bc

Berani Jual Mahal, Kucicil Cinta Si Gadis Jutek

book_age16+
927
FOLLOW
4.5K
READ
HE
curse
playboy
stepfather
heir/heiress
drama
scary
bold
loser
affair
like
intro-logo
Blurb

Tobi, sosok yang terkenal suka dan sering gonta-ganti pacar itu namanya sudah menggema. Kedua orang tuanya sampai pusing tujuh keliling menghadapi anak sulungnya itu. Sang papa--Fahreza memutuskan menurukan jabatan anak sulungnya menjadi manager pemasaran.Satu pengalaman berharga bagi Tobi, karena harus bertemu dengan Nalaya Dewi yang pernah menjadi bahan taruhannya. Orang lain tidak akan tahu, jika Tobi justru benar-benar mencintai Nalaya. Nana--sapaan akrab gadis itu sudah terlanjur marah saat tahu jika dijadikan bahan taruhan."Kita ketemu lagi. Ternyata kamu hanya seorang pelayan di kedai kopi ini. Ya, pantaslah pekerjaan ini untuk seorang perempuan bar-bar seperti kamu," hina Tobi saat berada di kafe tempat Nalaya bekerja."Syukurlah aku masih bekerja. Paling penting, aku mandiri. Kamu mana bisa? Sampai sekarang masih hidup dengan bantuan ketek bapak dan ibumu." Telak balasan sindiran itu dan membuat Tobi harus menahan amarahnya.Tobi meninggalkan kedai kopi mewah itu. Ia merasa kesal pada mantan kekasihnya itu. Lantas, bagaimana kisah mereka selanjutnya? Sementara Fahreza--papa Tobi meminta agar bisa bekerja sama dengan kedai kopi itu.Apakah kisah cinta mereka akan bersatu? Ataukah, Nala lebih memilih laki-laki lain. Kisah cinta lama belum kelar di antara keduanya memang rumit.

chap-preview
Free preview
1. Salah Kantor
"Na, ingat, jangan buat keributan. Ini demi kerja sama dengan Gaara Grup." Atasan Nalaya mengingatkan gadis bar-bar itu agar tidak membuat keributan pada salah satu perusahaan transportasi online yang baru saja membuka usahanya. Nalaya Dewi gadis tomboy berusia dua puluh tiga tahun dan baru saja bekerja menjadi pelayan di sebuah kedai kopi. Gadis berparas manis itu terkenal tidak segan baku hantam jika ada pelanggan yang bersikap kurang ajar. Nalaya pemegang sabuk hitam Taekwondo, maka tak jarang orang yang berhadapan dengannya harus masuk rumah sakit. Satu kali tendangan yang dilayangkan akan membuat sang lawan jatuh tersungkur. "Halah! Mereka yang ajak kerja sama, Pak. Kenapa harus kita yang jaga sikap? Awas aja kalo mereka yang aneh dan gila! Habislah mereka semua," jawab Nalaya tidak mau kalah sambil menata jumlah cup kopi yang akan diantar ke Gaara Grup. "Na, ga semua hal harus pakai kekerasan." Antonio--atasan Nalaya hanya bisa memberikan nasihat dengan penuh kesabaran pada gadis tak biasa yang kini sedang bersungut-sungut itu. Semua sudah siap dan Nalaya memasukkan semua cup kopi itu ke mobil milik kedai. Ada sopir yang akan mengantar Nalaya. Padahal jika pemilik kedai mau, ia bisa saja mengemudikan kendaraan roda empat itu. Akan tetapi, demi keselamatan pengguna jalan yang lain, lebih baik bukan Nalaya yang mengemudikannya. "Mbak Nala, kita ke Jalan Mawar 'kan?" tanya Tarno yang kini sudah bersiap melajukan kendaraan roda empat itu. Nalaya hanya mengangguk sebagai jawaban tanpa tahu alamat kantor itu. Ia lupa bertanya pada Antonio tentang Gaara Grup. Entahlah, sepertinya hatinya sangat malas untuk datang ke sana. Lain halnya dengan Tarno yang kini sangat bersemangat. Sesampainya di Jalan Mawar, Nalaya langsung turun. Ia ingat pesan Antonio tadi, harus menemui manager pemasaran mereka untuk menyerahkan kopi itu. Seratus cup kopi pesana mereka dan sudah dibayar tunai tadi pagi. Nalaya pun turun dari mobil dan masuk ke salah satu gedung perkantoran yang sangat elit. Tanpa bertanya pada sekuriti, Nalaya langsung menuju ke lift. Ia seolah hafal ruangan manager yang berada di lantai tujuh atau delapan. Ia tidak sadar jika salah masuk sebuah gedung. Sesampainya di lantai tujuh, Nalaya langsung mencari ruangan yang bertuliskan manager pemasaran. "Selamat siang, Bu, ada yang bisa saya bantu?" tanya seseorang dengan ramah dan membuat Nalaya melotot karena dipanggil ibu oleh orang tersebut. "Ibu? Aku ga nikah sama ibu kamu! sentak Nalaya yang tidak terima dengan sebutan itu. "Oh, maaf, kami terbiasa memanggil tamu dengan sebutan Ibu atau Bapak," kata laki-laki itu sambil mengulum senyumnya. "Hmm ... saya mau antar kopi pesanan kantor ini." Nalaya langsung pada niat kedatangannya itu. Laki-laki itu tampak bingung karena tidak ada jadwal pesan kopi. Nalaya tampak sangat santai dan menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Ia menatap tajam ke arah laki-laki yang kini berdiri mematung. Entah benar-benar jadi patung atau tidak, tetapi Nalaya mendadak sangat kesal. "Hai, Pak, jangan melamun. Takutnya dirasuki hantu gila. Repot nanti saya!" sentak Nalaya sambil mengibaskan salah satu tangannya ke depan wajah laki-laki tadi. "Sebentar, Mbak, tadi Mbak bilang mau antar kopi? Maaf, kantor ini tidak ada yang pesan kopi. Mbak dari Kedai Kopi Sejuta Kenangan 'kan?" tanya laki-laki itu sambil melihat baju seragam yang dipakai Nalaya. "Iya. Jangan bercanda, Pak. Saya udah bawa seratus kopi dan Bapak bilang ga ada yang pesan? Aduh, ini kantor apaan emang. Ga jelas banget! Mana, saya mau ketemu menejer pemasaran. Kata, atasan saya harus ketemu menejer pemasaran untuk menyerahkan kopi itu," kata Nalaya yang kini terpancing emosinya. "Lho? Ini benar,Mbak. Kantor ini tidak memesan kopi. Kalo ada yang pesan pasti hanya saat perayaan ulang tahun saja. Ini tidak ada yang ulang tahun atau semacamnya. Saya sendiri menejer pemasaran itu. Perkenalkan, nama saya Bisma Santoso." Laki-laki di depan Nalaya itu mengulurkan tangannya karena hendak berkenalan dengan Nalaya yang ternyata cantik dan manis itu. "Nalaya." Nalaya membalas uluran tangan dari laki-laki itu dengan nada ketus. "Pak, jangan bercanda. Ini serius ga pesan kopi?" tanya Nalaya yang mulai kesal dengan lawan bicaranya itu. "Serius. Coba kamu hubungi atasan kamu." Bisma mengulum senyum melihat tingkah gadis manis di depannya itu. Nalaya merogoh ponsel yang ada di saku depan bajunya. Ia mencari nomor kontak milik Antonio. Dering pertama hingga ke sekian kalinya tidak diangkat. Entah ada di mana orang menyebalkan itu, jangan sampai sedang pinsang. "Halo! Lama amat angkatnya!" Akhirnya panggilan Nalaya mendapatkan respons dari Antonio yang napasnya terengah-engah. Atasan Nalaya itu tampak sangat gugup. Entahlah, apa yang sedang dikerjakannya. Nalaya kini semakin kesal. "Maaf, Na, tadi aku boker." "Heh, Pak, ga usah cerita gituan. Bikin migrain aja! Oh, ya, ini katanya kantor apa tadi, ga mesen kopi! Gimana sih!" "Lah? Kamu di mana? Jangan sampai salah masuk kantor." "Udah bener. Ini menejer pemasarannya bilang ga ada mesen kopi seratus cup." "Hah? Kamu udah ketemu sama menejer pemasarannya?" "Lah? Ini gimana ceritanya? Atau kalian ngobrol aja dulu, mana tahu bener." Tanpa menunggu persetujuan Nalaya langsung menyerahkan ponsel itu pada Bisma. Bisma mendadak gugup karena dari tadi sibuk mengamati gadis cantik yang ada di depannya itu. Pemandangan yang sangat langka. Gadis yang wajahnya sangat menggemaskan itu. Bisma menerima ponsel milik Nalaya dengan tangan gemetar. "Kenapa? Tremor?" tanya Nalaya sambil menelisik tangan Bisma yang kini masih gemetaran. Bisma menggeleng pelan. Ia lantas menerima benda pipih itu dan berbicara pada atasan gadis yang ada di depannya itu. Tak lama, Bisma tertawa kecil lantas memberikan ponsel itu pada Nalaya. Entah apa yang dibicarakan dua laki-laki itu. "Kamu salah kantor. Kantor sebelah yang pesan kopi." Bisma lantas masuk ke dalam ruangannya setelah mengatakan hal itu. Nalaya hanya melongo lantas menatap layar ponselnya yang saat ini sudah berwarna hitam. Astaga! Ia merasa sangat bodoh saat ini. Kebodohan yang sudah sangat mendarah daging sejak lama. Tanpa pamit, Nalaya pun segera menuju ke lift. Ia sangat tergesa-gesa saat ini. Lima belas menit waktunya hanya terbuang sia-sia saja. Semoga saja kopi itu masih panas. Nalaya kini merutuki kebodohannya itu. "Dia Nalaya 'kan?" Ucapan itu membuat gadis tomboy itu menoleh. Rupanya segerombolan wanita masa lalunya. Wanita-wanita yang pernah mengejar laki-laki play boy cap teri bin cicak. Entah bagaimana kabar laki-laki itu. Nalaya tidak ingin mengetahuinya. "Jadi, kamu sekarang pelayan di kedai kopi sebelah?" tanya Lisa--sosok wanita cantik teman seangkatan laki-laki masa lalunya itu. "Ya. Kenapa emang?" tanya Nalaya dengan santai dan tanpa wajah dosa sambil menutup pintu lift itu. "Yah, cocok sama kepribadian kamu sebagai pelayan. Di kampus dulu juga jadi pelayan aja, 'kan." Ucapan Lisa membuat Nalaya emosi, tetapi gadis itu berusaha menahannya. Nalaya tidak ingin emosi saat ini. Ada hal yang lebih penting harus segera dikerjakan. Melayani Lisa hanya akan membuang waktunya saja. Lisa bukan sosok penting saat ini. "Aku ga ada waktu buat layani ocehan ga berkualitasmu itu, ya. Kamu masih sama seperti dulu. Sama-sama tidak berkualitas. Keliatan dari omongan kamu itu." Ucapan itu membalas telak Lisa dan membuat wajah Lisa memerah. Saat Nalaya hendak keluar dari lift, Lisa mengayunkan kakinya. Tujuannya agar Nalaya jatuh. Lisa salah, Nalaya justru menginjak kakinya. Tentu saja membuat Lisa kesakitan. "Lain kali, kalo mau bikin aku jatuh, cari cara yang lebih cerdas. Oh, ya, periksa gih ke rumah sakit. Mana tahu ada yang retak," kata Nalaya sebelum pintu lift itu tertutup. Nalaya segera berlari keluar dari kantor. Ia menuju ke mobil yang ada di depannya. Tak disangka, Tarno justru tidak ada di tempat. Nalaya pun bingung mencari keberadaan sang sopir. "Makasih, Pak. Maafkan kami karena keteledoran tadi." Nalaya langsung menoleh ke arah sumber suara yang tak lain adalah Tarno. Mata Nalaya membulat saat melihat dengan siapa Tarno berbicara. Mereka terlihat sangat akrab. Astaga, ingin rasanya berlari saat ini juga. Ia belum ingin bertemu dengan laki-laki itu. Nalaya pun segera bersembunyi di sisi sebelah kanan mobil milik Kedai Kopi Sejuta Kenangan. Ia berharap laki-laki itu tidak melihatnya. Nalaya melirik ke dalam mobil dan melihat box kopi sudah kosong. Artinya kopi itu sudah dikirimkan semua ke kantor yang dimaksud. "Ga apa, Pak. Kantor kami masih baru. Wajar jika ada pegawai yang salah. Saya bisa memaklumi. Apalagi untuk sementara kami memang masih menyewa gedung ini. Kantor utama kami belum jadi," kata laki-laki itu dengan ramah dan penuh pemakluman. "Mbak Nala? Ngapain kamu di sana. Sini kenalan dulu sama menejer pemasaran Gaara Grup." Tarno justru memanggil Nalaya yang sibuk bersembunyi. Nalaya terkejut karena keberadaannya diketahui oleh Tarno. Padahal ia sudah berusaha bersembunyi. Bersembunyi tetapi tepat berada di belakang dua laki-laki itu rupanya. Nalaya mengembuskan napas dengan kasar saat ini. "Buruan, Mbak. Ngapain sih malah liatin spion mobil. Mobil kita mobil murah. Jadi, ga mungkinlah ada yang nyuri spionnya. Kecuali kalo mobil Ferari, barulah harus waspada kalo spionnya dicuri sama orang." Tarno sengaja berkelakar dan membuat laki-laki itu tertawa kecil. Suara tawa itu masih sama di telinga Nalaya. Tidak ada yang berubah sama sekali. d**a gadis manis itu mendadak sesak. Ia mengingat bagaimana kejadian di masa lalu itu. "Susah bener disuruh balik badan." Tarno membalik paksa tubuh Nalaya dan menghadap padanya. "Ini kenalan dulu sama menejer pemasaran. Nanti kalian akan sering ketemu untuk kelanjutan kerja sama kedai kopi kita dan Gaara Grup," lanjut Tarno yang merasa sangat bahagia saat ini. "Ka-kamu." Laki-laki itu gugup saat melihat wajah Nalaya yang kini menatapnya dengan tajam.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Istri Tuan Mafia

read
17.1K
bc

Pembalasan Istri Tersakiti

read
8.1K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
3.4K
bc

CINTA ARJUNA

read
11.7K
bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
24.2K
bc

Ayah Sahabatku

read
19.8K
bc

Dipaksa Menikahi Gadis Kecil

read
21.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook