Prolog
"Kamu mempermalukan Bapak!"
BRUG.
Sebelum bunyi benturan itu terdengar, mataku sudah terlebih dulu terpejam, seolah siap menerima hantaman tangan Bapak yang sedari tadi memang sudah mengepal. Meski yang terjadi bukanlah wajahku disapa oleh bogeman mentah bapak. Suara dentuman yang terdengar di tembok sebelah kiri, tempat aku menyandarkan tubuhku tak sama sekali menyapa wajahku. Justru malah menguarkan bau amis, Kurasa tangan bapak kini berdarah.
Aku tak berani membuka mata, tubuhku masih gemetar. Bahkan dari ujung kaki hingga kepalaku kini sedang bergetar hebat. Bapak tak pernah semarah ini padaku. Jika amarahnya sudah berkibar seperti ini artinya aku benar-benar mengecewakannya.
"Sudah Pak, Sudah." Suara parau terdengar di samping Bapak. Aku selalu yakin bahwa manusia bernama ibu akan selalu menjadi penolong untuk anaknya. Namun, kondisinya kini justru aku tak ingin ditolong. Seharusnya Ibu biarkan saja Bapak memukulku. Jika itu bisa mengurangi rasa bersalahku, tak apa, lakukan saja.
"Sabar Pak, kita bicarakan dengan Baihaqi. Siapa tau dia mengerti." Perlahan kuberanikan membuka kelopak mata yang dari tadi memejam erat. Kulihat tangan Ibu sedang mengusap-ngusap punggung bapak. Tubuh lelaki itu hampir terhuyung andai ibu tak segera menahannya.
"Ya Allah gimana coba ini Buk?" Aku lihat Bapak mengusap wajah kasar dengan kedua tangannya. Matanya merah, kulihat ada embun di kedua iris beningnya. Namun, bapak terlalu malu untuk meluruhkan embun itu menjadi rinai. Hal itu membuat aku semakin dihujam rasa bersalah.
Untuk pertama kalinya, selama 25 tahun dalam hidupku, lelaki yang mengangkat tubuhku ke atas punggungnya semasa aku kecil, orang yang memboncengi aku naik sepeda ontel mengelilingi jalan desa terlihat sangat rapuh, dan itu karena aku.
"Kita bicarakan baik-baik sama keluarga Baihaqi, Pak."
"Itu namanya bunuh diri Bu. Ibu lupa sama si Aisyah? Istrinya Furqon, kakak Baihaqi. Keluarganya habis-habisan bayar denda ke keluarga mereka. Pak Lurah akan minta lebih banyak dari pada apa yang kita punya. Memang apa yang kita punya? Ladang saja tak sampai sehektar." Ibu diam terpaku mendengar kelakar Bapak, tanda ibu membenarkan ucapan Bapak barusan.
Mereka berdua termangu sendu, masing-masing dari mereka menundukkan pandangannya. Sedangkan aku? Tentu saja aku menyusul mereka menundukkan wajahku dalam, bahkan lebih dalam dibanding mereka, aku tak memiliki kekuatan lagi meski untuk sekedar menengadahkan wajah.
"Suruh anakmu membereskan pakaiannya Bu. Kita sudah tak punya jalan keluar."
Duar.
Ucapan Bapak seperti petir yang menyambar tepat di atas kepalaku. Namun, tetap saja mulut ini hanya bisa terkunci. Mengatakan kata 'Tidak' sama dengan bunuh diri.
"Pak, apa nggak ada jalan lain?" tawar Ibu.
"Pernikahannya besok pagi. Kita sudah nggak punya waktu mencari solusi lain."
Bapak benar. Saat ini waktu adalah algojo bagiku. Tinggal memilih saja mau mana yang ditebas habis, aku ... atau Bapak dan Ibu.
Kudengar kaki Bapak berderap, tapi langkahnya terhenti sebentar. Aku melihat kaki bapak yang di tumbuhi bulu-bulu halus dihadapanku, aku menatap kaki lelaki itu dengan manik mata yang bergoyang menahan titik-titik embun agar tidak terjatuh.
"Bereskan pakaianmu, besok pagi kamu teh harus sudah harus pergi dari sini." Ucapnya lalu kembali mengayunkan kakinya pergi meninggalkan aku dan ibu yang di ruang tamu.
***
"Ayo Nak."
Wanita dengan bawahan jarit batik mengusap-ngusap kepalaku. Ia menuntunku, anak wanita satu-satunya perlahan melewati janur kuning yang melambai tepat di depan rumah kami.
Aku menghentikan langkahku sesaat. Tepekur sejenak mamandang janur kuning dengan papan bertulisakan namaku dan Baihaqi. Lelaki asal kampung sebelah yang mapan juga tampan.
"Ayo, Neng. Keburu matahari muncul," Ibu, melingkarkan tangan yang keriput ke bahuku. Mengajak aku untuk segera meninggalkan kampung di mana aku dilahirkan.
Aku melambatkan langkah, sambil sesekali melirik ke panggung pelaminan yang sudah tersusun rapih. Seperti ada godam besar yang meninju d**a, menciptakan rasa perih yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Mengigit bibir bawahku, ini salahku. Iya benar, ini salahku.
Kami berjalan ke arah danau, menghiraukan suara jangkrik juga lolongan anjing liar. Mungkin bagi Bapak suasana malam ini tak lebih mencekam dari suasana setelah pernikahan kelak.
Perjalanan malam ini ditemani temaram bulan. Rasanya waktu berjalan terasa amat lambat. Jalanku saja sampai terasa berat sepeti berjalan melawan arus air.
Aku, Ibu dan Bapak kini berada di sisi danau. Danau yang menyediakan sampan sebagai penghubung kampung kami dengan kampung yang memberi akses ke kota. Aku melirik ke arah dua orang paruh baya yang siap mengantarkanku pergi. Memandang pilu pada kedua wajah senja di hadapanku.
Wajah ibu yang teduh, kini terlihat seperti menyimpan selaksa rasa sakit setelah diriku dengan tega menyayat hati Ibu malam ini. Sedangkan Bapak tetap dengan kilatan kecewa yang masih terpancar jelas dari kedua bola matanya.
Rasa bersalah semakin menodong diri kala melihat mata Ibu berkabut. Aku hanya bisa menunduk, menggigit bibir. Ingin rasanya aku meluruhkan air mata yang rasanya sudah tak bisa aku bendung.
"Jangan lupa Ijazah. Itu bekal kelak di sana," ucap Bapak dengan suara dingin tanpa melirik sama sekali ke wajahku. Aku mengangguk pasrah.
"Sudah, Nak. Sampan sudah menunggu. Kalau terlalu siang kamu akan lebih kesulitan," Ibu kembali meraih tangan putrinya, hendak memapah kembali anaknya ini untuk turun melewati tangga dari anyaman bambu yang nempel di rerumputan bibir danau.
Namun, aku terlebih dulu mencekal tangan Ibu yang kembali terulur hendak meraih bahu. "Maafin Khadijah, Bu, Pak. Khadijah berjanji akan pu—"
"Jangan pulang sebelum dapat orang kota itu balik ke kampung ini!" sela Bapak. Aku tau siapa yang Bapak bilang orang kota itu.
"Sudah. Ayo Aki Basri udah nunggu di bawah." Ibu melerai ketegangan yang terjadi.
Dalam pilu yang semakin mengumpul, Aku pergi dengan menahan pengap di d**a. Bak Sangkuriang yang ketakutan matahari terlebih dulu menyapa. Maka malam itu, untuk pertama kalinya sepasang kaki ini melangkah masuk ke sampan perahu bermuatan motor menuju kota. Setelah 25 tahun aku menjadi kembang desa yang tak sekalipun berpikir hendak pergi merantau ke ibu kota. Malam ini, karna kesalahan di masa lalu, aku harus pergi, membawa misi beban di pundak.
Sampan itu melaju sedang, membelah air danau dengan suara mesin yang memekakkan telinga. Gelap, penerangan hanya di dapat dari senter yang diikatkan kepala si pengemudi sampan.
"Neng yakin?" tanya Aki Basri di tengah-tengah lamunanku yang tenggelam dalam pekatnya malam. Aku tak langsung menjawab, memilih memilin rok payung bermotif batik.
Kakek Basri mungkin berpikir bahwa cintaku dengan Baihaqi seperti cerita Siti Nurbaya yang dijodohkan, tapi mempelai wanitanya melarikan diri. Nyatanya bukan itu. Semua yang terjadi saat ini karna kesalahan di masa lalu.
"Iya Ki," akhirnya aku menjawab dengan suara pelan. Menyembunyikan suara parau di dalam tenggorokan. Aki Basri hanya bisa mengangguk.
"Jangan lupa pulang. Ingat tempat lahir. Kampung ini butuh b***k cerdas seperti Neng Khadijah." Aku tersenyum pahit, dan lagi aku hanya bisa menunduk menahan sakit yang meninju d**a.