11. Wisuda 2

1579 Words
Santi dan Dhita memang sengaja sedikit terlambat ke tempat wisuda agar Santi tidak bertemu sang ayah. Namun, saat di perjalanan, bus mogok dan penumpang yang hanya Santi dan Dhita terpaksa harus turun. “Jadinya benar-benar telat deh,” ucap Dhita “Bagaimana sekarang?” tanya Santi. Santi dan Dhita menoleh ke kanan dan ke kiri tidak ada angkutan umum di sana. “Dhita kita pesan ojek online saja?” “Aku belum pernah coba.” “Aku juga, unduh dulu aplikasinya.” Santi dan Dhita memang sudah sering bermain ke kota. Namun, setiap bepergian pasti akan naik mobil Sinta atau mobil Kaila jadi belum pernah memesan online. Mereka terus berjalan sambil menunggu Dhita berhasil mengunduh aplikasi. Tiba-tiba mereka mendengar suara perkelahian di gang dekat tempat mereka berada. Santi dan Dhita mencoba mengintip, tampak di sana satu pria tampan sedang melawan tujuh pria sangar berbadan kekar. “Kasihan cowok cakep banget dikeroyok. Untung cowok itu pintar berkelahi, tapi nggak sehebat kamu sih, San,” ujar Dhita. “Sebaiknya aku bantu nggak ya?” tanya Santi. “Terserah kamu, tapi hati-hati baju kamu nanti kotor.” Santi mengangguk dia memakai masker agar tidak ketahuan, hal ini juga saran dari sang kakak karena jika wajah ketahuan biasanya akan berbuntut panjang. Santi bergerak menolong pria yang sepertinya kewalahan itu, sudah 4 pria sangar yang tumbang tinggal tiga pria lagi. Hal itu sangat mudah bagi Santi. Gadis ber-dress pink itu berhasil membuat tiga lainnya terkapar dalam satu menit. Pria yang dikeroyok tadi sampai tidak percaya apa yang dia lihat. “Mas, tidak apa-apa?” tanya Santi. Pria itu mengangguk pelan dan Santi pun ikut mengangguk lalu melihat dress yang dia pakai. “Mas, dress aku kotor, tidak?” tanya Santi sambil berputar. Pria itu memperhatikan dress Santi lalu dia pun menggeleng. “Sebaiknya kita pergi dari sini," ajak pria itu dengan suara dingin. Santi dan pria itu kemudian pergi dari gang. Santi menuju ke tempat Dhita berada, pria itu pun mengikuti Santi. “Nih, minum dulu." Dhita memberikan botol air minum dan Santi membuka maskernya lalu meminum air itu. Pria yang di samping Santi mengernyit ketika melihat wajah Santi. Dhita yang melihat itu menyenggol tangan Santi untuk memberitahu pria yang dia tolong masih berada bersama mereka. “Eh, Mas masih di sini, kenapa?” tanya Santi. “Kamu Sinta, kan?” “Mas kenal Mbak Sinta. Aku Santi adik kembarnya Mbak Sinta. Mas namanya siapa?” “Saya Raka.” Pria itu adalah Raka yang dijodohkan dengan Sinta, sampai sekarang pun papanya masih sering membujuknya untuk mau menikahi Sinta. Raka sebenarnya terkejut karena dia tidak tahu kalau Sinta punya saudara kembar yang bernama Santi dan kedua saudara kembar itu sepertinya sangat kuat. Dia sudah melihat sendiri kehebatan Santi, dari rumor juga Sinta sangat kuat sampai dijuluki wanita iblis. Benar-benar berbahaya pikir Raka. “Oh, Mas Raka." Santi mengangguk. "Tunggu, Dhita kita 'kan harus ke tempat wisuda Mbak Sinta kamu sudah selesai unduh aplikasinya?” tanya Santi yang baru ingat tujuannya. “Sudah, ini lagi registrasi dulu, terus habis ini gimana?” tanya balik Dhita, memperlihatkan layar ponselnya. Santi yang melihat itu menjadi berpikir, ia belum pernah belajar dengan sang kakak memesan online di aplikasi sehingga sekarang jadi bingung sendiri. “Bagaimana kalau saya antar? Anggap saja sebagai ucapan terima kasih,” tawar Raka. Dia tidak tega melihat kepolosan dua gadis di depannya. “Boleh tuh Mas,” balas Dhita semangat. Tentu dapat tumpangan gratis, ia tidak perlu keluar uang lagi. “Apa tidak merepotkan?” tanya Santi menatap Raka dengan muka polosnya membuat pria itu berdebar, tidak pernah ia seperti ini sebelumnya. “Tidak. Saya akan mengambil mobil dulu, tunggu di sini.” Raka bergegas pergi. Menatap Santi tidak baik untuk jantungnya. Mereka bertiga pun pergi bersama ke kampus Sinta. *** “Terima kasih ya, Mas Raka,” Santi keluar dari mobil karena mereka sudah sampai di kampus, Raka hanya mengangguk pelan membalas ucapan itu. Setelah Santi dan Dhita keluar dari mobilnya, Raka melajukan pergi meninggalkan kampus itu. Raka melihat Santi dari kaca spion masih melambaikan tangan ke arah mobilnya. Benar-benar lucu pikir pria itu. Dhita mendekati Santi yang sedang tersenyum menatap mobil yang menjauh. “Cie cie naksir, ya? Sepertinya dia juga suka sama kamu. Tanya saja sama Sinta soal Mas Raka, mungkin dia bisa menjodohkan kamu sama Mas Ganteng." Dhita mulai menggoda sang sahabat. “Apaan sih nggak mungkin aku sama Mas Raka lagian aku udah dijodohkan.” “Apa!? Kok kamu nggak pernah cerita?” “Kapan-kapan aja ceritanya.” Santi kemudian memakai maskernya, lalu membeli bunga yang ada di sana begitu juga Dhita, walau gadis itu masih penasaran siapa yang dijodohkan dengan Santi. Keduanya bergegas mencari Sinta, Kaila, dan Anton. *** “Lama banget sih kalian,” keluh Sinta sambil memeluk sang adik. “Iya nih, aku sama yayang Kaila jadi kepanasan nunggu kalian," tambah Anton sembari merangkul Kaila. Gadis itu hanya tersenyum mendengar ucapan Anton. Kaila dan Anton memang sangat dekat, tapi belum ada di antara mereka yang membahas untuk mengganti status hubungan keduanya menjadi sepasang kekasih. Dhita memukul kepala Anton, merasa mual mendengar ucapan teman SMA nya itu. Kenapa juga Kaila mau bersama Anton. “Yang, kepala aku dipukul Kunti,” Anton menyandarkan kepalanya di bahu Kaila. Dhita hampir sama menonjok muka Anton karena mengatakan dirinya kunti, tapi pertengkaran dicegah oleh Kaila dan akhirnya tidak terjadi tonjok-tonjokan di antara mereka. Sementara Sinta dan Santi malah asyik berfoto ria tidak peduli pertikaian sahabat-sahabatnya. Beberapa mahasiswa lain yang ada di sana dan mengenal Sinta tampak terkejut saat melihat Sinta sedang berfoto bersama Santi. Tentu saja karena mereka tidak tahu Sinta mempunyai saudara kembar. Sinta dan Santi sekarang sedang duduk bersama. “Jadi, kenapa tadi telat banget?” tanya Sinta. “Iya tadi busnya mogok, Mbak. Habis itu, aku ketemu cowok yang dikeroyok beberapa pria kekar, terus aku bantu cowok itu. Ternyata cowok itu kenal Mbak Sinta namanya Mas Raka katanya dia pengacara, dia juga yang ngantar aku dan Dhita ke sini." Kebetulan sekali pikir Sinta, dia memang ingin menjodohkan adiknya itu dengan Raka agar dia tidak jadi menikahi pria itu. “San, kamu mau nggak aku jodohkan sama Kak Raka?” tanya Sinta tanpa basa-basi. “Apa!?” kaget Santi. Sinta mengusap kupingnya akibat teriakan sang adik. “Sebenarnya Kak Raka itu orang yang dijodohkan Ayah ke aku, tapi aku nggak mau. Jadi, sebagai adik yang baik kamu harus mau nikah sama pria kaku dan dingin seperti Kak Raka, menggantikan Mbak kamu ini, oke Santi?” jelas Sinta. “Mas Raka nggak kaku dan dingin," gumam Santi seperti tidak terima. “Tuh kamu aja udah bela Kak Raka." Sinta malah menggoda sang adik. “Tapi—" “Enggak ada tapi-tapian nanti aku yang bilang ke Ayah, 'kan kita memang udah mau jujur sama Ayah dan Bunda.” “Bukan itu Mbak, tapi kalau aku menggantikan Mbak Sinta, Mbak juga harus menggantikan aku nikah sama Mas Duda.” “Apa!?” Sekarang Santilah yang mengusap kupingnya karena teriakkan sang kakak. “Sebenarnya aku juga sudah dijodohkan sama Bunda dengan duda satu anak, namanya Mas Devan,” jelas Santi. “Aneh-aneh aja bunda kamu. Pokoknya aku nggak mau menggantikan kamu nikah sama si Devan itu, tapi kamu harus menggantikan aku nikah sama Kak Raka.” “Enggak bisa kalau gitu Mbak, kasihan Bunda yang sudah janji dengan Bu Sarah, ibunya Mas Devan.” Sinta menghela nafas pokoknya dia harus mencari cara agar ia tidak menikahi siapa pun saat ini. “Nanti aku cari cara lain, yang penting kamu kan sukanya sama Kak Raka jadi harus nikah sama dia.” “Aku nggak bilang suka sama Mas Raka.” “Kelihatan banget tahu tuh pipinya sampai merah gitu.” “Apaan sih Mbak godain aku terus kayak Dhita.” Sinta hanya tertawa mendengar ucapan Santi, dia bahkan sudah mengira dari awal saat sang adik mengucapkan nama Raka matanya berbinar sambil tersenyum dan itu tandanya Santi memang tertarik dengan Raka. “Sudah yuk kita cari tempat lain buat foto,” ajak Sinta. Santi pun menurut dan mengikuti Sinta. *** Di tempat lain sepasang suami istri sedang duduk sambil berpelukan, mereka adalah Faisal dan Ayudia yang sudah 21 tahun tidak bertemu, orang tua dari Sinta dan Santi. Sekarang mereka berada di taman kampus, Ayudia sudah meminta maaf lalu menceritakan apa yang terjadi, alasan dia pergi dan juga apa yang dia dengar dari menguping pembicaraan Fariz dan Belinda di restoran beberapa minggu yang lalu. Faisal yang mendengar itu sangat marah kepada saudara kembarnya, bisa-bisanya dia melakukan ini semua hanya karena iri, padahal Faisal selalu membantu Fariz. Faisal akan memutuskan hubungan persaudaraannya dengan Fariz dan menghentikan bantuannya untuk perusahaan Fariz. Faisal juga meminta maaf kepada Ayudia karena tidak mencari istrinya itu dan juga putrinya Santi. Dia terlalu percaya dengan surat yang ditulis oleh Ayudia dan juga kata-kata Fariz. Ayudia menyesal menulis surat itu karena di sana dia mengatakan tidak pernah mencintai Faisal. Padahal sampai sekarang, walau Ayudia tidak pernah bertemu Faisal, ia masih tetap sangat mencintai suaminya begitu pun dengan Faisal, ia juga sampai sekarang masih mencintai sang istri. Mereka berpelukan sambil melepaskan rindu masing-masing. Coba saja waktu bisa diulang kembali mereka pasti tidak akan mau berpisah. Namun, bagaimana lagi, waktu terus berjalan, mereka hanya bisa memperbaikinya di masa depan, keduanya berjanji akan terus selalu bersama sekarang dan selamanya. Pelukan sepasang suami istri itu terlepas ketika suara yang sangat familiar menyapa indra pendengaran mereka. “Ayah?” “Bunda?” Faisal dan Ayudia menoleh ke arah sumber suara. “Sinta ....” “Santi ....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD