3. flashdisk

1414 Words
Seorang pria berkulit putih, mata yang layaknya bulan sabit dan bibir yang tak pernah menyunggingkan senyum. Kesan dingin, tegas terlihat jelas dari goresan wajahnya. Yuga Sebastian Manendra, CEO dan pemilik Edelweis Park. Yuga terkenal dengan tangan dinginnya karena kesuksesan membangun bisnis dari nol. Namun, kesuksesan bisnisnya saat ini berbanding terbalik dengan kisah hidupnya. Menikah pada usia muda dengan perempuan yang begitu ia cintai yang menemaninya sejak ia meniti karir. Hingga memiliki dua anak seolah melengkapi hidupnya. Hanya saja Mira meninggal setelah melahirkan anak keduanya. Cherryl Maylafayza Manendra, gadis cantik berambut panjang yang kini berusia delapan tahun dan Chelo Melviano Manendra, yang kini telah berusia lima tahun. Keduanya hadir sebagai pelengkap kehidupan pria itu. Si sulung gadis ketus dan dingin sikapnya sama seperti sang ayah. Sementara Chelo, si bungsu yang sering kali membuat gara-gara. Pagi ini seperti biasanya Yuga telah mempersiapkan sarapan untuk kedua anaknya. Meskipun ia memiliki pelayan, pria itu selalu menyempatkan diri untuk menyiapkan sarapan bagi Cherryl dan Chelo. Ia ingin menjadikan pagi sebagai sarana untuk tetap bisa mendekatkan diri engan kedua orang yang paling ia kasih itu. Sang CEO menyiapkan roti bakar dengan isian selai cokelat, juga membuat s**u untuk sarapan pagi. Sementara ia menyiapkan roti tanya selai yang akan ia santap dengan olesan butter. Saat tengah menata sarapan di atas meja, si sulung telah rapi dan berjalan menghampiri sang ayah. Ia mencium kedua pipi sang ayah. "Adik kamu udah bangun?" tanya Yuga. Cheryl mengangguk seraya berjalan ke arah meja makan. "udah, lagi dimandiin Mbak. Pi .., nanti Cheryl pulang cepat. Soalnya, kelas dipakai untuk anak kelas enam." "Iya, nanti ayah bilang Pak Ahyat untuk jemput kamu lebih cepat." "Papi udah bilang ke Bu Indah, kalau aku mau minta les privat?" tanya si sulung sambil mulai meneguk s**u coklat yang telah dibuatkan oleh sang ayah. "Papi udah bilang sama Bu Indah, cuma katanya dia belum ada waktu untuk sekarang ini karena juga ngajar di beberapa tempat. Tapi Bu Indah bilang dia punya temen yang mungkin mau ngajarin kamu. Kamu mau kan?" Yuga bertanya kemudian berjalan dan duduk menghampiri si sulung. Cheryl mengangguk. "Boleh siapa aja asal ngerti pelajarannya Ceri. Soalnya aku ketinggalan banyak Pi, di mata pelajaran matematika." Yuga kemudian membeli lembut kepala putrinya. Iya tak pernah menekankan anak-anaknya harus mendapatkan nilai yang tinggi. Ia takut melakukan itu karena sejak kecil Cherryl telah ditinggalkan oleh sang ibu. Yuga tak pernah marah dia mengikuti semua permintaan si cantik. Lagi-lagi semua ya lakukan karena merasa begitu iba pada buah hatinya itu, sejak kecil ia kekurangan kasih sayang. Karena Yuga pun sebagai Ayah harus membagi waktunya dengan urusan kantor dan tak bisa terlalu banyak menghabiskan waktu di rumah. Meski Yuga tak menekankan bahwa anak-anaknya harus mendapat nilai yang tinggi Yuga tetap menerapkan aturan yang ketat di rumah terutama perihal kejujuran dan sopan santun. Yuga mengajarkan anak-anaknya untuk mematuhi aturan-aturan yang telah ia buat. "Papi!" Seruan nyaring terdengar, itu adalah Chelo anak bungsu Yuga yang kini telah selesai memakai seragam dan siap untuk berangkat ke sekolah. Anak berusia enam tahun itu berlari lalu memeluk sang ayah. "Pagi papi." "Pagi sayang," sapa Yuga. Setelah memeluk sang Ayah, Chelo duduk di kursinya tepat berada di samping sang kakak. Keduanya kini berhadapan dengan Yuga, tanpa basa-basi Chelo segera berdoa kemudian menyantap s**u yang telah dibuatkan oleh ayahnya. "Enak?" tanya Yuga dan Chelo mengangguk, tersenyum pada sang ayah seraya menunjukkan ibu jarinya. Setelah sarapan Yuga segera mengantar ke dua anaknya ke sekolah. Satu mobil berisi Yuga dan kedua anaknya dan mobil yang lain adalah sopir dan Mbak Nina yang akan menemani Celo di sekolah. Mobil terhenti di depan sekolah, Yuga turun mengantar Celo yang kini berada taman kanak-kanak dan Cherryl yang kini berada di kelas 3 sekolah dasar. Anak laki-laki itu menggandeng tangan sang ayah dengan riang. Sesekali ia melompat senang karena sang ayah hari ini bisa mengantarnya ke sekolah. Langkah mereka terhenti di depan pagar. Yuga merapikan rambut si bungsu. "Belajar yang serius ya sama Bu guru." Chelo anggukan kepala. "Siap, Pi!" Yogi menoleh ke sisi kanannya, di sana Cheryl berdiri menunggu gilirannya untuk mencium tangan sang ayah. Cheryl segera mencium tangan Yuga. Pria itu mengecup kening dan kemudian mengacak rambut si sulung. "Hati-hati ya, belajar yang serius ya sayang?" "Iya Pi," jawab Cheryl singkat kemudian berjalan ke dalam dengan mengikuti langkah Chelo masuk ke dalam sekolah. Yuga memerhatikan sampai kedua buah hatinya itu berjalan melewati pintu masuk. Setelah ia yakin kedua anaknya sampai dengan selamat ke kelas, Yuga melanjutkan kembali perjalanan menuju kantor. *** Pagi ini di rumah Nenek Ayu, Vhi tengah duduk diam di dalam kamar. Sejak kemarin pulang, Vhi sama sekali tak diperbolehkan ke luar dari rumah dan bahkan dijaga ketat oleh para pengawal uang memang sengaja ditugaskan untuk menjaganya. Sesekali ia menghela napas karena merasa bosan. Berbeda jika ia berada bersama sang kakak pagi-pagi begini ia sudah sibuk membantu Iva mempersiapkan sarapan dan juga membantu mengurusi Jeno yang akan berang kat sekolah. Pintu diketuk, tak lama kemudian pintu terbuka memperlihatkan sosok Nenek ayu, usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, namun, ia masih terlihat awet muda dan cantik. Semua itu krena ia rutin latihan yoga dan juga wushu yang selalu ia lakukan setiap seminggu dua kali secara bergantian sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan pelatih pribadinya. Nenek Ayu berjalan mendekati sang cucu, lalu duduk di damping Vhi. "Kamu itu kapan mau nurut sama nenekmu ini? Kamu sudah enggak ada siapa-siapa. Nenek cuma ingin kamu sukses mengurus perusahaan." "Ada Rei yang bisa urusi lagipula aku enggak berbakat urus perusahaan." Vhi menjawab dnegan jawaban yang biasa ia berikan. "Dia itu bukan keluarga kita." "Rei cucu kakek sama aja, dia saudara dan keluarga. Lagi pula nenek enggak kasihan sama dia? Dia juga sudah enggak ada orang tua. Nasibnya sama kaya Vhi. Apa bedanya?" Nenek Ayu tersenyum, "Beda dong kamu cucu dari pernikahan sah nenek dan kedua orang tuamu. Dan orang tua gadis itu anak haram hasil perselingkuhan kakekmu." Lagi Nenek ayu mengingatkan Vhi merasa mungkin sang cucu lupa asal muasal rei. "Dia tetap cucu kakek Nek, itu yang selalu kakek tekankan ke Vhi," jelas Vhi. "kamu sepertinya terlalu lelah karena terlalu banyak kerja di rumah kumuh itu. Istirahat, nanti Mbak Ani yang akan bawakan sarapan." Nenek Ayu jelas tak ingin memperpanjang pembicaraannya dnegan Vhi. Ia enggan membahas tentang Rei yang terus mengingatkan tentang kenangan buruk yang ia rasakan dulu karena suaminya. Menghindar adalah al yang paling benar menurutnya. Wanita mana yang tak terluka karena diduakan? Dan itu menjadi dendam yang seolah tak bisa disembuhkan. Wanita itu berjalan turun terlihat jika ia kesal atas perdebatannya dengan Vhi yang selalu berulang. Hanya saja ia coba tahan diri untuk marah karena tak ingin jika sang cucu kembali melarikan diri karena merasa tak nyaman. Sampai di ruang tamu depan ia bertemu dengan Kuki yang berdiri menunggu Vhi. Ia memang berniat menemui sahabatnya itu sebelum berangkat bekerja. "pagi sekali kamu ke sini Kuki" tanya Nenek Ayu. kuki berjalan mendekat lalu mencium tangan Nenek Ayu. "Iya Nek, kebetulan kemarin aku baru datang dan baru ada waktu hari ini sebelum ke kantor. Vhi ada Nek?" "Ada, silahkan naik," ucap sang Nenek mempersilahkan. "Baik permisi Nek," ucapnya kemudian berjalan ke atas menuju kamar Vhi. Ia segera mengetuk pintu ketika telah sampai di depan kamat sahabatnya yang dengan segera mempersilahkan masuk. Kuki membuka pintu lalu terlihat Vhi yang kini tengah sibuk dnegan ponsel di tangannya. Kuki berjala menghampiri lalu duduk di samping Vhi, ia merogoh kantung kemejanya dan melemparkan sebuah flashdisk. "Itu apa sih isinya? Sampai kamu minta Mas Jun yang nyiapin." Vhi menatap kanan dan kiri lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Kuki. "Ini film 21++ tanpa sensor. Ajib," bisik Vhi kemudian menggenggam erat Flashdisk miliknya. "Aih gue kira apa gitu sampai lo ngotot banget nyuruh gue yang bawa ke sini," kesal Kuki. "BTW, cewek gendut yang pake kostum setan itu pacar lo?" Vhi memukul bahu Kuki sedikit keras buat sahabatnya itu mengaduh. "itu Kakak gue, satu kakek tapi beda nenek." "Keren juga kakek lo," kekeh Kuki buat Vhi menatap dengan kesal. "Kesian hidupnya di bikin stuck sama nenek, sampe cari kerja susah dia juga di buat susah masuk SMU makannya kakak gue itu enggak lulus SMU." Vhi mengucapkan dengan wajah yang marah dan kesal. Kuki terdiam dalam hatinya merasa bersalah karena telah mencemooh Rei. "Sorry." "Enggak apa-apa, karena itu dia kerja serabutan untung masih ada rumah punya ayahnya bisa buat nambah pemasukan. Dia kerja di rumah hantu. Buat tambahan dia juga kerja di toko roti. Hidup kita terlalu nyaman lah pokoknya." Vhi menjelaskan dengan tatapan yang nanar. Krena ia merasa benar-benar iba dan merasa harus melindung Rei.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD