Dia William

1034 Words
Tidak ada yang spesial dari seorang Larasita. Memiliki nama panggilan Laras, tapi anak laki-laki bernama William selalu memanggilnya Sita. Apa yang keren dari suku kata itu? Larasita sedikit banyaknya mengingat bagaimana pertemuannya dengan William. Dia memang tak pernah kaget dengan kehadiran William, tapi tidak dengan saat pria itu malah mengajaknya berinteraksi.   Saat itu, Larasita hanya sedang belajar di salah satu laboratorium biologi yang selalu kosong. Namun, pintunya terbuka. Dia sudah memiliki akses masuk tersendiri karena sering membantu membersihkan ruangan itu. Dan lagi, tidak ada yang mau masuk ke dalam ruangan itu yang berisikan dengan patung-patung potongan tubuh dan juga hewan-hewan yang diawetkan. Hanya Larasita seorang yang mau masuk.   Seperti biasanya, dia menumpang untuk belajar. Dia tak pernah berada di kelas kecuali kalau sedang ada gurunya. Dia memang tak diterima di sana, jadi lebih baik menghindar. Tanpa dia tahu kalau William yang sering membolos, menjadikan ruangan laboratorium ini untuk tempat persinggahan dan tempat tidurnya. Tidur? Ya, tidur. Pria dengan latar belakang memiliki kekayaan itu rupanya memanglah tak sudi untuk belajar.   Seperti hari ini, Larasita yang sedang berusaha mengerjakan PR fisika pun dikejutkan dengan kedatangan William. Remaja itu melengos saat melihat Larasita yang pias menatapnya, seperti anak kijang yang baru saja bertemu dengan singa dan merasa akan dimangsa. Memang, Larasita merasa takut saat melihat William. Yang dia tahu, pemuda itu sering berbuat onar. Tak jarang menyeret para guru pusing tujuh keliling dengan kelakuannya. Dan kali ini, William malah datang ke ruang laboratorium. Wajah datarnya seolah-olah menampilkan bahwa kehadiran Larasita adalah pengganggu.   Buru-buru Larasita memberesi bukunya, dia bahkan menariknya hingga berantakan dan memeluknya. Berusaha keluar dari ruangan itu agar William tak terganggu karenanya. “Permisi,” ucapnya sopan. Namun, William masih berdiri di tengah-tengah pintu. Larasita bingung, dia menunduk dan ingin mengucapkan kata lainnya, tapi malah terkunci. “Mau ke mana lo?” “Eh?” Larasita mengangkat pandangannya, bingung. “Ck! Lo mau di sini mah di sini aja, gue enggak akan ganggu lo selama lo enggak berisik. Minggir!” Spontan Larasita memiringkan tubuhnya, memberi akses pada William yang akan masuk. Dia bingung, ingin keluar atau ingin tetap di ruangan itu.   Dengan kenekatannya, Larasita memilih untuk tinggal. Dia tak boleh mengganggu William, tapi dengan bodohnya dia malah duduk kembali di meja paling depan, meja guru yang menghadap ke arah bangku murid. Bodoh! Satu kata itu mewakilinya saat ini. Bagaimana bisa dia malah duduk menghadap ke arah William? Remaja laki-laki itu bahkan seolah tak menganggapnya ada. Dia memilih menyatukan tiga bangku berjejer dan berbaring begitu saja. Lelap dan tak terganggu.   Hari-hari yang dilalui Larasita hanyalah monoton, tempat-tempat yang didatanginya akanlah sama. Seperti biasa, dia makan siang dengan bekal buatannya dan makan dalam diam sambil membaca buku pelajarannya. Sudah terhitung satu bulan untuknya di ruangan yang sama dengan William.   Bruk! Saat Larasita tengah mengunyah makanannya sambil serius membaca, ada satu buku yang dijatuhkan di meja. Dia mendongak, melihat sosok yang berdiri menjulang di depannya dengan arogan. “Kerjain, gue enggak bisa.” Hah? Bisa-bisanya anak laki-laki yang tak dikenal itu memintanya untuk melakukan sesuatu. Yang tak dia suka adalah saat seperti ini. Dimanfaatkan. “Ini kan PR kamu,” balasnya. “Elah, lo kan anak beasiswa, udah pasti pinter. Ya udah kerjain aja, nanti soal bayaran gue kasih.” Larasita tetap menggelengkan kepalanya. “Kalau soal ini maaf, aku tidak bisa. Pelajaran bukan bisnis. Kalau mau, aku bisa mengajari kamu kok.”   William berdecak sebal. Ada apa dengan gadis di depannya ini? “Jadi lo enggak mau ngerjain ini?” desisnya. Grep! Kedua tangannya menggebrak meja sampai Larasita terkejut dan menciut hebat atas ulahnya. Wanita itu diam pucat pasi, sementara tubuh William condong mengikis jarak ruang di antara mereka. “Aku … aku kerjain,” jawab Larasita lirih. Dia memilih untuk tak berurusan dengan William lagi setelah ini. “Bagus.” William menyeringai puas.   Dia lantas segera menjauhkan dirinya, memandangi bangku-bangku yang berbaris lantas dia menuju bangku paling belakang dan lantas segera membaringkan tubuhnya di sana. Dia tak ambil pusing saat Larasita tengah mengerjakan tugasnya, masalahnya bukan pada soal yang banyak, tetapi ada pada soal yang diberikannya. Yaitu soal-soal dengan standar kurikulum yang berbeda. Kurikulum internasional yang sudah berada di level A1. Memang mereka bersekolah menggunakan kurikulum nasional untuk pembelajarannya, tetapi bagi orang-orang yang ingin memasuki kampus di luar negeri, mereka mengambil kelas tambahan dengan kurikulum internasional sebagai penyesuaiannya.   Larasita terdiam, tak berkutik dengan soal-soal yang dibacanya. Dia tak bodoh dengan bahasa inggris, hanya saja soalnya begitu asing sampai membuatnya harus mengeluarkan semua buku catatannya dan berusaha menjawab soalnya sebisa mungkin. Dia tak mau mendapatkan masalah lainnya. Dua jam berkutat di dalam ruangan dengan berusaha menyelesaikan soal dengan baik benar-benar menguras otak Larasita. Sementara William tengah memainkan ponselnya sesuka hatinya. Dia pun malah diam-diam mengambil potret Larasita yang sedang kesusahan. Sampai ponsel di dalam saku rok Larasita berdering dan mengejutkan pemiliknya.   Deg! Dia baru menyadari kalau lampu-lampu dalam ruangan laboratorium pun sudah menyala semua. Itu artinya hari sudah malam?! Kini Larasita merasa ketakutan, bukan, bukan takut karena hantu, tapi melainkan  ketakutan kepada yang menghubunginya. “Halo Kak,” sapanya dengan nada mencicit.   William bisa melihat jelas benda apa yang sedang dipegang oleh Larasita. Ponsel, tapi …. “Masih ada orang make hp itu?” selorohnya sambil sedikit menahan tawanya. Tak mungkin ada orang yang masih memakai ponsel dengan prosesor Quad-core 1.2 GHz, dan memori 768 MB RAM dan ROM 4 GB?   Yang benar saja, bahkan setahu William pun sekarang untuk mengoperasikan aplikasi playstore butuh banyak memori. Semiskin apa Larasita? Semuanya menjadi pertanyaan-pertanyaan di kepalanya saat ini. Jelas-jelas semua orang yang berada di sekolah elite ini mampu, minimal untuk membeli ponsel masih bisa.   “Kamu di mana belum pulang ini? Kerja? Setahu aku, kamu kerjanya besok,” cecar Deri, Kakak laki-laki Larasita. Larasita semakin pucat, dia memikirkan alasan apa saat ini? Dia bukan anak yang pandai berbohong dan sekarang ditanya soal keberadaannya. Tak mungkin dia menjawab sedang di Lab bersama dengan William. Itu namanya gantung diri. “Aku masih di jalan, dari tadi belum ada angkot Kak, karena … kan tadi ada aksi demo itu,” ujarnya tergagap. Ya dia tak berbohong soal angkot bukan? Meskipun mustahil jika tak ada angkutan umum yang lewat di depan sekolahnya. “Ya sudah, cepat pulang!” tegas Deri di seberang sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD