“Kak Elsa...” sapa siswi-siswi di salah satu meja. Elsa melempar senyum manis untuk mereka. Refleks, senyumnya ia miripkan seperti senyum mantan Adam tadi. Hatinya panas sekali. Konter makanan memang dibagi per angkatan, tapi untuk minuman dan makanan kecil, deretan konter mandiri bayar sendiri berderet rapi di sepanjang tembok. Gadis itu mencari yang paling dekat dengannya. Jarang sekali Elsa dihadapkan pada banyak pilihan seperti ini, ia merasa bingung. “Elsa Evelisse?” Mendengar namanya dipanggil, Elsa insting tersenyum. Bawaan saat bekerja menjadi babu. Di depan Elsa, gerombolan anak kelas tiga berdiri. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Elsa sopan. “Ada yang bisa saya bantu? Hahahaha.” Salah seorang siswa di belakang anak yang menyapa Elsa tertawa terbahak-bahak. Elsa menunduk

