Malam itu, di tengah kegelapan jalan tol yang lengang, Baskara memacu mobilnya dengan kecepatan yang gila, seolah berusaha meninggalkan kenyataan pahit di belakang. Wajahnya mengeras, rahangnya terkatup rapat menahan amarah yang membakar.
"Jangan pernah berpikir kamu akan bersama nya!" ucap Baskara, suaranya tajam dan penuh ancaman, memecah kesunyian dingin kabin mobil.
Di sebelahnya, Aluna meringkuk, tubuhnya bergetar, namun matanya memancarkan keberanian yang rapuh. "Aku nggak akan pernah mencintai kamu sampai kapan pun!" balas Aluna penuh tekanan, setiap kata adalah penolakan yang menyakitkan.
Baskara membanting setir, membuat mobil sedikit oleng. "Kamu istri aku! Kamu selamanya akan jadi istri aku!" bentaknya, suara menggelegar seperti guntur, mencengkeram erat kendali atas segalanya.
"Najis!" teriak Aluna, isak tangisnya pecah, air mata nya menetes begitu saja, membasahi pipi. Rasa jijik dan putus asa meluap tak tertahankan.
"Lebih baik kita mati," suara Baskara kini terdengar datar, menyeramkan, "daripada aku harus lihat kamu dengan pria itu."
Tiba-tiba, tanpa peringatan, ia membelokkan mobilnya ke arah jurang. Teriakan tertahan Aluna tenggelam oleh deru mobil yang lepas kendali.
BRAAKKKK!
Suara benturan keras yang memekakkan telinga. Mobil itu terperosok ke bawah, berguling, menghantam bebatuan, meremukkan logam dan harapan. Mereka berdua terbentur mobil sangat keras. Sesaat, semuanya hening.
Mobil nahas itu tersangkut pada sebuah pohon besar, nyaris menggantung di bibir tebing. Sedikit lagi, mereka akan jatuh ke dasar jurang paling dalam.
Baskara terbangun dari pingsannya. Kepalanya pening, tubuhnya nyeri, penuh luka dan darah. Pandangannya berputar, tetapi satu nama langsung terucap dari bibirnya yang terluka.
"Aluna..." panggilnya lirih, mencari-cari sosok istrinya di tengah kekacauan.
Namun, Aluna tak menjawab. Ia tersungkur di kaca mobil depan yang retak, tak bergerak. Wajahnya yang cantik kini penuh darah, badannya penuh luka sayatan.
Baskara mengerahkan sekuat tenaga. Dengan hati-hati, berusaha menjaga keseimbangan mobil agar tak jatuh, ia membuka pintu mobilnya yang ringsek. Ia merangkak ke jok belakang, membuka pintu belakang.
Jantungnya berdebar kencang. Ia meraih tas Aluna dan ponselnya. Lalu, dengan kehati-hatian yang luar biasa, ia mulai mengeluarkan istrinya dari bangkai mobil.
Tepat saat tubuh Aluna berhasil ia baringkan di tanah yang miring, pohon penyangga mobil itu tak kuat lagi menahan beban. Mobil itu pun terjatuh ke jurang.
DUARRRRR!
Suara ledakan hebat mengguncang malam, memuntahkan api ke udara. Percikan api dari ledakan itu menyambar ke atas, mengenai wajah Aluna yang terkulai, bahkan melukai matanya.
Baskara panik. Dengan cepat, ia mengusap-usap wajah istrinya hingga percikan api itu padam dan jatuh ke tanah.
"Aluna, bangun sayang..." ucap Baskara, suaranya tercekat oleh ketakutan, sambil memeluk erat tubuh istrinya yang lemas.
Namun, Aluna tak bergerak sama sekali.
Baskara menangis sejadi-jadinya, memeluk erat tubuh Aluna yang dingin. Hujan deras mulai mengguyur mereka malam itu, seolah ikut meratapi tragedi tersebut.
"Alunaaaaa!"
Teriakan Baskara menggema, sebuah ratapan penolakan terhadap takdir. Ia tak terima, ia takut kehilangan sosok yang sangat ia cintai, sosok yang baru saja ia hancurkan.