"Cangcimen, cangcimen, kacang kuaci permen." Suara pedagang asongan nyaring terdengar, berlomba bersama bisingnya suara knalpot juga klakson.
Aku terbangun. Entah sudah berapa lama aku tertidur di dalam bus. Perjalanan dari kampung langit sampai ke Jakarta memang cukup memakan waktu dan tenaga.
Hal pertama yang aku rasakan setelah terbangun adalah mencium asap polusi dan bau bensin yang menyengat, cukup untuk membuat paru-paruku sesak. Atmosfer di sini memang kontradiksi sekali dengan Kampung Langit. Selama aku tinggal di kampungku tak pernah aku merasakan polusi se extrem ini. Kampung Langit memang masih asri, area hijau masih membentang luas. Pepohonan juga masih rindang, sehingga cukup banyak menyuplai oksigen untuk para penduduk kampung.
Mataku kini mengedar. Tatapanku jatuh pada bagian kiri di sebrang jalan sana. Pantas saja, ribuan mobil lalu lalang memang tak sepadan dengan area hijau yang ada. Pepohonan kecil berada di bahu trotoar jalan tak dapat mengimbangi karbondioksida yang dihasilkan dari benda yang berlubang di belakang kendaraan. Mirisnya bahkan ada beberapa pohon yang terlihat layu. Karna gersang? Entahlah. Yang kutahu pemandangan itu tak sesuai dengan baliho yang berdiri angkuh bertuliskan 'Go green. Mari kembalikan area hijau' di bahu jalan.
Oke. Baiklah, sudah cukup aku mengamati tempat baru yang akan menjadi tempat tinggalku selama ... Aku mengigit bibir bawahku yang kelu. Rasanya pilu itu masih terasa menyengat di sanubari. Memikirkan tentang batas waktu. Sama halnya seperti aku mencari permata di dasar lautan, sulit. Hanya Tuhan sang pemilik takdir yang tau kapan batas waktu diriku menjadi bagian dari penduduk ibu kota. Semenjak kejadian kemarin malam, aku sudah menyerahkan sepenuhnya hidupku pada takdir. Terserah Tuhan mau membawa pada takdir yang mana.
Terminal tinggal beberapa meter lagi. Namun, terasa sangat lama. Kemacetan di Jakarta memang luar biasa menguras emosi. Hal itu dimanfaatkan oleh Para pedagang untuk turun naik bus bergiliran. Mataku tak lepas memperhatikan segala bentuk mobilitas yang ada. Termasuk mengamati bagaimana para pedagang mempromosikan produk mereka dengan unik. Penjual akan memberikan Satu-satu jualan mereka pada para penumpang yang masih setia menempelkan bokongnya pada kursi- kuris mobil. Satu benda sampai di telapang tanganku, sebuah benda yang memiliki tengtakel di kedua sisinya. Selesai membagi satu persatu dagangan pada penumpang, sang penjual akan berdemo di semua penumpang tentang benda apa yang ada di tangan kami, apa fungsinya dan terakhir dia memberi tahu harga. Selesai berdemo ia akan kembali ke para penumpang, kembali mempertanyakan apakah kita akan membeli barangnya atau tidak. Jika tidak, maka ia akan menarik kembali barang tersebut dari tangan kita.
Tiba giliranku. Aku menolak halus, terlihat raut kecewa di wajah penjual tersebut ketika ia kembali mengambil barangnya dari tanganku. Dan kemudian berlalu dari kursiku
Aku membuka dompet, tapi urung kulakuakn. Kurasa tak perlu membuka lembaran uang di dalam saku. Bapak sudah memberitahu berapa nominal bekal yang kubawa, yang pasti uang itu akan cukup untuk biaya makan satu bulan kedepan. Sehingga aku harus benar-benar berhemat.
"Rambutan, rambutan, rambutan."
Aku bernapas lega. Akhirnya setelah sisa bermeter-meter yang memakan waktu hingga 20 menit itu berakhir juga. Aku yang duduk di bagian tengah mimilih turun ke pintu depan. Mengambil tas besar di bawa kursi, Kemudian bergegas keluar dengan beban di tangan. Derap langkah terhenti, segerombol orang dibagian depan jutsru turun ke pintu belakang. Sesuatu yang membuat keningku bekerut. Jika aku saja berada ditengah turun ke depan. Kenapa mereka justru turun lewat belakang? Atau aku yang tidak mengerti prosedur tentang turunnya bus di ibu kota?
Pasca turun dari bus, aku berjalan menuju trotoar. Kulihat trotoar di seberang jalan sana bisa menjadi pilihan yang bagus, terdapat pohon yang meski tak rindang, setidaknya aku berharap pohon itu bisa memberikanku sedikit oksigen untuk paru-paruku yang belum terbiasa dengan polusi ibu kota.
Aku menselonjorkan kaki yang terasa keram akibat seharian menekuk di dalam bus. Sekarang kemana harus kulangkahkan kaki ini?
Ah ya, Aku ingat, Bapak memberiku alamat Bibi di Jakarta. Adik Bapa itu mempunyai usaha konveksi sederhana, kata Bapak aku perlu ke sana, bekerja di sana membantu Bibi selama aku menyusun rencana terhadap masa depanku di Jakarta. Jadi segera kurogoh dompet tipis yang kusimpan di saku bagian depan tas. Masalahnya, sedalam apa aku merogoh, tak jua kutemukan dompet kain dengan resleting di di atasnya itu. Astaga! Bulir-bulir keringat kini menghiasi pelipisku, juga degup jantung yang berpacu lebih kuat. Mati aku!
Dan aku baru tersadar ketika mataku menangkap ada sayatan di bawah tasku. Masih ingat betul, tas itu tak cacat saat kubawa menuju Jakarta. Tubuhku terkulai lemas. Sadar aku sudah kecopetan. Entah harus bersyukur atau menangis. Aku memang tak kehilangan uang, karena uangku kusimpan di dalam sakit kemeja yang kututupi dengan jaket. Tapi, aku sadar betul bahwa secarik kertas berisi alamat Bibi di dalam dompet lusuh itu tak kalah penting untukku. Dengan uang aku hanya bisa bertahan sebulan, itupun mungkin harus memilih tidur di teras mushola. Namun, dengan alamat itu, aku bisa bertahan jauh lebih lama. Setidaknya, bekerja di konveksi Bibi akan menghasilkan sedikit uang. Ya Tuhan, Sekejam ini ibu kota?
Sekarang aku harus apa?
Aku menelungkup kan wajah ke kedua lututku yang kulipat. Aku sungguh putus asa. Kini aku seperti gembala kecil yang kehilangan arah. Susah payah kutahan tubuh ini agar tak bergetar. Aku tak ingin menjadi tontonan orang-orang yang berlalu lalang.
"Awas Lo. Dia mangsa gue"
"Enak aja. Itu punya gue"
"Ah elah, ribut Mulu Lo berdua. Gue toyor ya pala Lo berdua"
Terdengar suara ribut tepat di depanku. Aku mendongakkan kepala. Di hadapanku berdiri tiga pria berdandan ... Menyeramkan. Terdapat lebih dari tiga tindikan di ke tiga pasang telinga lelaki itu. Belum lagi rompi dan celana jeans-nya yang compang-camping. Itu masih belum apa-apa dibanding saat aku melihat tato mereka yang memenuhi hampir seluruh tubuh milik mereka.
"Udah gue bilang, dia punya gue," kata lelaki yang menggunakan pakaian tangan panjang, dengan tato yang mengintip di pergelangan tangannya.
Di bagian ini aku tersadar, bahwa kata 'milik gue' itu ditunjukan untukku. Sontak tubuhku meremang. Hawa takut menyelimutimu. Ya Tuhan, belum 24 jam aku di sini, tapi sudah mengalami masalah sepelik ini. Bagaimana nasibku setelah ini? Bayangan-banyangan sinetron yang menayangkan adegan preman-preman ibu kota menggelayuti benakku.
Dibunuh? Diperkosa? Dibegal? Mana yang akan aku alami. Dari ketiganya tak ada yang lebih baik. Semuanya mengerikan. Semengerikan ketiga lelaki di hadapanku yang sedang menyeringai senang, melihat aku seperti santapan lezat mereka.