Klontrang.
Kaleng minuman yang tampak kosong mendarat tepat di atas kepala preman dengan rambut spike yang di cat warna kuning, tampak kontras kulitnya yang hitam legam. Preman yang tak kuketahui namanya itu membusungkan d**a, tampak amarah melingkupi wajahnya.
Namun anehnya, setelah preman itu melirik ke arah seseorang yang telah melemparkan kaleng minuman kosong tersebut, preman itu justru mengempiskan d**a, berganti dengan decakan dan bola mata berputar malas.
"Minggir! Dia milik gue!" ucap wanita dengan make up tebal dan gaun ketat yang membungkus badannya.
"Cih!" decih salah satu dari preman itu.
"kenapa Lo? Mau protes sama Baron sana!" Wanita itu memainkan jemari ke rambutnya yang terurai, kakinya menghentak-hentak di bawah aspal sana. Menunggu jawaban ketiga preman dengan menaikan dagunya ke atas. "Masih mau protes? Udah sono pergi! Atau gue hubungin Baron sekarang."
Ketiga preman itu tak banyak bicara, satu di antaranya menghentakan tangan ke atas udara dan melangkah pergi, diikuti oleh kedua temannya.
Kurasa aku belum sepenuhnya aman. Kata 'dia milik gue' menunjukan bahwa aku adalah mangsanya. Tak berbeda dengan maksud ketiga preman yang baru saja pergi. Lagi pun ... melihat penampilan wanita di hadapanku ... make up tebal, gaun sexy di atas paha, rambut di cat dengan warna caramel. Ya, aku pernah melihat dandanan seperti ini di televisi. Di ajang pemilihan putri kecantikan atau di adegan yang menampilkan tempat prostitusi. Ya ampun. Di saat seperti ini, ingin sekali aku membenturkan kepalaku agar isi otakku tak melulu tentang sinetron yang kutonton.
Baik, katakanlah bagian terburuknya wanita ini adalah wanita yang memaksa gadis-gadis untuk menjual tubuhnya. Lalu-
Segera kueratkan jaket yang kukenakan agar menutupi sebagian besar dadaku. Rasanya aku mulai ketakutan sekarang. Apalagi sekarang sepasang mata dengan bulu mata tebalnya memindai tubuhku dari atas ke bawah.
"Kenalkan, gue Dinda." Dia mengulurkan tangannya. Aku tak segera menyambut, rasanya jantungku masih berdetak bertalu-talu, takut wanita itu berniat jahat kepadaku. Bukan tersinggung, wanita yang baru kuketahui namanya itu justru tersenyum. "Jangan takut. Gue nggak makan orang," dia terkekeh.
"Mau tetep di sini atau ikut gue? Ya kalau mau di sini nggak apa-apa si. Paling preman-preman tadi balik lagi." Mataku melebar.
"Ayo," ajaknya kembali, tangan yang terulur belum ia tarik kembali.
Sebenarnya, mengikuti ajakan orang yang tidak dikenal adalah kebodohan. Namun, mengingat pilihan untuk tetap tinggal seorang diri amatlah beresiko. Maka pilihan menerima ajakannya kurasa sedikit lebih baik. Senyum wanita itu, entah kenapa seperti melihat kebaikan yang tersirat di dalam senyumannya. Rasa lega sedikit melingkupi rongga dadaku yang sedari tadi berkerut. Dengan gerak kikuk, aku menerima uluran tangannya.
***
Aku tiba di salah satu kamar kontrakan. Dinda memasukan kunci diikuti gerakan memutar. Kemudian kenop diputar hingga terbuka daun pintu tersebut. Kami melangkah masuk. Awalnya aku ragu. Untuk apa wanita ini membawaku ke kamar kontrakannya?
"Masuk." Dinda menggerakkan kepalanya ke arah dalam kontrakannya, mungkin karena melihatku hanya tertegun ragu.
"Gue tau apa yang Lo pikirin. Gue bukan orang jahat," jelasnya. Kurasa jantungku sekarang membengkak, sehingga oksigen yang menipis bisa kembali terisi, setelah selama perjalanan mengikuti Dinda jantungku kembali berkerut. Bagaimana tidak, rasa takut, khawatir melingkupi batinku. Lagi-lagi pikiran tentang kemungkinan terburuk bisa saja aku alami, bukan? Setidaknya tetap waspada adalah caraku melindungi diri.
Aku melangkah masuk ke dalam kamar Dinda. Kamar itu tidak besar, tapi juga tak terlalu kecil untuk ditempati olehnya seorang diri. Dengan langkah pelan, kurasa sisa-sia keraguan masih menggelayuti. Sudah kukatakan, aku harus tetap waspada. Meski Dinda sudah mengatakan bahwa dia bukan orang jahat.
"Duduk aja. Tapi nggak ada kursi. Noh, di atas kasur nggk apa-apa. Tasnya simpen di pinggir lemari," Dinda menggerakkan dagu mengarahkan tempat menyimpan tas. "Keliatannya Lo cape. Tapi gue mau mandi dulu. Nanti gue selesai, baru Lo." Tanpa menunggu jawaban, Dinda membalikan badan, mengambil handuk yang tersampir di sebelah kamar mandi, lalu masuk ke kamar mandi.
Aku mengehela napas berat. Ya, seberat hariku hari ini. Siapa yang tau takdir bisa membawaku ke sini.
Aku termangu duduk di atas ranjang milik Dinda, wangi Jasmine menguat di Indra penciuman. Mataku mengedar, setelah kuperhatikan Dinda cukup pintar mendesain kamar berukuran sedang ini. Cat bernuansa putih menambah kesan luas pada ruangan ini, belum lagi lemari minimalis menjadi pilihan yang tepat agar tak banyak memakan tempat. Mataku merujuk ke atas dinding. Ada 3 lukisan yang dibingkai dengan frame berwarna putih. Satu lukisan abstrak, satu lagi lukisan mozaik.
Lama aku mengamati setiap sudut ruangan ini. Menjadi pengaman dadakan bukanlah hal yang buruk, bukan.
Ceklek.
Suara pintu kamar mandi terbuka. Dinda keluar dengan berbalut handuk tak sampai 10 cm di atas paha. Wanita itu mangambil lotion dan mengoleskannya ke seluruh kulit tubuhnya. Aku masih tertegun melihat apa yang di lakukan.
Otakku kini berpikir keras. Untuk sikapnya yang terlalu santai. Kurasa aku memang harus menerima sepenuhnya bahwa ia orang baik.
"Lo nggak mandi?" Aku tersentak, Dinda bertanya di saat aku tengah melamun. Memikirkan semua ini.
"Mandi gih!" titahnya tanpa menoleh ke arahku. Dia mengambil kaos longgar dan celana dalam di atas lemari, kemudian mengenakannya di depan diriku.
Sesungguhnya aku malu, sikap Dinda terlalu prontal di depanku yang baru saja ia kenali.
"Gue mau tidur. Capek. Nanti aja ya ngobrolnya. Lo juga kalau udah mandi tidur aja. Capek, kan?" Aku menjawab dengan senyuman.
Dinda merebahkan diri di atas kasur, kemudian tenggelam dalam mimpinya.
***
Sudah tiga hari aku di sini. Tak ada yang aneh, atau hal yang kutakutkan seperti yang aku pikirkan saat pertama kali Dinda membawaku ke kontrakannya. Tiga hari itu pula aku tahu bahwa Dinda bekerja pada malam hari, tepatnya saat pukul 9 malam dia baru akan berangkat dengan pakaian yang menurutku ... Sangat Sexy.
Seperti saat ini, Dinda mengenakan gaun biru cerah di atas lutut. Di atasnya ada terdapat tali yang di ikan ke bagian leher. Lipstik merah menyala membuat tampilannya semakin mencolok. Sejujurnya aku tak tahu apa pekerjaannya. Atau lebih tepatnya aku yang tak mau tahu.
"Gue berangkat dulu ya." Dinda mengangkat tangannya ke arahku sebelum berlalu dan menghilang di titik gelap di depan sana.
Aku kembali ke kamar. Mengunci pintu dan membuka tasku untuk mengambil sesuatu. Diari dengan sampul pink dan ada pita yang diikat simpul di depannya adalah benda yang sering menjadi obyekku untuk bercerita.
Sebenarnya aku bukan penulis aktif dalam sebuah diari, aku menulis jika aku sedang ingin saja. Seperti saat ini. Aku ingin sekali menggulirkan pena di atas diari, menceritakan banyak hal. Hal-hal yang tak bisa kuceritakan kepada siapapun.
Aku langsung membuka halaman pertengahan, tapi secara tak sengaja aku justru membuka diari pada halaman awal. Halaman yang kupakai untuk menorehkan tulisan bagaimana awal mula segala kerumitan ini terjadi. Hanya dengan membaca ulang satu paragraf rasanya hatiku seperti dipilin.
Tak terasa air mataku jatuh, bergulir bersama rasa nyeri yang kian menghujam. Aku memilih kembali menutup buku diari itu. Melihat kata demi kata yang kurangkai itu, sama seperti membiarkan pisau menyayat tubuhku sedikit demi sedikit. Tidak! Aku tak ingin membuat luka baru. Aku ingin menutupnya. Menggantikannya dengan lembaran baru. Meski itu rasanya ... Mustahil.
Aku merebahkan diri di atas kasur, kemudian meraih bantal di sisi kananku. Kubiarkan bantal itu menjadi benda untuk meredam suara tangis agar tak terdengar keluar kamar.