Terbangun Dari Koma

792 Words
Satu tahun berlalu. Di sebuah ruangan serba putih, Aluna baru tersadar dari koma panjangnya. Kelopak matanya berkedip, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya. Perlahan, ia menggerak-gerakkan tangannya, mencari pegangan yang nyata. "Bu, sudah sadar?" ucap Santi, perawat yang setia menjaga Aluna, segera mendekat dengan senyum lega. "Aku... di mana?" tanya Aluna lemah, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. "Di rumah sakit," jawab Santi lembut, sambil dengan sigap menekan tombol darurat agar suster dan dokter segera datang. Dunia baru saja dimulai kembali bagi Aluna, meskipun ia belum tahu, apa yang menunggunya. Siang itu, Aluna diperiksa oleh dokter. Ia duduk dengan punggung tegak di ranjang, memancarkan ketenangan yang aneh setelah setahun koma. Wajahnya yang kembali cantik tampak bersinar di bawah lampu kamar. "Aku di mana ini?" tanyanya lagi, suaranya lembut, tanpa desakan. "Di rumah sakit," jawab dokter dengan nada profesional namun ramah. Tiba-tiba, ekspresi Aluna berubah sedikit bingung. "Kok gelap, Dok?" tanyanya, matanya yang indah tampak kosong, memandang lurus ke depan. Dokter menghela napas, gesturnya menunjukkan kesedihan yang tak terhindarkan. "Saat kecelakaan, kornea mata kamu terkena cipratan api dari ledakan mobil. Jadi, saat ini, kamu tidak bisa melihat." Aluna terdiam sesaat, mencerna kenyataan pahit itu. Namun, ia tidak menangis, hanya ada kesabaran yang dingin di suaranya. "Apa saya bisa sembuh, Dok?" "Bisa, jika ada yang donor mata," jelas dokter. "Ouh, begitu," ucap Aluna, suaranya tetap lembut. "Terima kasih, Dok." "Sama-sama. Tapi, kamu tahu siapa nama kamu?" tanya dokter, beralih topik untuk memastikan fungsi kognitif Aluna bekerja dengan baik. Aluna mengerutkan kening, mencoba menggali memori dari kegelapan panjang. "Aku... Aku siapa?" tanyanya kebingungan. Dokter tersenyum meyakinkan. "Nama kamu Aluna. Cantik, kan? Sama seperti orangnya," katanya. Aluna balas tersenyum manis, senyum pertama yang benar-benar tulus sejak ia bangun. Dokter pun pamit undur diri. Tak lama kemudian, ia mencari-cari dengan tangan di atas kasur. "Sus, kalau aku mau ke kamar mandi bagaimana?" tanyanya. Santi, perawatnya, segera mendekat. "Biar saya antar. Nama saya Santi, saya seusia Anda, panggil saja Santi." "Baiklah," ucap Aluna. Santi dengan sabar memapah Aluna yang masih kaku menuju toilet. Ia membersihkan Aluna dengan telaten. "Aku mau mandi, bolehkah?" pinta Aruna. "Boleh. Biar aku mandikan," jawab Santi. Setelah selesai mandi, tubuh Aluna yang terasa lebih segar dibaringkan kembali di kasurnya yang empuk. Santi kemudian menyuapinya makan dan memberinya obat. "Aku di sini sudah lama?" tanya Aruna, setelah menelan suapan terakhir. "Hampir satu tahun. Sebuah keajaiban, Nyonya. Aku selalu merawat Nyonya selama satu tahun penuh. Nyonya seperti tidur panjang. Selama ini, aku kira Nyonya..." Santi tak melanjutkan obrolannya, tenggorokannya tercekat. "Aku tahu," sela Aluna dengan pemahaman yang menyakitkan. "Aku tidur terlalu lama." Santi menggenggam tangan Aluna. Matanya berkaca-kaca. Ia melihat kesedihan yang dalam, namun terselubung, di mata majikannya yang kini tak bisa melihat. Hari-hari berlalu. Sejak Aluna terbangun, tidak ada satu pun yang menjenguknya. Tidak ada bunga, tidak ada kunjungan, seolah ia terlupakan. Ia selalu melamun di depan kaca jendela kamar rumah sakit, menatap kosong ke ruangan. Rambutnya yang panjang sebahu bergerak lembut tertiup angin yang masuk dari celah. "Kayaknya kalau jalan-jalan sore, seger ya?" gumamnya pada diri sendiri. "Yuk, kita jalan-jalan sore," ucap Santi, segera mengerti keinginan majikannya, sambil mendorong kursi roda Aluna mendekat. Mereka pun berjalan-jalan di lorong rumah sakit yang ramai. Beberapa suster menyapa Aluna, tulus karena mereka pernah bergantian merawatnya selama setahun. "Ibu Aluna sudah sehat, ya? Alhamdulillah," ucap seorang suster. "Iya," jawab Aluna, memiringkan kepala, mencari sumber suara. "Ibu cantik sekali! Sembuh lagi, ya, sehat!" kata suster itu sambil menggenggam tangan Aluna sebentar. "Terima kasih," ucap Aluna, lalu ia melanjutkan perjalanan bersama Santi. "Aku ingin menikmati matahari," pinta Aluna. "Baik," ucap Santi, segera mendorong kursi roda menuju taman rumah sakit yang asri. Di taman, Santi menyuapi Aluna buah-buahan segar. "Buah apa ini?" tanya Aluna sambil mengunyah perlahan. "Apel," jawab Santi. "Manis, ya," ucap Aruna, menikmati rasa di lidahnya. "Iya, masih banyak di kamar. Nanti saya kupasin lagi," kata Santi. "Kamu sudah lama rawat saya?" tanya Aluna. "Saya Art di rumah Nyonya. Karena Nyonya sakit, jadi saya di sini jagain Nyonya," jelas Santi. "Ouh, begitu ya," ucap Aluna. Lalu, ia menengadah ke atas, seolah ingin melihat langit, namun yang ia dapati hanyalah kegelapan abadi di matanya. Ia menghela napas panjang, menikmati sentuhan lembut angin sore hari. "Pasti indah cuaca hari ini," gumamnya. "Indah sekali, Nyonya. Langitnya biru bersih. Matahari mulai turun, burung-burung berterbangan. Anginnya sejuk, banyak orang juga di sini," deskripsi Santi penuh detail. "Kapan aku bisa melihat lagi?" gumam Aluna, suaranya kembali dipenuhi kerinduan. "Semoga segera, ya," ucap Santi, sambil mengusap punggung Aluna dengan penuh empati. Aluna pun tersenyum tipis. Saat matahari mulai turun, dan hari mulai gelap, Santi membawa Aluna kembali ke dalam rumah sakit, menuju kamarnya. Setelah minum obat, tubuh Aluna yang lelah akhirnya tertidur pulas malam itu, kembali ke dalam mimpi yang mungkin lebih berwarna daripada realitasnya yang gelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD