Rumah Asing

788 Words
Aluna masuk ke rumah kediaman Mahendra malam itu. Lantai marmer yang dingin terasa asing di telapak kakinya yang dipapah oleh Baskara. ​"Ini rumah kita, Sayang," ucap Baskara dengan lembut, berusaha menanamkan rasa memiliki. ​"Sayangnya aku nggak bisa lihat," balas Aluna sambil tersenyum tipis, senyum yang ironis. ​Baskara terdiam. Kata-kata itu menusuk jantungnya, mengingatkannya pada perbuatan keji yang telah merenggut cahaya dari mata indah itu. ​"Nanti kamu bisa lihat lagi, ya. Sabar. Aku lagi cari pendonor buat mata indah kamu," janji Baskara, suaranya dipaksakan terdengar meyakinkan. ​"Aku nggak sabar. Aku ingin lihat suami aku," ucap Aluna sambil mencari-cari tempat duduk dan akhirnya mendarat di sofa ruang tamu. ​Baskara terdiam lagi, jantungnya berdenyut nyeri. Ia tak menyangka Aluna akan bicara seperti itu, ingin melihat wajahnya—wajah yang dulu selalu ingin Aluna hindari. ​"Mas, kamu masih di depan aku, kan?" tanya Aluna, khawatir karena Baskara tak bicara lagi. ​"Iya, ada," ucap Baskara, menahan gejolak emosi dan air matanya. ​"Di sini ada berapa orang yang tinggal?" tanya Aluna, berusaha beradaptasi. ​"Kita berdua sama Art. Ada tukang kebun dan sopir," jelas Baskara. ​"Ibu kamu?" tanya Aluna. ​"Aku nggak punya Ibu, Sayang. Beliau sudah lama meninggal," ucap Baskara, nadanya berubah melankolis. ​"Ayah?" ​"Dia di luar negeri," jawab Baskara. ​"Kamu anak tunggal?" ​"Ada adik aku. Dia tinggal di luar negeri sama Papa," kata Baskara. ​"Hmm, gitu," ucap Aluna. ​"Kita makan dulu, ya," ajak Baskara, meraih tangan Aluna dengan hati-hati. ​Aluna pun mengangguk, lalu berdiri dan berjalan mengikuti Baskara ke ruang makan yang terasa megah. ​"Aku suapin, ya," ucap Baskara saat Aluna sudah duduk di meja makan. ​"Mas, aku jadi ngerepotin kamu, lho," ucap Aluna, merasa bersalah. ​"Gak apa-apa, Sayang. Itu tugas ku," kata Baskara, sambil mulai menyuapi Aluna. ​"Dulu aku panggil kamu Mas, apa Sayang?" tanya Aluna, penasaran. ​"Eum, kadang Mas, kadang Sayang," jawab Baskara, sedikit ragu-ragu karena kebiasaan dulu adalah teriakan. ​"Kamu sukanya dipanggil apa?" ​"Sayang," ucap Baskara, dengan harapan. ​"Tapi aku masih canggung. Gak apa-apa, ya, Mas aja," putus Aluna lembut. ​"Gak apa-apa," ucap Baskara sambil tersenyum, menyembunyikan kekecewaan kecilnya. ​Mereka pun makan bersama malam itu. Aluna masih canggung dan malu-malu di depan Baskara yang kini nampak asing, padahal di mata Baskara, Aluna yang sekarang jauh lebih mudah dicintai. ​Usai makan, Aluna diantar Baskara ke kamarnya. ​"Ini kamar kamu," ucap Baskara sambil mendudukkan Aluna di kasur yang besar. ​"Aku mau ke toilet ganti baju. Panggilin Santi, dong, Mas," pinta Aluna. ​"Sama aku saja," ucap Baskara, mencoba kesempatan. ​"Nggak, Mas. Aku malu," tolak Aluna sambil memegang dadanya. ​"Gak apa-apa, Sayang. Aku kan suami kamu," ucap Baskara sambil tersenyum. ​"Tapi aku masih canggung, Mas. Waktu itu saja aku malu," balas Aluna, bersikeras menjaga batas. ​"Gak apa-apa, yuk," ucap Baskara, menepis penolakan itu, sambil meraih tangan Aluna membawanya ke toilet. ​Baskara melepaskan baju Aluna satu per satu. "Mau mandi?" bisiknya di telinga Aluna. Sentuhan dan suara yang dekat itu membuat darah Aluna berdesir, tubuhnya meremang, jantungnya berdegup kencang. ​"Boleh," jawab Aluna pelan. ​"Di bathtub, ya? Kamu dulu suka mandi di bathtub," kata Baskara sambil mengecup bahu Aluna. ​"Kayak gimana?" tanya Aluna, tanpa ingatan. ​"Aku isi airnya dulu, ya. Kamu sikat gigi dulu," ucap Baskara sambil menyalakan keran mengisi bathtub. ​Ia pun kembali pada Aluna, menyikatkan giginya sambil mencoba bercanda dengan istrinya. Setelah air penuh, Baskara membawa Aluna ke bathtub. Ia menyabuni istrinya dengan gerakan lembut dan penuh perhatian, seolah memuja tubuh yang dulu selalu ia abaikan. ​"Mas," panggil Aluna pelan. ​"Apa?" sahut Baskara. ​"Kita nikah sudah berapa lama?" ​"Lumayan lama. Kenapa?" tanya Baskara. ​"Apa kita punya anak?" tanya Aluna, pertanyaan yang membuat Baskara menegang. ​"Belum," ucap Baskara. ​"Hmm, kayaknya keburu aku koma, ya," duga Aluna. ​"Iya, Sayang," ucap Baskara, melanjutkan mengusap badan Aluna dengan sabun, lega karena Aluna tak mendesak lebih jauh. ​Usai mandi, Aluna tiduran di kasurnya. ​"Wangi sekali kamar ini," ucap Aluna sambil tersenyum, menikmati aroma yang memenuhi indra penciumannya. ​"Kamu itu suka sekali wangian, Sayang," ucap Baskara sambil menatap Aluna di sampingnya. ​"Mas, dulu kita pacaran dulu?" tanya Aluna, kembali mencoba mencari celah ingatan. ​Baskara terdiam sejenak. Ia pura-pura memainkan ponselnya, mencari alasan. "Sudah malam, kita tidur," ucapnya, mengalihkan pembicaraan sambil menyelimuti Aluna. ​"Baiklah," ucap Aluna sambil memejamkan matanya, merasakan lagi kekecewaan karena keengganan Baskara bercerita. ​Baskara terdiam sambil menatap wajah istrinya. "Cantik sekali," ucapnya dalam hati, kini tanpa kemarahan masa lalu. ​Ia pun mengecup bibir Aluna. "Selamat malam," bisiknya, lalu membalikkan badannya dan tertidur, membiarkan kegelapan malam menyelimuti rahasia di antara mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD