Aluna terbangun sore harinya, setelah tidur pulas karena efek obat tadi siang. Ia pun berjalan menggunakan tongkat, yang dibelikan Baskara tempo hari.
"Ibu sudah bangun? Kenapa nggak panggil?" ucap Santi, khawatir.
"Gak apa-apa, San. Aku mau coba mandiri, boleh, kan?" ucap Aluna.
"Tapi Bapak suka marah, Bu. Kalau Ibu luka dikit aja, saya kena marah habis-habisan," ungkap Santi.
"Oh, ya? Kok gitu?" tanya Aluna.
"Bapak sayang sekali sama Ibu," jawab Santi.
"Iya sih, tapi kadang dia ketus, bikin aku sakit hati," curhat Aluna.
Saat itu, Baskara baru masuk. Ia mendengar semuanya. Santi menunduk, dan Baskara memberi tanda agar Santi tak memberitahu kehadirannya di sana.
"Aku kok merasa kalau Mas Baskara bukan suamiku," ucap Aluna.
"Loh, kok begitu? Bapak suami Ibu. Itu cincinnya, Ibu pakai, kan?" Santi berusaha meyakinkan.
"Pernikahan bukan sekadar cincin, Santi. Ada hal-hal lain dalam pernikahan, yaitu kejujuran dan saling percaya, dan juga sentuhan," jelas Aluna, penuh makna.
Mendengar itu, Baskara terdiam, terkejut. Apa dia ingin disentuh? batin Baskara, jantungnya berdebar.
"Tapi Ibu satu kamar, kan, sama Bapak?" tanya Santi, yang disuruh Baskara agar banyak bertanya untuk mengetahui isi hati Aluna.
"Iya, tapi kemarin-kemarin nggak, kan?" Aluna membalas.
"Ibu sayang sama Bapak?" tanya Santi lagi.
Pipi Aluna merona. "Aku suka sama dia. Dia baik, perhatian. Andai aku sudah bisa lihat, aku akan tatap dia setiap aku mau tidur. Aku akan lihat dia saat aku buka mata, saat terbangun."
"Aku akan chat dia tiap detik, memastikan bahwa dia baik-baik saja. Aku akan telepon dia tiap jam, agar aku bisa dengar suaranya," ucap Aluna sambil tersenyum, senyum yang begitu tulus.
Baskara terdiam, menatap Aluna. Matanya berkaca-kaca, ia ingin sekali memeluk istrinya dengan erat saat itu.
Tak tahan dengan perih yang ia rasakan, ia pergi dari ruang tengah menuju kamarnya. Baskara masuk, menutup pintu pelan, dan bersandar di depan pintu.
Matanya tertutup. "Maafkan aku, Aluna," ucapnya, air matanya menetes.
Ia pun bergegas masuk kamar mandi, membersihkan tubuhnya, mencoba meredam emosinya.
Usai mandi, Baskara duduk di samping Aluna. Aluna merasakan wangi maskulin dari suaminya; aroma sabun masih menempel di badannya.
"Hmm, wangi sekali, Mas! Kapan pulang? Kok aku nggak tahu?" tanya Aluna.
"Barusan. Aku nggak kuat gerah, jadi langsung mandi," ucap Baskara.
"Oh, gitu ya."
"Sudah makan?" tanya Baskara sambil mengecup punggung tangan Aluna.
"Tadi siang, sih," jawab Aluna.
"Aku bawa pizza buat kamu. Dimakan, ya," ajak Baskara.
"Wah, enak kayaknya!" ucap Aluna sambil tersenyum.
Baskara menyuapi Aluna dengan lembut. Aluna pun tersenyum hangat. Ia bahagia saat dekat dengan Baskara.
"Kata Dokter, ada yang mau donor matanya, tapi nunggu waktu dulu," ucap Baskara, memberikan kabar baik.
"Oh, ya? Kapan?" tanya Aluna, penuh harap.
"Hmm, kata Dokter sekitar dua bulan lagi," ucap Baskara sambil merapikan rambut Aluna.
"Makasih banyak ya, Mas," ucap Aluna sambil memeluk lengan Baskara.
Baskara mengecup pucuk kepala Aluna, lalu ia memeluknya dengan erat. "Maafkan aku, Sayang," bisik Baskara, penuh penyesalan.
"Kok minta maaf sih?" ucap Aluna sambil membalas pelukan Baskara.
"Aku banyak salah sama kamu," ucap Baskara.
Aluna terdiam. Bertanya pun percuma, tidak akan ada jawabannya.
"Mau potong rambut?" pinta Aluna manja.
Baskara melirik jam. "Tadi aku sudah panggil hair stylist, katanya nanti malam," ucap Baskara.
"Tapi aku juga ingin jalan-jalan, Mas. Ingin udara segar," pinta Aluna.
"Ya sudah, aku antar ke salon," ucap Baskara sambil tersenyum.
"Oke!" ucap Aluna. Mereka pun pergi sore itu.
Baskara membeli makanan sebelum sampai ke salon. Aluna diam di mobil, duduk santai sambil mendengarkan musik.
Setelah itu, Baskara pun lanjut menuju salon, tempat favorit Aluna dulu. Saat sampai, Baskara menyuruh Boy, si pemilik salon, untuk menutup salonnya agar tak ada yang masuk.
"Baik, Yang Mulia!" ucap Boy dengan gaya kemayu.
"Alunaaa! Apa kabar, Sayang?" ucap Boy sambil cipika-cipiki.
"Aku baik. Kamu siapa?" tanya Aluna sambil terkekeh.
"Ya ampun, Cin! Aku itu hair stylist kamu! Pokoknya kamu cantik di tanganku!" ucap Boy, lalu mendudukkan Aluna di kursi.
Aluna hanya tersenyum manis. Ia pun mulai dikeramas.
"Mau digimanain ini rambutnya, Cin?" tanya Boy.
"Terserah. Aku nggak mau terlalu panjang," ucap Aluna.
"Oke! Aku akan potong! Mas, ini dicat nggak rambutnya?" tanya Boy pada Baskara.
"Boleh," ucap Baskara sambil memainkan ponselnya.
"Warna apa?" tanya Boy.
"Apa aja yang penting jangan merah," ucap Baskara sambil terkekeh.
"Nggak, dong! Jangan yang norak," balas Boy.
Boy pun mulai mengecat rambut Aluna dengan warna olive brown. Ia memotong sedikit rambut Aluna agar berbentuk.
Dua jam berlalu, Aluna selesai.
"Taraaa! Lihat, deh, Mas! Istrinya cantik banget!" ucap Boy sambil tersenyum bangga.
Baskara menatap Aluna, hampir tak berkedip. Aluna tersenyum malu-malu.
Baskara membayar semuanya, lalu membawa Aluna pulang.
Dalam mobil, Baskara beberapa kali menoleh, menatap istrinya sambil tersenyum.
"Mau jajan nggak?" tanya Baskara.
"Jajan apa, ya? Aku nggak tahu," ucap Aluna.
"Kamu dulu suka seblak atau bakso. Mau nggak?" tanya Baskara.
"Boleh," ucap Aluna.
"Dibungkus, ya. Makan di rumah," kata Baskara.
Aluna pun mengangguk. Baskara menepikan mobilnya, lalu ia memesan dua bungkus bakso malam itu.
Saat menunggu, Aluna diam di dalam mobil. Hingga seseorang melihatnya.
"Kayak Aluna," gumamnya. Ia pun mendekati mobil Baskara, lalu mengetuk kaca mobil.
"Al! Aluna!" teriaknya.
Namun, Aluna hanya diam. Ia mencari sumber suara. Baskara datang.
"Ada apa?" tanya Baskara dingin.
"Dia Aluna, kan?" tanya wanita itu, penasaran.
"Bukan," ucap Baskara tegas, lalu segera pergi.
"Itu Aluna, kan?" wanita itu bergumam, penuh keraguan.
Baskara melajukan mobilnya dengan kencang.
"Mas, kok ngebut sih?" ucap Aluna heran.
Baskara tak menjawab, hanya menghela napas beberapa kali.
"Mas, kenapa?" tanya Aluna.
"Nggak," ucap Baskara, menahan emosinya.
"Tadi aku dengar yang manggil nama aku. Siapa dia, Mas?" tanya Aluna.
"Nggak tahu, salah orang," jawab Baskara ketus.
"Oke," ucap Aluna, tak mau berdebat.
Namun, pikiran Aluna terganggu. Ada kilasan memori saat ia kecelakaan. "Mas, jangan!" teriak Aluna dalam hati.
"Mas," panggil Aluna.
"Apa?" Baskara kesal.
"Kok aku lihat kita sedang di mobil? Kamu jalanin mobil kencang sekali," ucap Aluna.
Baskara terdiam. Ia pun menurunkan kecepatan mobilnya.
"Salah kali," ucap Baskara tanpa menoleh.
Aluna terdiam, kembali mencoba mengingat.
"Sudah, jangan diingat," tegas Baskara.
"Oke," ucap Aluna.
Mobil pun melaju lambat menuju rumah malam itu. Sesampainya di rumah, mereka makan berdua. Usai makan, Aluna menonton di sofa, sementara Baskara membuka laptopnya, mengecek laporan.