Rasa Ingin Tahu

843 Words
Keesokan paginya, Aluna membuka matanya. Hidungnya menangkap aroma parfum yang menyengat tapi tetap lembut—aroma yang mengingatkannya bahwa ia tidak sedang berada di rumah sendiri. “Mas…” panggil Aluna lirih. Tidak ada jawaban. Jarak mereka memang jauh; Baskara sedang berada di closet room. Aluna duduk perlahan di tepi ranjang, tangannya meraba-raba sprei, mencari pegangan. Ia masih belum terbiasa berada di rumah Baskara dengan kondisi matanya yang buta. “Hay, sudah bangun?” suara Baskara muncul dari balik lemari kaca pakaian, tenang seperti biasa. “Hm…” Aluna mengangguk kecil dan merapikan posisi duduknya, kedua kaki bersila. “Mau sarapan?” tawar Baskara sambil melangkah masuk. “Panggilkan Santi, Mas,” ucap Aluna pelan. “Kamu mau apa?” tanya Baskara, suaranya terdengar mengalah tapi tetap lembut. “Aku mau ke toilet." “Biar aku antar.” “Nggak, Mas… Santi saja ya,” pinta Aluna, suaranya halus tapi tegas. Baskara terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya sudah.” Ia pun keluar memanggil Santi. “San, Aluna mau ke toilet,” ucapnya sambil duduk di meja makan. “Baik, Pak,” jawab Santi. “Dan… dandani dia. Pakai makeup seperti biasanya,” perintah Baskara, nadanya dingin dan tak memberi ruang diskusi. “Baik, Pak.” Santi masuk ke kamar Aluna dengan langkah hati-hati. Ia memandikan Aluna dengan lembut seolah tak ingin aluna tergores sedikitpun, Ia selalu berhati-hati, karena sedikit saja Aluna terluka, Baskara bisa marah besar—seperti waktu Aluna koma dulu. Saat itu Santi mengusap tubuh Aluna, tapi kukunya tanpa sengaja menggores sedikit kulit Aluna. Baskara memarahinya habis-habisan sampai Santi gemetar semalaman. Namun ia tetap bertahan. Gaji besar itu ia butuhkan untuk keluarganya di kampung. “Bu, mari,” ucap Santi lembut sambil membantu Aluna berpakaian. “San,” panggil Aluna tiba-tiba. “Ya, Bu?” “Kamu nanti sore mandiin aku lagi ya. Jangan suamiku. Aku malu… aku ngerasa asing. Kayak dia itu bukan suami aku.” Santi terdiam, bingung, wajahnya langsung pucat. “Kenapa?” tanya Aluna, menangkap kecanggungan itu. “Tuan nggak akan izinkan…” bisik Santi takut-takut. “Kalau gitu, aku mandi sebelum dia pulang. Oke?” “Baik, Bu.” Santi melanjutkan menyisir rambut Aluna dengan lembut, lalu mengeringkan rambut Aluna. Saat Santi hendak memulaskan bedak dan lipstik, Aluna meraba tangan Santi. “Aku pakai apa?” “Tuan suruh Ibu pakai makeup, biar cantik kayak dulu.” “Emang aku nggak cantik kalau nggak makeup?” Aluna bertanya, suaranya terdengar sedih. “Cantik, Bu. Cantik banget tanpa makeup… tapi Tuan ingin Ibu seperti dulu. Sering dandan dan wangi.” “Coba jangan pakai,” ucap Aluna tiba-tiba. “Kenapa, Bu?” “Aku mau tahu… apa dia masih cinta sama aku kalau aku polos begini.” “Tapi nanti saya yang dimarahi…” “Gapapa. Aku yang bilang kalau aku nggak mau dandan.” Santi menghela napas pasrah. “B..baik, Bu.” Ia pun meletakkan bedak dan lipstik kembali ke meja, lalu memapah Aluna keluar kamar. Baskara yang sedang duduk di meja makan langsung menatap tajam ke arah Santi. Tatapan itu cukup membuat Santi ingin lenyap dari bumi. Tapi ia tak bicara apa pun karena Aluna ada di sana. “Aku nggak mau pakai makeup, Mas,” ujar Aluna tanpa ragu. “Loh… kenapa?” Baskara sedikit mengernyit. “Aku kan nggak bisa lihat wajahku. Aku nggak mau didandanin orang lain. Aku mau begini saja.” “Biar cantik, sayang,” jawab Baskara. “Jadi… kalau aku nggak pakai makeup, aku nggak cantik, Mas?” Aluna balik bertanya, suaranya lembut tapi menohok. Baskara tertegun. “Cantik. Kamu cantik sekali… Ya sudah kalau kamu nggak mau pakai makeup.” Ia menyesap kopi, menyembunyikan sesuatu—entah kekesalan atau rasa bersalah. “Sarapan dulu,” ucap Baskara akhirnya. Ia menyuapi Aluna perlahan hingga habis, lalu memberinya obat. “Aku pergi dulu, ya.” “Hati-hati,” jawab Aluna. Setelah pintu tertutup, Santi membantu Aluna duduk di sofa. “Saya nyalakan TV, ya, Bu?” “Oke.” Suara film terdengar. Aluna hanya bisa mendengarkan. “Ini film apa?” tanya Aluna. “Film hantu, Bu. Dulu Ibu sering nonton film gini.” “Ganti, ya. Nggak jelas.” “Baik, Bu.” Saat Santi mengganti channel, seekor kucing tiba-tiba menggelisir ke kaki Aluna. “Hm?! Apa ini?” Aluna tersentak kecil. “Dia Chiko. Kucing kesayangan Ibu.” “Masa? Mana, mau aku gendong.” Santi membawa Chiko ke pangkuan Aluna. Aluna tersenyum saat merasakan bulu halus itu. “Kamu pasti kangen Ibu, ya…” gumam Santi sambil mengelus kepala Chiko. “Dulu segede gini?” tanya Aluna. “Dulu kecil, Bu. Pas Ibu kecelakaan.” Aluna terdiam. “Aku kecelakaan kenapa sih, San…?” Santi menegang. “Aduh… saya nggak tahu, Bu.” “Masa kamu nggak tau?” “Serius, Bu…” “Kamu takut Tuan, kan?” ucap Aluna pelan tapi tepat sasaran. “Permisi dulu, Bu. Belum masak nasi,” kata Santi buru-buru sambil kabur ke dapur. Aluna terdiam, masih menggendong Chiko, sambil mendengarkan suara film yang diputar—tapi pikirannya melayang jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD