Hari-hari berlalu. Sudah hampir dua minggu sejak Aluna tersadar dari tidur panjangnya.
Malam itu, sekitar pukul dua dini hari, Aluna terbangun. Ia merasa perlu buang air kecil.
"San...!" panggilnya lirih.
"Santiii!" panggilnya lebih keras, sambil meraba-raba kasurnya yang kosong.
Aluna mencoba turun dari ranjang. Kakinya, yang kini terasa lebih kuat, ia turunkan perlahan dan mencoba menapak. Ia berdiri. Namun, saat mencoba melangkah...
BRUGG!
Aluna ambruk. Kakinya belum bisa menopang tubuhnya dengan baik.
"Akh! Sakit!" rintihnya pelan, sambil mengusap pergelangan kakinya.
Tiba-tiba, sebuah suara berat dan maskulin memecah kesunyian kamar. "Kamu mau ke mana?"
Aluna tersentak. Rasa takut langsung menjalari tubuhnya. Ia menepis tangan laki-laki itu dengan kasar saat tangan itu menyentuhnya.
"K... Kamu siapa?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Aku suami kamu," ucap Baskara, nada suaranya lembut, namun penuh otoritas. Ia tanpa ragu mengangkat tubuh Aluna, memapahnya agar bisa berjalan.
"Suami?" Aluna tampak bingung, benaknya kosong.
Dibantu Baskara, ia berjalan perlahan menuju kamar mandi.
"Bisa sendiri?" tanya Baskara saat mereka sampai di ambang pintu toilet.
"B... bisa. Tolong tutup pintunya. Aku malu," pinta Aluna dengan nada yang mendadak lembut.
Baskara mengangguk, sorot matanya tak terdefinisikan. Ia menutup pintu toilet dan menunggu di luar, mendengarkan setiap gerak-gerik Aluna.
Setelah selesai, Aluna terdiam sejenak. Ia merasa canggung, bingung harus memanggil apa pada laki-laki asing yang mengaku suaminya ini.
"Mas?" panggil Aluna pelan, menggunakan panggilan yang terasa asing di lidahnya.
"Ya," jawab Baskara, lalu segera membuka pintu kamar mandi.
"Sudah?" tanya Baskara dengan suara yang kian lembut, seperti mencoba menahan diri.
"Hmm," balas Aluna. Tanpa sadar, tangannya melingkar di pinggang Baskara, mencari tumpuan, takut terjatuh lagi.
Setelah Aluna berbaring nyaman, Baskara duduk dengan ragu di sisi ranjang.
"Kamu suami aku?" tanya Aluna lagi, kini dengan nada lebih ragu.
"Iya," jawab Baskara singkat.
"Kok Santi nggak pernah cerita?"
"Mungkin dia lupa," dusta Baskara, suaranya terdengar datar.
Aluna terdiam, mencoba menimbang-nimbang.
"Tidur lagi, ya. Masih malam," bisik Baskara, suaranya terdengar dekat, lalu beranjak pergi ke sofa untuk tidur.
"Iya," ucap Aluna, mengambil posisi nyaman. Namun, di balik kegelapan, matanya yang buta masih dipenuhi pertanyaan.
Keesokan harinya, Aluna terbangun saat pagi menjelang. Baskara sudah duduk di samping ranjang, bersiap memberi makan.
"Siapa?" tanya Aluna, sensitif terhadap suara di sampingnya.
"Aku," jawab Baskara.
Aluna terdiam. Rasa tak nyaman langsung menyergapnya.
"Santi ke mana, ya?" gumamnya, berharap perawatnya itu kembali.
"Dia pulang. Sudah hampir tiga minggu dia tidak pulang," jawab Baskara, suaranya kembali dingin.
"Oh, gitu," ucap Aluna.
"Kenapa?" tanya Baskara, sedikit menuntut.
"Aku mau ke kamar mandi," ujar Aluna.
"Aku bantu, ya?"
"Tapi aku canggung," jujur Aluna.
"Aku suami kamu. Kenapa canggung?"
"Aku lupa. Jadi kita asing. Aku juga nggak bisa lihat wajah kamu," ucap Aluna, suaranya penuh kepolosan yang menyentuh.
Baskara mendekat, lalu menggenggam tangan Aluna. "Pegang pipi aku, hidung aku, mata aku. Ini aku, suami kamu," pintanya, berusaha meyakinkan.
"Hmm, aku tahu, tapi..." Aluna tak meneruskan obrolannya karena tiba-tiba Baskara menggendongnya tanpa banyak kata, membawanya ke toilet.
"Sudah, jangan banyak bicara. Aku di luar," ucap Baskara sambil menutup pintu.
"Kok gitu," rengek Aluna dalam hati sambil cemberut.
Di dalam, Aluna meraba-raba keran shower. Ia pun membuka bajunya, membiarkan air membersihkan tubuhnya pagi itu.
Usai mandi, Aluna bingung. "Santi mana sih! Aku lupa nggak bawa baju," ia merengek pelan.
Baskara mengetuk pintu. "Sayang, kok lama?" tanyanya.
"Sayang," gumam Aluna merasa heran. "Aku lupa nggak bawa baju dari luar." Teriak ya dari dalam.
"Oh, OK, aku bawakan," ucap Baskara. Ia membuka tas, memilih baju dan dalaman milik Aluna.
Tanpa menunggu persetujuan, Baskara membuka pintu toilet. Aluna, yang hanya duduk di atas kloset memakai handuk, terkejut.
"Aku pakaikan, ya?" tawar Baskara.
"Aku malu, Mas," bisik Aluna.
"Gak apa-apa," ucap Baskara, suaranya tenang.
Dengan lembut, ia memakaikan handbody ke seluruh tubuh Aluna, mengusapnya dengan penuh kehati-hatian.
"Apa ini?" tanya Aluna, merasakan sensasi wangi dan dingin di kulitnya.
"Handbody. Kamu suka wangi," jelas Baskara.
"Ouh, gitu," ucap Aluna, membiarkan tangannya diusap lembut oleh Baskara.
Usai berpakaian, Baskara membawa Aruna ke ranjangnya. Ia menyuapi Aruna dengan penuh kasih sayang yang terasa asing dan baru.
"Ini enak, dari mana? Biasanya nggak gini makanannya," tanya Aluna, merasakan perbedaan menu.
"Ini beli, bukan makanan rumah sakit," kata Baskara.
"Ouh, gitu," ucap Aluna.
"Di luar cerah?" tanya Aluna.
"Cerah. Kenapa, mau jalan-jalan?" tanya Baskara.
"Hmm," Aluna mengangguk antusias.
"Cantik sekali, sih," gumam Baskara dalam hati, menatap wajah polos istrinya.
Usai makan, Baskara membawa Aruna berjalan-jalan dengan kursi rodanya. Setelah sampai di taman, Baskara menyuruh Aluna berdiri.
"Kaki kamu sudah satu tahun nggak gerak. Kalau belajar jalan lagi, bisa! Harus dilatih," kata Baskara, dengan sabar memapah Aluna.
"Tapi aku nggak patah kaki, kan, atau lumpuh?" tanya Aluna, suaranya lembut, penuh kekhawatiran yang tersembunyi.
"Nggak. Nggak apa-apa, kok, kaki kamu," ucap Baskara, berbohong demi menenangkan Aluna.
Sambil belajar berjalan, Aluna bertanya, "Mas," panggilnya lembut, "Kapan aku pulang?"
"Kurang tahu. Kamu belum sehat betul," elak Baskara.
"Kamu nggak kerja?" tanya Aluna, tangannya memeluk erat lengan Baskara, takut jatuh.
"Aku baru pulang dari Paris," jawab Baskara.
"Ouh, jadi pas aku bangun, Mas lagi di Paris?"
"Hmm," Baskara mengiyakan.
"Kerja apa di Paris?"
"Aku punya perusahaan kosmetik dan uji lab. Bahan-bahannya diimpor dari sana, jadi setiap dua minggu aku di Paris," jelas Baskara, nadanya terdengar seperti orang yang berhak memiliki segalanya.
"Ouh, gitu. Aku pernah ke sana, Mas?"
"Belum," jawab Baskara.
"Kenapa kamu nggak pernah ajak?" canda Aluna, nadanya penuh penasaran yang polos.
"Kamu yang nggak pernah mau," dusta Baskara lagi.
"Kenapa?" tanya Aluna heran, merasa ada yang janggal.
"Sudah, capek? Duduk, ya," Baskara mengalihkan topik, tak ingin menjawab pertanyaan Aluna.
"Iya," ucap Aluna, duduk di kursi taman.
Aluna terdiam, memejamkan matanya, mencoba menghirup udara segar pagi itu. Baskara diam di sampingnya, menatap lekat istrinya, tangan besarnya menggenggam erat tangan Aluna.
Mereka tak banyak bicara. Hanya diam, menikmati momen itu berdua, di bawah sinar matahari pagi. Sebuah gencatan senjata yang rapuh di antara dua jiwa yang terpisah oleh ingatan yang hilang.
Setelah matahari mulai naik, Baskara mengajak Aluna kembali ke kamarnya, menjaga agar dunia luar tetap menjadi misteri yang tersimpan.