12. Kebersamaan

1535 Words
“Ayah?” “Bunda?” “Sinta ....” “Santi ....” Untuk persekian detik mereka berempat hanya terdiam, kemudian Sinta berdehem memecahkan keheningan keempatnya. “Jadi, Ayah dan Bunda sudah baikkan?” Faisal tersenyum mendengar pertanyaan putri sulungnya, sedangkan Ayudia masih sedikit takut menatap Sinta karena rasa bersalah dan juga takut putrinya itu membencinya. “Iya Nak, kami baru tahu bahwa semua sebenarnya hanya salah paham,” jawab Faisal. “Apa Santi boleh peluk Ayah?” “Tentu saja, Sayang." Santi berlari memeluk erat sang ayah. “Santi anak ayah yang cantik pelukannya bisa jangan terlalu erat, rasanya tulang Ayah sebentar lagi remuk.” Faisal sebenarnya tidak tega untuk mengatakan ini, tapi kekuatan putri bungsunya terlalu besar. “Eh, maaf Ayah, aku terlalu senang jadi kelupaan. Ayah tidak apa-apa, kan? Atau kita perlu ke rumah sakit?” Gadis itu jadi merasa bersalah karena terlalu erat memeluk sang ayah. “Tidak apa-apa, Sayang. Ini sih biasa, dulu kakak kamu juga begitu. Maafkan Ayah ya, Nak. Ayah tidak pernah mencari kamu dan Bunda, tapi kamu harus tahu Ayah sangat sayang dan sangat merindukan kamu, Nak.” Faisal mengecup sayang pucuk kepala Santi. “Aku juga sayang dan rindu Ayah,” balas Santi. Air mata bahagia tidak terasa menetes jatuh ke pipinya. Sudah sejak lama dia ingin bertemu dan memeluk sang ayah biasanya ia hanya melihat foto-foto ayahnya saja. Sinta dan Ayudia yang melihat temu haru Faisal dan Santi, tersenyum tulus. Dalam hati, Ayudia ingin sekali memeluk Sinta. Faisal yang mengetahui keinginan sang istri mencoba memanggil Sinta. “Sinta sayang peluk juga bunda kamu, Nak." “Aku nggak mau!” jawab Sinta. Rasanya Ayudia ingin menangis mendengar perkataan Sinta, benar perkiraannya sang putri sulung membencinya, memang dirinya pantas dibenci. Ayah Faisal dan Santi mencoba mengerti Sinta, tidak mau memaksakan kehendak mereka. Namun, keduanya merasa lega setelah mendengar ucapan selanjutnya dari Sinta. “Harusnya Bunda yang peluk aku." Ayudia bergegas menuju sang putri sulung dan memeluknya erat. Sinta pun membalas pelukan sang bunda. “Maafkan Bunda ya Sinta, Bunda salah ... Bunda—" “Aku selalu berusaha memaafkan Bunda dan menerima masa kecilku. Jadi, kalau Bunda benar-benar merasa bersalah, jangan pernah kabur lagi dari Ayah dan aku. Kita mulai hidup baru bersama, ada Ayah, Bunda, aku, dan Santi.” Ucapan Bunda Ayudia terputus mendengar perkataan Sinta. Dia sangat terharu mendengarnya. “Pasti Sayang, pasti kita akan bersama.” Ayudia menciumi seluruh wajah Sinta. “Bunda, aku bukan anak kecil.” “Bunda juga kangen cium kamu, Nak." Wanita itu terus mencium sayang sang putri. “Ya, tapi nggak begini juga Bunda, mana basah lagi.” Sinta merasa wajahnya basah mungkin karena air mata sang bunda. Santi tertawa melihat wajah kakaknya. “Mbak Sinta wajahnya lucu.” Sinta bergegas mengambil ponselnya lalu melihat dirinya di kamera depan. “Bunda, ini lipstik Bunda nempel-nempel di wajah aku. Kita 'kan belum foto bareng.” “Sini-sini Bunda bersihkan, habis itu Bunda dandani lagi.” Ayudia mengajak Sinta untuk duduk. Kemudian, membersihkan wajah sang anak, mengambil alat make up di tasnya, lalu memoleskan ke Sinta. “Wah, Bunda pintar make up ternyata,” ucap Sinta setelah melihat hasil polesan sang bunda. “Dulu pernah belajar sedikit, Sayang.” “Kenapa Santi nggak pernah belajar make up dari Bunda.” “Santi itu senangnya belajar masak dari Bunda.” Sinta hanya mengangguk mendengar penjelasan sang bunda. Bunda lalu mengambil tas rajutan cantik dari dalam tasnya di sana ada ukiran nama Sinta Camelia. “Ini buat kamu, Sayang. Selamat ya, Bunda bangga sama kamu ...." “Wow! Ini Bunda buat sendiri?” Ayudia mengangguk mendengar pertanyaan sang putri. “Terima kasih ya Bunda, ini bagus banget.” Faisal, Ayudia, Sinta, dan Santi kemudian berfoto bersama dan sesuai keinginan Sinta, mereka nanti akan berfoto lagi di studio. Sinta dan Santi mencari tiga sahabatnya. Mereka akan pamit karena Ayah Faisal masih ada kejutan untuk Sinta dan mengajak sekeluarga untuk pergi ke sana. “Hei, ke mana aja sih?” tanya Dhita. “Ketemu Ayah sama Bunda,” jawab Santi. “Mereka bersama lagi? Balikan lagi?” tanya Dhita dan dijawab anggukan semangat oleh Sinta dan Santi. Tiga sahabatnya itu mengucapkan selamat untuk Sinta dan Santi karena keluarga mereka kembali utuh setelah 21 tahun. “Terus kalau Santi pergi, aku pulang sama siapa?" Dhita yang mendengar Santi akan pergi bersama kedua orang tuanya dan Sinta menjadi waswas karena tidak punya teman pulang. “Sama aku aja, nanti diantar sampai rumah, tapi kita makan dulu ya, aku yang traktir deh,” tawar Kaila. “Kaila kamu memang the best." Dhita memeluk Kaila. “Kamu senangnya gratisan aja. Dasar nggak modal Adhit ... Adhit ...." Ucapan Anton lagi-lagi membuat Dhita kesal. Terjadilah kembali pertengkaran antara Dhita dan Anton. Karena tidak peduli, Sinta dan Santi langsung pergi menuju kedua orang tuanya. *** Mobil Ayah Faisal berhenti di sebuah bangunan, Bunda Ayudia, Sinta, dan Santi bingung di mana mereka. “Ayo masuk!” ajak Faisal. Mereka pun keluar dari mobil dan saat masuk, Sinta dan Santi terkejut. “Ini—" “Kejutan! Katanya kamu mau buka restoran dan Ayah sudah carikan bangunannya. Beberapa furniture sudah ayah beli, tapi lainnya terserah kamu yang pilih.” “Ayah, sebenarnya yang ingin punya restoran sendiri itu Santi, aku sih juga ingin mewujudkan impian Santi biar kita bisa usaha bareng.” “Bagus kalau begitu, ini berarti kejutan untuk Santi juga. Eh, nanti yang masak, Santi?” “Iya, Ayah.” Santi langsung memeluk sang ayah. Dia senang jalannya membuka restoran sangat lancar. Ayudia dan Sinta juga ikut berpelukan, jadilah mereka seperti Teletubbies. *** Sekarang keluarga itu sedang menikmati makan siang di sebuah restoran. Akhirnya mereka saling bercerita diawali oleh Faisal dan Ayudia menceritakan kesalahpahaman diantara mereka, lalu semua yang dilakukan Fariz dan Belinda. “Dari awal aku juga udah ingatkan Ayah jangan terlalu percaya sama si tua bangka Fariz. Dasar Om jadi-jadian!” kesal Sinta dan diangguki oleh Santi, walau Santi belum pernah bertemu Fariz, tapi mendengar cerita orang tuanya, Santi tahu orang itu sangat jahat. “Benar! Nanti Ayah akan putuskan semua hubungan dengan dia. Kalian juga harus hati-hati jangan sampai tertipu oleh dia." Faisal mengingatkan. Sinta menunjukkan foto Fariz kepada Santi lalu menjelaskan perbedaan antara ayah mereka dan juga Fariz agar Santi tidak tertipu. Kemudian dilanjut cerita pertemuan Sinta dan Santi tiga setengah tahun yang lalu. Faisal dan Ayudia sempat kaget ada yang ingin mencelakai Sinta begitu jahatnya, untunglah ada Santi yang menyelamatkan, ikatan di antara mereka memang sangat kuat. Setelah selesai makan, keempatnya pergi ke studio, berfoto bersama lalu mencetak dengan ukuran besar foto itu agar bisa dipajang di rumah mereka. *** “Wah! Ini rumahnya Ayah?” tanya Santi setelah mereka tiba di rumah Faisal. Ayudia dan Santi memutuskan untuk menginap. Besok pagi baru mereka beres-beres untuk pindah dan juga mengurus surat kepindahan lalu berpamitan dengan warga desa tempat mereka tinggal. “Iya, Nak.” "Bagus banget ya, Yah.” Beberapa pelayan datang memberi salam. Ayudia mengenal beberapa dari mereka, ada Sari dan Lastri yang dulu ikut membantu mengurus Sinta dan Santi. Mereka lima tahun lebih tua dari Ayudia. Faisal memang mengambil ARTnya dulu setelah sang ayah meninggal. “Mbak Sari? Mbak Lastri?” “Nyonya Ayu ....” Akhirnya mereka pun melepas rindu masing-masing. *** Malam pun tiba, Faisal memeluk erat Ayudia dalam dekapannya, menciumi bibir manis sang istri. Rasanya bagaikan mimpi bisa bersama lagi dengan wanita yang sangat ia cintai. Istrinya bahkan masih tetap cantik seperti dulu. “Mas,” panggil Ayudia menghentikan aktivitas Faisal. “Apa?” tanya Faisal. “Aku dengar Sinta punya reputasi yang buruk karena sering memukuli orang. Apa tidak apa-apa?” tanya Ayudia sambil memeluk Faisal. “Tidak apa-apa karena dia bukan memukul orang sembarangan yang dia pukul hanya orang jahat, mau mencelakainya dan sahabatnya. Sinta itu selalu berpikiran dewasa dalam bertindak. Jangan terlalu percaya omongan orang, Sinta itu anak yang baik bahkan dia mau memaafkanku karena aku tidak perhatian saat dia masih kecil, baru saat dia menginjak kelas tiga sekolah dasar aku mulai memperhatikan dia dan memberikan kasih sayang sepenuhnya.” “Mas kenapa bisa kecolongan seperti itu, anaknya dianiaya Mas tidak tahu?” “Maaf ya Sayang, aku tidak becus mengurus anak. Syukurlah Sinta sangat kuat bahkan kejadian itu berlangsung selama tiga tahun, menurut dokter tidak ada luka serius yang dialami Sinta." “Ini juga bukan sepenuhnya salah Mas, aku juga salah di sini bahkan lebih salah. Syukurlah anak-anak kita memang sangat kuat.” “Ya sudah tidak usah membahas masa lalu lagi.” “Kalau dipikir lagi Sinta memang sangat baik ya, Mas. Aku kira dia akan marah besar dan membenci aku saat bertemu, tapi ternyata tidak. Sinta dan Santi mungkin sangat berbeda, tapi syukurlah mereka tumbuh jadi anak-anak yang baik.” “Benar! Orang-orang yang pernah dipukuli oleh Sinta juga bukan orang yang baik, mereka suka membully dan melakukan kejahatan lainnya. Lagi pula siapa suruh mereka berurusan dengan anak kita yang super kuat.” “Hahaha, iya Mas, anak-anak kita kenapa bisa super kuat seperti itu. Sebenarnya aku ke pikiran sesuatu sih Mas.” “Mas juga menebak sesuatu.” “Nenek itu bukan sih Mas.” “Benar, Nenek yang kita temui saat hujan dulu.” Mulailah sepasang suami istri itu mengenang masa lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD