3. Penyelamatan

1739 Words
Santi kebingungan, semakin cemas itulah yang ia rasakan. Santi berjalan tak tentu arah dan berakhir di tempat parkiran klub malam, tiba-tiba suara seseorang meminta tolong terdengar samar di telinganya. Dia mengikuti arah suara itu yang berasal dari pojok tempat parkir. Santi melihat pria-pria seperti preman ingin melecehkan seorang perempuan. Santi tidak akan membiarkan ini, dia merobek rok sebetisnya dengan asal agar mempermudah dalam perkelahian. Sudah lama dia tidak menghajar orang mungkin terakhir kali saat dia masih SMP, Santi tidak tahu kemampuannya akan sama seperti dulu atau tidak. Pukulan dan tendangan melayang ke wajah dan tubuh tujuh preman itu. Preman yang melihat wajah Santi awalnya tampak terkejut, tapi setelahnya tetap mencoba melawan gadis itu. Ternyata percuma saja bahkan gadis itu sama sekali tak terluka. Preman-preman itu sudah tidak kuat. Wajah mereka menjadi lebam sana-sini dan berdarah. Belum lagi tulang rusuk mereka mungkin sudah patah. Keadaan itu benar-benar mengenaskan. “Woy! Mending kabur daripada mati konyol. Dia itu monster!!!” seru salah satu preman. Lalu, mereka memilih kabur toh tujuh preman itu juga sudah mendapatkan setengah uangnya. Santi yang dikatakan sebagai monster merasa sedih dan ingin menangis, teringat saat SD dan SMP dia sering dibully dan dipanggil monster sehingga saat dirinya memasuki kelas 2 SMP, ia dan sang bunda harus pindah ke desa tempat tinggalnya yang sekarang. Hanya Dhitalah temannya yang tahu karena Santi pernah menolong Dhita, tapi sahabatnya itu tidak memberitahukan siapa pun. Santi kemudian sadar dari kenangan masa lalu dan teringat perempuan yang akan dilecehkan tadi. Santi melihat perempuan itu masih terduduk menyender di tiang, wajahnya tertutupi oleh rambut jadi Santi belum bisa melihat wajah perempuan itu. "Apa mbaknya bakalan takut ya kalau aku dekatin? Atau mending aku pergi aja?" batin Santi. Dia merasa bahwa orang yang melihat kemampuannya pasti akan takut. Setelah meyakinkan diri, ia memilih mendekati perempuan yang tampak kesakitan itu. “Mbak kenapa? Apa perlu dibawa ke rumah sakit?" tanya Santi. Perempuan yang tentunya adalah Sinta itu menengadahkan kepalanya ingin melihat siapa yang menyelamatkannya. Santi tersentak kaget bagaimana bisa wajah perempuan itu mirip dengannya, dia bahkan merasa seperti bercermin. Sedangkan Sinta, meskipun matanya mulai mengabur, dia masih bisa melihat wajah penyelamatnya terkesan mirip dengan dirinya. "Apa gue diminumin obat halusinasi ya, kok cewek itu wajahnya persis gue, tapi kayaknya benar deh, cewek itu saja sampai kaget," batin Sinta yang kepalanya semakin pusing. “Kenapa wajah Mbak persis seperti saya?” Santi mulai bertanya setelah sekian lama tampak syok. “Ada dua kemungkinan kenapa wajah kita sama, lo operasi plastik wajah persis gue atau emang kita kembar,” jawab Sinta. “Saya nggak pernah operasi plastik, Mbak.” “Ya udah berarti kita kembar!” tegas Sinta. Kepalanya sudah semakin pusing bukannya dibantu malah diajak tanya jawab. Santi hanya bengong mendengar jawaban Sinta. “Lo bisa bawa mobil nggak? Anter gue ke rumah sakit," pinta Sinta. “Maaf Mbak saya nggak bisa," jawab Santi sambil menunduk. “Ya udah bantu gue sampai jalan raya, kita cari taksi.” Santi bergegas memapah Sinta lalu mereka pergi naik taksi. *** Seorang pengawal bergegas menghampiri majikannya yang sedang minum-minum bersama teman-temannya. “Maaf Nona, preman-preman itu gagal,” ucap sang pengawal. “Apa?!” Freya melempar gelas minumannya ke lantai. “Kenapa bisa gagal?!” “Preman itu bilang mereka diserang oleh perempuan yang berwajah sama persis dengan Nona Sinta dan kekuatannya juga sepertinya sama hebatnya dengan Nona Sinta, mereka menyebut perempuan yang menyerang itu monster,” jelas pengawal itu. Sebagai seorang pengawal dari Freya, dia sangat tahu Sinta tidak mudah dikalahkan sehingga sang majikan mengambil langkah seperti ini untuk menganiaya Sinta. “Gak mungkin!!! Si wanita iblis itu tidak punya saudara kembar. Pasti preman-preman itu yang lemah, Sialan!” *** Sementara itu Sinta dan Santi sudah turun dari taksi. Santi memapah Sinta sampai ke dalam rumah sakit. “Tolong Dokter, Suster tolong!!!” pekik Santi. Sepertinya Sinta sudah tidak sadarkan diri. Dokter dan Suster yang berada di sana bergegas membawa Sinta ke ruang UGD. Mereka yang berada di UGD baik tenaga medis yang berdinas malam ataupun keluarga pasien yang masih terjaga merasa prihatin melihat keadaan Sinta dan Santi. Bagaimana tidak? Dua orang gadis berwajah sama persis yang pastinya itu kembar identik, memasuki ruang UGD dengan penampilan mengenaskan. Sinta yang sudah tidak sadarkan diri, ada beberapa lebam di wajahnya dan pakaiannya juga kotor. Sedangkan Santi terusan rok bagian bawahnya sudah robek tak karuan, lalu bajunya juga kotor dan ada bercak darah di baju kunonya yang mulai memudar itu. Tentu saja itu darah preman yang terkena tangannya dan tanpa sadar dia lapkan ke baju karena ia belum cuci tangan sama sekali. Santi bergegas ke toilet mencuci tangan dan noda di bajunya. Santi mendengar beberapa orang turut prihatin kepada mereka. “Sus, kasihan sekali itu anak kembar yang datang tadi sepertinya dianiaya.” “Iya di mana ya orang tuanya? Apa mereka belum tau anak kembarnya di rumah sakit?” Begitulah bisik-bisik suster yang berjaga malam di UGD. Santi kembali bergegas ke bilik tempat penanganan Sinta. “Bagaimana keadaan Mbak Sinta, Dok?” tanya Santi. Mereka memang sudah sempat berkenalan satu sama lain, sebelum Sinta kehilangan kesadaran. “Saudari Anda mengalami keracunan obat sehingga kepalanya terasa sangat sakit dan kehilangan kesadaran,” jawab sang Dokter. “Kasihan sekali Mbak Sinta.” Santi menatap sendu wajah perempuan yang sama persis dengannya itu, rasanya dia juga ikut merasakan kesakitan Sinta. “Apa Anda tidak perlu diperiksa?” tanya Dokter. Santi menolak dan memberitahu dirinya baik-baik saja. Dokter juga berkata jika mereka ingin lapor polisi pihak rumah sakit juga bisa membantu. Namun, lagi-lagi Santi menolak, kalau polisi tahu dia menghajar 7 preman bagai monster bagaimana nasibnya. Santi memutuskan menunggu Sinta sadar untuk menebus obat dan biaya rumah sakit. Tadi dia mau membayarnya, tapi ternyata uangnya tidak cukup, orang-orang di sana tambah prihatin. Namun, ia berkata akan membayar besok jika Sinta sudah sadar. Santi akhirnya ikut tertidur di ruang UGD. *** Pagi pun tiba, Sinta sudah tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Tampaklah langit-langit putih, ia segera tahu saat ini berada di rumah sakit. Dia menoleh ke arah samping dan melihat Santi sedang tidur terduduk. "Lah, kembaran gue masih nunggu di sini rupanya, kok Ayah nggak pernah ngasih tau kalau gue punya kembaran, tapi pantas aja dia bisa menghajar preman-preman itu sendiri," batin Sinta. “Santi, aku haus ...,” panggil Sinta dengan suara serak. Sinta sudah mengganti panggilan menjadi aku-kamu karena mengikuti bahasa Santi yang ia yakini sebagai kembaran. Santi langsung terbangun mendengar panggilan itu. “Mbak Sinta sudah sadar toh.” “Iya, cepat ambilkan minum!" titah Sinta. “Siap, Mbak.” Santi bergegas mencari minum dan memberikannya kepada Sinta. Mereka kemudian hanya termenung hanyut dalam pikiran masing-masing, merasa sangat aneh karena tiba-tiba punya saudara kembar. “Mbak Sinta, apa benar kita itu kembar?” tanya Santi memastikan walau sebenarnya dia yakin, tapi mengapa bundanya tak pernah mengatakan dia punya saudara kembar. “Aku yakin, cuman kalau kamu nggak yakin kita bisa tes DNA aja, tapi kalo tes DNA di sini pasti kita diketawain karna udah jelas kalo kita kembar identik.” “Aku yakin kok, Mbak. Cuman Bunda nggak pernah cerita kalau aku punya kembaran,” jawab Santi. “Pasti nama bunda kamu, Ayudia Maheswari?” tanya Sinta. “Loh, kenapa Mbak tau?” tanya Santi. “Lihat di akta kelahiranku, Bunda namanya itu.” Sebenarnya Sinta tidak menyukai sang bunda yang meninggalkannya sehingga ia diasuh oleh pengasuh yang sering menganiayanya, tapi entah kenapa ia tidak membenci Santi. Mungkin karena Santi menyelamatkannya dan entahlah bisa jadi karena ikatan saudara kembar. “Oh begitu, berarti ayah mbak Sinta namanya Faisal Hamzah Hermawan.” “Yap!” “Wah berarti benaran kita kembar ya, Mbak!" pekik Santi riang. Dia tentu senang karena sudah lama ingin punya saudara. “Apa alasan Bunda meninggalkan Ayah?” tanya Sinta ingin tahu apa yang bundanya katakan pada Santi. “Bunda pernah bilang kalau Bunda dan Ayah tidak cocok.” Sinta menghela nafas mulai tahu situasi, bundanya bertengkar dengan sang ayah lalu mengambil Santi dan pergi meninggalkan ayah dan dirinya. Mengapa bukan dia yang dibawa? Sudahlah waktu tidak bisa di putar kembali. “Bunda sudah menikah lagi?” tanya Sinta. Santi kemudian menggeleng. “Kalau Ayah gimana?” tanya Santi. Sekarang Sintalah yang menggeleng. “Kita bisa jadi satu keluarga lagi nggak ya, Mbak?” Sinta menatap Santi sambil berpikir. “Gak tau, coba nanti kita lihat situasi untuk mempertemukan mereka,” jawab Sinta. “Eh, kalung kita sama loh San, inisial SC." “Nama aku Santi Canaria, Mbak.” “Kalau aku Sinta Camelia, benar-benar mirip ya.” “San, kamu lahir jam berapa di akta?” “Aku nggak ingat Mbak, nanti pas pulang aku lihat deh. Memang buat apa sih, Mbak?” “Ya buat mastiin siapa yang kakak, siapa yang adik, tapi karena kamu udah manggil aku Mbak dan aku juga nggak mau jadi adik, keputusannya sekarang aku yang kakak, kamu yang adik, oke?” “Oke, Mbak,” balas Santi semangat. “Pulang yuk,” ajak Sinta. “Eh, astaga Mbak aku lupa, aku 'kan ke kota buat ngerayain kelulusan sekaligus ngehadirin tunangan teman sekelasku. Terus kita pada nginep di losmen, ini udah hampir jam sembilan busnya bentar lagi bakalan berangkat. Teman aku pasti nyariin, gimana nih, Mbak?” jelas Santi panik sambil melihat jam dinding di UGD. Sinta menghela nafas, saudara kembarnya ini terlalu berlebihan. “Ya udah nanti aku anterin pulang, hubungi teman kamu sekarang, bilang kamu nggak akan ikut bus.” “Barang-barang aku di losmen gimana, Mbak?” “Titip dulu aja ke teman kamu atau suruh dia nitip ke resepsionis losmen nanti kita ambil ke sana.” Santi mengangguk dan bergegas mengambil ponselnya. “Mbak ... ponsel aku mati.” Santi kembali panik. Sinta menatap miris ponsel jadul milik kembarannya. “Nih, pakai ponsel aku, tau nomornya, 'kan?” Sinta mengeluarkan ponselnya dalam tas. “Gak tau mbak.” “Bawa charger?” Santi menggeleng. "Charger ponsel jadul kayak gitu mana gue punya," batin Sinta. “Nomor teman kamu biasanya disimpan di SIM card atau di telepon?” tanya Sinta. Santi berpikir lalu mengatakan kalau disimpan di SIM card. Sinta mengambil ponsel Santi lalu menukar SIM card ponsel mereka. “Nih, telepon aja biar cepat." Sinta menyerahkan ponselnya. Namun, setelah beberapa lama Santi memegang ponsel Sinta, tidak ada pergerakan menelepon dari Santi. “Kenapa?” “Mbak, aku nggak tau cara makainya.” Sinta menghela nafas lelah. "Nasib ... nasib ... kok adik kembar gue gini amat," batin Sinta nelangsa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD