Seorang Suami

1076 Words
Hari-hari berlalu. Sudah hampir dua minggu sejak Aluna tersadar dari tidur panjangnya. ​Malam itu, sekitar pukul dua dini hari, Aluna terbangun. Ia merasa perlu buang air kecil. ​"San...!" panggilnya lirih. "Santiii!" panggilnya lebih keras, sambil meraba-raba kasurnya yang kosong. ​Aluna mencoba turun dari ranjang. Kakinya, yang kini terasa lebih kuat, ia turunkan perlahan dan mencoba menapak. Ia berdiri. Namun, saat mencoba melangkah... ​BRUGG! ​Aluna ambruk. Kakinya belum bisa menopang tubuhnya dengan baik. ​"Akh! Sakit!" rintihnya pelan, sambil mengusap pergelangan kakinya. ​Tiba-tiba, sebuah suara berat dan maskulin memecah kesunyian kamar. "Kamu mau ke mana?" ​Aluna tersentak. Rasa takut langsung menjalari tubuhnya. Ia menepis tangan laki-laki itu dengan kasar saat tangan itu menyentuhnya. ​"K... Kamu siapa?" tanyanya, suaranya bergetar. ​"Aku suami kamu," ucap Baskara, nada suaranya lembut, namun penuh otoritas. Ia tanpa ragu mengangkat tubuh Aluna, memapahnya agar bisa berjalan. ​"Suami?" Aluna tampak bingung, benaknya kosong. ​Dibantu Baskara, ia berjalan perlahan menuju kamar mandi. ​"Bisa sendiri?" tanya Baskara saat mereka sampai di ambang pintu toilet. ​"B... bisa. Tolong tutup pintunya. Aku malu," pinta Aluna dengan nada yang mendadak lembut. ​Baskara mengangguk, sorot matanya tak terdefinisikan. Ia menutup pintu toilet dan menunggu di luar, mendengarkan setiap gerak-gerik Aluna. ​Setelah selesai, Aluna terdiam sejenak. Ia merasa canggung, bingung harus memanggil apa pada laki-laki asing yang mengaku suaminya ini. ​"Mas?" panggil Aluna pelan, menggunakan panggilan yang terasa asing di lidahnya. ​"Ya," jawab Baskara, lalu segera membuka pintu kamar mandi. ​"Sudah?" tanya Baskara dengan suara yang kian lembut, seperti mencoba menahan diri. ​"Hmm," balas Aluna. Tanpa sadar, tangannya melingkar di pinggang Baskara, mencari tumpuan, takut terjatuh lagi. ​Setelah Aluna berbaring nyaman, Baskara duduk dengan ragu di sisi ranjang. ​"Kamu suami aku?" tanya Aluna lagi, kini dengan nada lebih ragu. ​"Iya," jawab Baskara singkat. ​"Kok Santi nggak pernah cerita?" ​"Mungkin dia lupa," dusta Baskara, suaranya terdengar datar. ​Aluna terdiam, mencoba menimbang-nimbang. ​"Tidur lagi, ya. Masih malam," bisik Baskara, suaranya terdengar dekat, lalu beranjak pergi ke sofa untuk tidur. ​"Iya," ucap Aluna, mengambil posisi nyaman. Namun, di balik kegelapan, matanya yang buta masih dipenuhi pertanyaan. ​Keesokan harinya, Aluna terbangun saat pagi menjelang. Baskara sudah duduk di samping ranjang, bersiap memberi makan. ​"Siapa?" tanya Aluna, sensitif terhadap suara di sampingnya. ​"Aku," jawab Baskara. ​Aluna terdiam. Rasa tak nyaman langsung menyergapnya. ​"Santi ke mana, ya?" gumamnya, berharap perawatnya itu kembali. ​"Dia pulang. Sudah hampir tiga minggu dia tidak pulang," jawab Baskara, suaranya kembali dingin. ​"Oh, gitu," ucap Aluna. ​"Kenapa?" tanya Baskara, sedikit menuntut. ​"Aku mau ke kamar mandi," ujar Aluna. ​"Aku bantu, ya?" ​"Tapi aku canggung," jujur Aluna. ​"Aku suami kamu. Kenapa canggung?" ​"Aku lupa. Jadi kita asing. Aku juga nggak bisa lihat wajah kamu," ucap Aluna, suaranya penuh kepolosan yang menyentuh. ​Baskara mendekat, lalu menggenggam tangan Aluna. "Pegang pipi aku, hidung aku, mata aku. Ini aku, suami kamu," pintanya, berusaha meyakinkan. ​"Hmm, aku tahu, tapi..." Aluna tak meneruskan obrolannya karena tiba-tiba Baskara menggendongnya tanpa banyak kata, membawanya ke toilet. ​"Sudah, jangan banyak bicara. Aku di luar," ucap Baskara sambil menutup pintu. ​"Kok gitu," rengek Aluna dalam hati sambil cemberut. ​Di dalam, Aluna meraba-raba keran shower. Ia pun membuka bajunya, membiarkan air membersihkan tubuhnya pagi itu. ​Usai mandi, Aluna bingung. "Santi mana sih! Aku lupa nggak bawa baju," ia merengek pelan. ​Baskara mengetuk pintu. "Sayang, kok lama?" tanyanya. ​"Sayang," gumam Aluna merasa heran. "Aku lupa nggak bawa baju dari luar." Teriak ya dari dalam. ​"Oh, OK, aku bawakan," ucap Baskara. Ia membuka tas, memilih baju dan dalaman milik Aluna. ​Tanpa menunggu persetujuan, Baskara membuka pintu toilet. Aluna, yang hanya duduk di atas kloset memakai handuk, terkejut. ​"Aku pakaikan, ya?" tawar Baskara. ​"Aku malu, Mas," bisik Aluna. ​"Gak apa-apa," ucap Baskara, suaranya tenang. ​Dengan lembut, ia memakaikan handbody ke seluruh tubuh Aluna, mengusapnya dengan penuh kehati-hatian. ​"Apa ini?" tanya Aluna, merasakan sensasi wangi dan dingin di kulitnya. ​"Handbody. Kamu suka wangi," jelas Baskara. ​"Ouh, gitu," ucap Aluna, membiarkan tangannya diusap lembut oleh Baskara. ​Usai berpakaian, Baskara membawa Aruna ke ranjangnya. Ia menyuapi Aruna dengan penuh kasih sayang yang terasa asing dan baru. ​"Ini enak, dari mana? Biasanya nggak gini makanannya," tanya Aluna, merasakan perbedaan menu. ​"Ini beli, bukan makanan rumah sakit," kata Baskara. ​"Ouh, gitu," ucap Aluna. ​"Di luar cerah?" tanya Aluna. ​"Cerah. Kenapa, mau jalan-jalan?" tanya Baskara. ​"Hmm," Aluna mengangguk antusias. ​"Cantik sekali, sih," gumam Baskara dalam hati, menatap wajah polos istrinya. ​Usai makan, Baskara membawa Aruna berjalan-jalan dengan kursi rodanya. Setelah sampai di taman, Baskara menyuruh Aluna berdiri. ​"Kaki kamu sudah satu tahun nggak gerak. Kalau belajar jalan lagi, bisa! Harus dilatih," kata Baskara, dengan sabar memapah Aluna. ​"Tapi aku nggak patah kaki, kan, atau lumpuh?" tanya Aluna, suaranya lembut, penuh kekhawatiran yang tersembunyi. ​"Nggak. Nggak apa-apa, kok, kaki kamu," ucap Baskara, berbohong demi menenangkan Aluna. ​Sambil belajar berjalan, Aluna bertanya, "Mas," panggilnya lembut, "Kapan aku pulang?" ​"Kurang tahu. Kamu belum sehat betul," elak Baskara. ​"Kamu nggak kerja?" tanya Aluna, tangannya memeluk erat lengan Baskara, takut jatuh. ​"Aku baru pulang dari Paris," jawab Baskara. ​"Ouh, jadi pas aku bangun, Mas lagi di Paris?" ​"Hmm," Baskara mengiyakan. ​"Kerja apa di Paris?" ​"Aku punya perusahaan kosmetik dan uji lab. Bahan-bahannya diimpor dari sana, jadi setiap dua minggu aku di Paris," jelas Baskara, nadanya terdengar seperti orang yang berhak memiliki segalanya. ​"Ouh, gitu. Aku pernah ke sana, Mas?" ​"Belum," jawab Baskara. ​"Kenapa kamu nggak pernah ajak?" canda Aluna, nadanya penuh penasaran yang polos. ​"Kamu yang nggak pernah mau," dusta Baskara lagi. ​"Kenapa?" tanya Aluna heran, merasa ada yang janggal. ​"Sudah, capek? Duduk, ya," Baskara mengalihkan topik, tak ingin menjawab pertanyaan Aluna. ​"Iya," ucap Aluna, duduk di kursi taman. ​Aluna terdiam, memejamkan matanya, mencoba menghirup udara segar pagi itu. Baskara diam di sampingnya, menatap lekat istrinya, tangan besarnya menggenggam erat tangan Aluna. ​Mereka tak banyak bicara. Hanya diam, menikmati momen itu berdua, di bawah sinar matahari pagi. Sebuah gencatan senjata yang rapuh di antara dua jiwa yang terpisah oleh ingatan yang hilang. ​Setelah matahari mulai naik, Baskara mengajak Aluna kembali ke kamarnya, menjaga agar dunia luar tetap menjadi misteri yang tersimpan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD