Dadaku sesak, stok oksigen semakin menipis dan semakin kritis kala aku melihat ia menyeka peluh. Usai menyeka peluh, ia kembali bekerja bersama otot-ototnya yang terlihat menyembul di antara kedua lengannya. Ya ampun, di posisi seperti ini sukses membuatku banyak menelan saliva. Baik, sudah! Lama-lama di posisi ini bisa membuatku gila, karena setengah hidupku akan kupakai hanya untuk mengingat hari ini.
"Kamu ngajak aku ke sini cuma buat liat si itu?" protes Fatimah di sela-sela kunyahannya.
"Bagaimana? Pagi ini kausnya putih, tampan, kan?" tanyaku tanpa menoleh ke arah orang yang kutanya.
"Jangan terlalu berlebihan. Allah nggak suka yang berlebihan. Nanti kalau nggak jodoh gimana?" nasehatnya.
"Ya doa semoga dijodohkan," pungkasku seraya mataku tak luput dari lelaki dengan seribu pesona penggetar hati.
"Halah, nyamperin aja nggak berani. Kita udah kaya penguntit tau nggak!" protesnya. Aku terkekeh mendengar ucapan wanita yang sibuk mencomot satu demi satu isi rantang yang kubawa.
Empedu saja terasa madu. Begitu salah satu perumpamaan bagi orang yang sedang jatuh cinta. Pagi-pagi sekali aku menyeret Fatimah ke ladang. Berbekal makanan yang aku bawa, wanita bertubuh gempal itu kubuat sulit untuk menolak.
Agenda di pagi hari, rutin menjadi penguntit lelaki yang sedang berpeluh dengan cangkul di tangannya dari radius 10 meter dari pondok tempat kami memandanginya. Ralat, aku yang memandanginya. Sedangkan Fatimah hanya menatap binar pada isi rantang yang kubawa.
"Besok bawa lagi lebih banyak, ini masih kurang. Aku butuh amunisi lebih banyak, soalnya jadi temen penguntit itu ngabisin energi,” tutur Fatimah. Nada suaranya ketus. Aku tau Fatimah marah karena telah kujebak agar ikut ke tempat ini. Namun, protesnya kontradiksi sekali dengan mulutnya yang terus mengunyah makanan yang kubawa.
"Kan cuma duduk aja, Fat."
"Iya, tapi tetep butuh kallori lebih, soalnya yang udah dimakan banyak ke bakar jadi energi . Energi yang aku pake buat beristigfar. Lagian kamu udah sih, Baihaqi lebih ganteng, anaknya Pak Lurah lagi. Kurang apa coba?"
Sejujurnya obrolan semacam ini selalu kuhindari. Di pondok tengah sawah yang beratapkan jerami. Di bawahnya ada aliran air yang beriak. Kumainkan kakiku yang telanjang. Manik mataku menatap ke bawah, memperhatikan ikan-ikan kecil yang berenang menjauh karena gerak kakiku. “Cinta mah nggak bisa dipaksain, Fat,” tukasku. Mataku masih tertumpu pada kaki yang kugerak-gerakan di dalam air.
"Iya, tapi nggak berarti harus jadi bodoh. Liat sana, si Jafar itu hitam, bandingin sama Baihaqi, jauuuuuuh. Kerjanya Baihaqi di kantor desa. Si Jafar? Mata kamu masih normal kan?,” ucapnya, “nanti Pak Lurah turun jabatan yang gantiin juga Baihaqi. Kalau aku ya mau banget jadi istri lurah. Nggak usah cape-cape ke ladang. Tinggal duduk manis di rumah, ngerawat diri," cerocosnya. Fatimah bukan orang pertama yang menghardik perasaanku pada lelaki dengan kaos oblong putih di depan sana. Sebelumnya Bapak sudah beberapa kali mengingatkan anak gadisnya agar mau menerima Baihaqi. Tapi peduli apa? Wanita yang dimabuk kasmaran ini sedang diserang virus cinta. Virusnya sudah menetap dalam inangnya, susah disembuhkan.
Kuanggap ocehan Fatimah tentang Baihaqi hanya angin lalu. Terlalu bosan mendengar semua orang membandingkan Kang Jafar dengan anak Pak Lurah itu. Menulikan telinga, fokusku kembali pada satu titik. Solah tau sedang diperhatikan, Jafar menoleh ke arah kami. Tak sengaja mata kami saling perpandangan sejenak, ia tersenyum lalu kemudian menunduk sapa ke arahku sebelum akhirnya Jafar kembali mengayunkan cangkulnya ke tanah ladang.
