pipi kamu kenapa merah gitu?" Baskara merasa heran.
"Iya, kah?" Aluna bertanya balik, tidak tahu seperti apa wajahnya saat ini.
Mereka pun duduk. Aluna mendengarkan suara film kesukaannya.
"Ini drama Korea Mr. Queen, ya?" ucap Aluna tiba-tiba.
"Kok kamu tahu? Ini drama favorit kamu," kata Baskara, terkejut.
"Aku sudah hafal ucapannya. Berapa kali aku nonton, ya, dulu?" Aluna tersenyum manis, ingatannya seolah kembali sebentar.
Baskara terdiam. Ia tidak tahu apa-apa yang pernah Aluna lakukan dulu.
"Aku suka drama ini. Kocak. Rajanya lucu. Aku ingat wajahnya," kata Aluna lagi, penuh antusias.
Baskara terdiam. Ia merasa antara bahagia dan sedih campur aduk. Ia pun ingin pergi, tak tahan dengan gejolak emosinya.
"Mas mau ke mana?" tanya Aluna.
"Ke ruang kerja," jawab Baskara dingin, tanpa menoleh.
"Kok aku ditinggal sih?" ucap Aluna, suaranya dipenuhi kesedihan.
"Ada saya, Bu," ujar Santi menenangkan.
"Ya beda lah! Aku mau sama suami aku!" protes Aluna.
"Maaf, sebentar saja ya, Sayang," ucap Baskara, lalu bergegas pergi.
"Nggak peka!" gerutu Aluna tiba-tiba, suaranya cukup keras.
Baskara mendengar itu. Tapi ia tak tahan. Ia segera masuk ke ruang kerja, menutup pintu, lalu air matanya tumpah begitu saja.
Baskara menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit. Ia merasa bersalah sepenuhnya dengan apa yang Aluna alami.