Kukira drama ketegangan ini akan segera usai, rupanya tidak. Suara kokangan yang diikuti cetusan peluru membuatku harus menelungkupkan kepala semakin dalam. Aku tak memerlukan kaca untuk melihat seberapa pias diri ini. Cukup dengan melihat buku-buku kukuku yang memutih sudah dapat menjadi indikator sepucat apa wajahku. Ini gila. Aku meyakini bahwa lelaki yang bersimbah darah itu sudah tak bernyawa. Lantas, untuk apa pelatuk itu kembali ditekan?!
Lelaki itu gila! Sungguh gila!
Derap kembali terdengar. Dua pasang kaki berpantofel dengan warna hitam mengkilat terlihat menghampiri. Aku bisa melihatnya dengan sedikit mengintip di sisi drum besar. Jangan ditanya semengerikan apa kondisinya. Bahkan keringan dingin sudah membasahi pelipis, menetes hingga ke atas bahu. Terlebih ketika netraku melihat bagaimana salah satu dari mereka memangku sang mayat di bahunya seperti ia memangku karung beras.
"Tempat biasa," perintah lelaki berkulit sawo matang dibelakang lelaki yang membopong si mayat.
"Seperti biasa?"
"Ya! Lakukan bodoh! Jangan banyak bertanya, kecuali kamu ingin ikut mayat itu masuk ke dalam sana," perintah Jafar.
Jafar. Tak perlu kusipitkan mataku untuk mempertajam indra penglihatan. Aku sudah bisa melihat wajahnya tanpa samar, meski hanya mengintip di belakang drum yang menutupi diriku dari jangkauan penglihatan mereka. Lelaki itu tampak gagah dengan jas hitam yang membalutnya. Tangannya bersedekap angkuh, melangkah dengan jumawanya. Penampilannya terlihat berbeda 180 derajat. Terutama cara melihatnya yang angkuh, setengah mengangkat wajahnya. Sangat berbeda dengan Jafar yang kukenal. Otakku berusaha menepis bahwa lelaki yang biasa tampil dengan menundukkan kepala tersebut bukanlah lelaki yang saat ini aku lihat. Namun, fakta menyangkal semuanya, terlebih saat aku melihat tanda di belakang lehernya.
Lelaki —yang mungkin anak buahnya— menaiki tangga diikuti Jafar. Di atas gedung, dari sini aku masih bisa melihat jelas gerak-gerik mereka. Tinggal aku saja yang harus lebih banyak bedoa— semoga mereka tak melihatku dari atas sana.
Ah sial!
Bola mataku hampir saja melompat kala melihat bagaimana orang yang membopong mayat tadi memasukan mayat itu ke dalam toren yang kuyakin diameter lubang pada toren itu tak cukup untuk ukuran badan manusia. Ia memasukan dengan paksa sehingga raut wajahnya sedikit mengerat. Tak kuasa melihat kejadian tak masuk akal ini, kualihkan fokus pada Jafar yang berdiri dengan mempertahankan tangannya yang berlipat di depan dada
Ya Tuhan selama ini dia yang pintar bersandiwara atau aku yang terlalu naif?
Usai melakukan tindakan bejadnya, mereka mengedarkan pandangan. Karenanya aku harus semakin menelungkupkan tubuh dan bergeser agak menjorok agar tak terlihat. Tidak usah terlalu percaya diri karena aku kekasihnya—Ah, ralat! Lebih tepatnya mantan kekasih. Jika dia sudah sekeji itu, kemungkinan dia membunuhku juga ada. Jadi bersembunyi adalah pilihan terbaik. Lupakan adegan Siti Hawa bertemu dengan Adam. Karena yang nampak saat ini bukanlah seorang manusia.
Setelahnya aku tak tau gerak apa yang mereka lakukan. aku hanya mendengar suara langkah berasal dari sepatu mahal itu semakin menjauh, hingga semakin lama derapnya lenyap tak terdengar.
Hari ini mataku terlah berhasil menginstal memori baru ke dalam otak, yang kuyakin memori ini takkan mudah terhapus. Ya Tuhan, aku mulai menyesali kenapa aku mengikuti Jafar sampai ke tempat ini. Tubuhku gemetar hebat. Ini lebih menakutkan dari pada menonton film horor di rumah Fatimah
Aku hendak berdiri, tapi yang terjadi justru aku merasa lututku selemah jeli. Ini mempersulit diriku untuk segera pergi dari tempat sialan ini. Kubawa merangkak kecil, seperti anak kecil yang meraih main, begitu kugambarkan saat aku mencari pilar yang berjarak kurang dari dua meter di hadapanku. Sekuat tenaga aku bangkit, lalu berjalan terseok dengan keringan yang mengucur semakin deras.
***
Banyak pasang mata melihatku dengan halis yang menyatu, beberapa di antaranya berusaha terlihat acuh meski usaha mereka gagal, aku bisa melihat bagaimana mereka ingin tahu apa yang terjadi denganku. Tontonan wanita dengan rambut berantakan ditambah dengan jalannya yang sempoyongan tampaknya menarik bagi mereka. Luar biasa ... bukankah isi di dalam saku mereka cukup untuk memberi mereka hiburan yang lebih menyenangkan?
Padahal kupikir gaya hidup hedon dilakukan mayoritas orang kota akan membuat mereka terbiasa dengan penampilan seperti ini— ya aku memang seperti orang mabuk.
Suara adzan berkumandang, kurebahkan kaki dengan tumit setengah membengkak di sebuah kursi di pinggir trotoar jalan. Bengkak pada tumit adalah indikator berapa jauh aku berjalan. Otakku tak mampu berpikir. Sebelumnya aku berdiri hampir satu jam lamanya di depan jalan, membuat para sopir angkot berhenti menjajakan jasanya. Namun, mereka akan kembali melajukan kemudinya saat melihat wanita ini hanya berdiri mematung degan pandangan kosong.
Suara azan kali ini terasa berbeda. Jika beberapa tahun belakangan ini aku menganggapnya sebagai nyanyian sumbang yang berasal dari toa-toa tua di dalam masjid. Kali ini suara yang terlalu lama kuabaikan itu seakan membalaskan dendamnya akibat abainya diriku.
“Kamu nggak solat neng?” Pertanyaan itu terlalu sering Ibu lontarkan padaku, tepat saat hari itu kuhentikan tungkaiku menginjak ubin surau. Bagaimana bisa seorang yang kotor bisa dengan bangganya menginjakan kaki ke lantai suci itu? sedangkan semakin hari aku semakin jauh dari kata taubat. Dosa yang kuperbuat seperti nikotin yang mencandukan setiap harinya tanpa kutahu bagaimana caranya untuk berhenti.
“Dijah lagi halangan Bu.” Jawaban tak berbobot itu selalu hadir membasahi lisanku ketika pertanyaan itu semakin sering mengguyur waktu senjaku. Atau terkadang aku tak perlu menjawab, memilih langsung masuk ke dalam kamar mandi. Bukan untuk bersuci, melainkan hanya untuk membasahi wajah dan sedikit rambut agar terlihat melakukan apa yang biasanya kulakukan dulu.
Di dalam kamar aku mengunci pintu, duduk di pinggir ranjang dan menatap langit-langit kamar dengan tangan menopang di atas ranjang. Kemudian aku mentertawakan diriku sendiri tanpa ada orang yang melihat.
Suara adzan telah usai. Dari kejauhan aku melihat beberapa orang berjalan ke arah masjid menggunakan baju koko dan kopiah serta sajadah yang disampir di bahu-bahu mereka. Tampilan mereka mengingatkanku pada seorang b******n yang baru saja kutemui. Dulu aku sering melihat Jafar pergi ke surau dengan wajah menunduk kala aku secara sengaja mencuri pandang padanya. Kemudian satu pertanyaan muncul. Apa gerangan yang membuat punai itu berubah menjadi gagak pemakan bangkai?
Aku bangkit dari kursi besi itu. Jangan harap di pendosa ini akan melangkah masuk ke dalam masjid megah bernuansa putih serta corak emak di atas pilar-pilar gagahnya. Sepertinya setan sudah benar-benar menguasai diriku agar tak terbuai dengan panggilan surga yang menyejukkan telinga tapi membakar tubuhku secara tak kasat mata