Mukaku menghangat. Tadi itu apa? Dia benar-benar tersenyum kepadaku? Ya Ampun, ini kejadian langka. Kalau tak malu pada Fatimah mungkin saat ini aku sudah melompat-lopat di atas pondok. Suasana dibuat semakin syahdu saat Kang Aliman mendadak memainkan serulingnya.
"Berisik akang," protes Fatimah pada pria yang memakai cetok anyaman yang berjongkok tak jauh dari pondok tempat kami meneduh.
"Yeh, si Neng. Akang mah lagi ngusir burung. Sekalian bikin musik pengantar buat yang lagi curi-curi pandang." Aduh Kang Aliman sepertinya tadi melihat interaksi mataku dan Jafar. Mukaku mendadak terasa panas.
***
“Khadijah suka sama Aa Jafar,” ungkapku tak tahu malu. Terserah kata Bapak yang mengatakan Baihaqi lebih layak untuk dijadikan pasangan. Terserah kata Fatimah yang mengatakan aku wanita bodoh karena memilih mencintai lelaki tanpa masa depan ini.
Kulihat Jafar sedikit tersentak. Mungkin baginya aku wanita kurang waras karena berani mengucapkan untaian cinta kepada laki-laki. Perempuan yang seharusnya menjaga image, perempuan yang seharusnya diburu, kali ini menjadi pemburu.
“Kenapa?” tanyanya.
“Kenapa apanya A?” Aku balik bertanya.
“Kenapa harus saya? Saya orang susah. Saya dengar Neng Khadijah disukai sama Baihaqi. Kenapa nggak sama Baihaqi aja?” Jafar melihat ke arahku, menunggu jawaban atas pertanyaannya.
“Kenapa saya harus milih Baihaqi kalau yang Khadijah suka itu Aa?” bidikku balik. Jafar tertegun, pandangan kami saling terpaku.
“Saya miskin,” ujarnya terlihat putus asa. Dia memutuskan kontak mata kami memilih membanting pandangannya ke arah lain.
“Cukup satu saja alasannya. Aa cinta juga sama Khadijah?,” tanyaku, “kalau jawabannya iya berarti Khadijah nggak butuh apa-apa lagi dari Aa.”
“Kalau Baihaqi membawa harta untuk Nenk Dijah, apa masih berarti cinta yang Neng bilang?”
“Aa nggak percaya sama Khadijah?”
“Tidak,” tegasnya. Aku kecewa, sesulit itu ia untuk percaya padaku.
“Bagaimana caranya supaya Ada percaya?” tanyaku.
“Neng serius mau menunjukannya?” Aku mengangguk yakin.
“Besok malam ketemu Aa di depan perempatan jalan sana,” ungkapny, “Kita lihat sebesar apa cinta Neng Dijah sama saya.”
**
Brugh.
“Aaaaa.” Suara memekik di balik tembok sana membuyarkan lamunanku. Aku kembali tersadar bahwa aku masih berada di tempat yang sama.
Rasanya terlalu berbahaya berada di tempat ini. Lebih baik aku menjauh dari tempat ini segera. Aku tak ingin menjadi bubur seperti seseorang yang sedang bermandikan darah di bawah sepatu pantofel hitam yang mengkilat.
Katakan ini hari sialku. Ditolak melamar pekerjaan untuk beberapa kali. Dan sekarang harus melihat fakta yang sejujurnya lebih baik aku tak pernah ingin tahu. Aku melangkahkan tungkaiku menjauh, tapi kaki ini justru tak sengaja memijak pada botol kemasan kosong sehingga menciptakan suara denyitan.
“Periksa!” Suara berat yang kukenal itu mengeluarkan perintah. Segera ku bawa tubuhku bersembunyi di balik tong sampah besar. Setengah mati hidung ini menahan bau yang cukup menyengat Indra penciuman.
Derap langkah di depan sana terdengar semakin dekat. Suara kokangan pistol terdengar di gendang telinga. Aku semakin menelungkupkan tubuh, merapalkan doa, berharap menjadi tameng penolong dari para manusia j*****m itu.
“MEONG” Hampir saja aku memekik saat seekor kucing melompat keluar dari dalam tong sampah.
“Kucing Bos,” teriak seseorang di depan sana memberi informasi pada lelaki b******n itu. Aku boleh bernapas lega, kucing itu bisa menyelamatkanku dari kotornya tangan lelaki itu. Tangan yang juga pernah menggandeng tanganku.