"Orang yang terlihat kuat adalah orang yang sebenarnya paling rapuh."
*****
Katrina melewatkan begitu saja ocehan ketiga sahabatnya yang tiba-tiba jadi berisik seperti mesin diesel. Pikirannya benar-benar kacau karena kejadian tadi. Untuk pertama kalinya Katrina menangis di depan publik dan ini di sekolahan. Dan sikap Aldi tadi kepadanya seakan menunjukkan kalau mereka memang ada hubungan. Ah, haruskah Katrina membuat poster yang besar yang berisikan klarifikasi hubungannya dengan Aldi? Ia sungguh tidak berniatan menjalin hubungan lebih dari sekadar teman yang nanti akan menjerumuskannya ke dalam rasa sakit karena mereka berbeda. Keyakinan mereka tidak sama. Jika Aldi setiap hari salat, Katrina setiap minggu sembahyang. Katrina menggelengkan kepalanya, sadar pemikirannya terlalu jauh berkelana. Sebarusnya ia tidak usah memikirkan itu. Lagipula Aldi mungkin hanya ingin tenar dan disebut pangeran berkuda putih yang menolong seorang putri playgirl yang sedang dipermalukan. Dengan begitu nama Aldi akan dikenal cepat di Merah Putih. Mengapa itu tidak terpikirkan oleh Katrina sejak tadi?
"Cih! Kalau benar dia manfaatin gue, awas aja!" geram Katrina menyuarakan pikirannya.
Ketiga sahabatnya yang tadinya masih terus bicara, kini berhenti dan menatapnya bingung. Sedari tadi mereka memang menunggu Katrina bicara, namun bukan kata itu yang mereka tunggu.
"Siapa yang manfaatin lo? Aldi?" tanya Cellyn menegaskan.
Katrina memasang wajah malasnya. "Jangan sebut nama itu lagi. Gue eneg."
Naya mengambil bolpoin dan memukulkannya ke kepala Katrina. Cewek itu meringis karena pukulan Naya tidak tanggung-tanggung. "Bilang eneg tapi pelukan di bales juga."
Naya benar, Katrina memang membalas pelukan Aldi tadi. Semata-mata karena ia memang membutuhkannya untuk menenangkan diri, tidak lebih dari itu.
"Beruntungnya guru rapat dan nggak lihat kalian." Cellyn yang tadi menegakkan tubuhnya kini bersandar pada kepala kursi. "Udah kayak di drama yang gue lihat. Ati-ati, benci sama cinta cuma beda awalannya. Habis b terus c. Habis benci terus cinta. Mampus lo!"
Mereka bertiga tergelak, begitupun Edel yang belum berpendapat. Katrina mendengus, sahabatnya memang j*****m luar biasa. Tidak bisakah mereka memihak Katrina?
"Setau gue, Aldi emang cowok yang tulus. Ngapain dia nolong lo terus kalau tau lo galak kayak gini? Kalau lo masih bersikap jutek ke dia, nggak punya hati namanya." Sekalinya bicara, Edel langsung membuat Katrina berpikir keras. Sama saja, tidak ada cowok yang benar-benar tulus menurut Katrina. Ia bilang begitu karena sudah katam dengan sifat para mantannya yang ujung-ujungnya sama saja. Ada yang mengajaknya pacaran karena ingin tenar, karena ingin diakui ke-playboy annya, dan ada yang ingin nyosor terus seperti Alan. Tidak ada yang benar-benar menyukainya, mereka mempunyai alasan yang membuat Katrina muak.
"Ya mungkin dengan cara itu dia bisa dikenal seluruh sekolah. Panjat sosial mungkin?" kilah Katrina sambil mengendikkan bahu. Ketiga sahabatnya itu sudah gemas dengan kelakuan Katrina sampai mereka ingin mencakarnya. Apa Katrina tidak sadar juga kalau ia terlalu dekat dengan Aldi?
Edel menepukkan tangannya ke pundak Katrina. "Gue turut bahagia kalau lo mau menghargai kebahagiaan seseorang. Terlepas lo suka atau nggak sama orang itu." Ia kemudian mengambil tasnya di kursi dan berdiri. "Keluar yuk. Ke manapun boleh, gue lagi bosen di rumah."
"Ayok!" sahut Naya nyaring. Cewek itu sudah lupa dengan pembahasan mereka tentang Katrina dan Aldi.
Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Mereka sengaja mengulur waktu pulang karena ingin membicarakan hal tadi pagi.
"Gue harap lo nggak menyesal Kar," ucap Cellyn di dekat telinga Katrina. Ia hanya tidak mau Katrina bernasib sepeeti dirinya, yang salah memilih cowok dan jatuh ke cowok tidak benar.
Katrina mengekor malas di belakang sahabatnya yang saling melempar candaan sembari menuju parkiran. Hari ini, mereka naik mobil Naya. Mengebut di jalan dengan Naya yang kegirangan karena menurutnya itu seru. Berakhir di suatu butik milik tante Cellyn yang ada di salah satu toko mall itu. Katrina sungguh tidak berselera memilih baju-baju yang biasanya sangat menarik perhatiannya. Ia ingin pulang dan tidur, itu lebih baik. Bahkan dia hanya mengangguk ketika tante Dina menawari mereka baju. Tidak biasanya Katrina menerima begitu mudah model baju jika tidak sesuai pilihannya sendiri. Ia mendudukkan diri di kursi empuk panjang tanpa sandaran di toko. Ada bapak-bapak masuk bersama seorang wanita yang jauh lebih muda daripada bapak itu. Katrina mengeryitkan keningnya, pasti itu wanita yang hanya mau uangnya saja. Ia memutar bola mata malas mendengar obrolan mereka yang terlalu intim menurutnya.
Katrina sengaja berjalan mendekat ke arah kedua orang itu. Ia pura-pura memilih pakaian. "Bajunya bagus banget. Tapi sayang, udah produk lama. Pasti udah banyak dicoba orang." Katrina tau wanita itu meliriknya sinis seakan kalimat Katrina menyinggungnya.
Sebelum pergi dari toko, Katrina sempat melihat wanita itu dari atas sampai bawah dengan pandangan menilai. Siapapun keluarga bapak itu di luar sana, pasti mereka sangat sedih melihat kelakuan kepala keluarganya seperti itu.
"Lo kenapa sih?" tanya Naya sambil melihat ke belakang tempat dua orang dengan perbedaan usia yang sangat jauh itu bercengkerama.
"Gue heran sama mereka. Gue yakin wanita itu hanya memanfaatkan bapak itu."
Cellyn jadi tertarik untuk melihat ke belakang. Ia seperti kenal dengan bapak itu, tapi Cellyn lupa siapa tepatnya. Sudah lama sepertinya ia bertemu orang itu, saat kedua orang tuanya memintanya ikut saat acara pertemuan bisnis. "Kayaknya gue pernah ketemu sebelumnya sama bapak itu, tapi lupa udah lama soalnya."
"Kolega bisnis?" tanya Edel.
Cellyn mengangguk menyetujui. Mereka memutuskan untuk langsung pulang saja karena pakaian itu sudah cukup menguras dompet mereka. Sampai di parkiran, Katrina melihat siluet seseorang yang tidak asing berada di belakang tembok di samping mereka. Setelah memastikan teman-temannya sedikit jauh, Katrina mengintip dari balik tembok itu. Ia menutup mulutnya melihat pemandangan di depannya. Aldi dipukuli oleh bapak-bapak yang tadi dilihatnya di toko baju tante Cellyn. Aldi sama sekali tidak berkutik beda dengan tadi pagi di sekolah. Entah kenapa, Katrina merasa iba. Katrina ingin menolong namun perkataan yang keluar dari mulut bapak itu lebih mengejutkannya.
"Pulang sana urus mamamu! Papa nggak mau kamu ikut campur sama urusan papa!"
Aldi terlihat berdiri dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Sempat mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Jadi urusan bisnis yang Papa maksud ini? Keluar bersama w************n?"
Satu tamparan diterima Aldi dan itu membuat wajahnya lebih parah dari sebelumnya. Napas orang yang menyebut dirinya Papa Aldi itu terengah sambil menatap Aldi merasa terganggu.
"Anak tidak berguna." Tepat setelah itu, Papa Aldi masuk ke dalam mobil. Buru-buru Katrina menarik diri supaya tidak terlihat.
Ketika keadaan sudah aman, Katrina keluar dari tempat persembunyiannya dan melihat Aldi masih di sana dengan menatap ke arahnya.
Mampus, batin Katrina.
Ia pura-pura tidak melihat kejadian tadi dan berlari menyusul teman-temannya.
Semoga saja Aldi nggak ngamuk karena gue ketahuan ngintip.
Katrina tidak mau berurusan dengan Aldi lagi, ya, tidak mau.
*****
Aldi baru akan melajukan sepeda motornya ketika lampu sudah berubah hijau. Namun hal itu ia urungkan karena melihat sosok papanya menyalip dengan seorang cewek yang diketahui Aldi sebagai wanita bayaran papanya. Bunyi klakson membuat Aldi sadar kalau dia masih berada di tengah jalan dan sedang ditunggu pengemudi lainnya untuk segera melajukan kendaraannya.
Aldi menekan gas motornya hingga kendaraan itu melaju membuntuti mobil papanya. Mobil itu memasuki kawasan perbelanjaan elit di Jakarta. Aldi menghentikan motornya dan menepi ke parkiran motor untuk menaruh kendaraannya. Ia mengendap-endap di pinggiran mobil untuk mengamati papanya. Yang Aldi tau sebelum kedua orang itu masuk ke mall, mobil mereka berada di paling pojok. Aldi tidak mau mengikuti mereka ke dalam, itu akan meningkatkan kadar amarahnya. Ia akan menunggu di sini dan menemui papanya setelah mereka keluar.
Tidak lama setelah Aldi berjalan bertolak dari tempatnya saat ini untuk duduk di kursi kosong di sana, ia melihat sebuah mobil sport mencari tempat parkiran. Mobil itu adalah mobil yang dikendarai Naya dan ketiga sahabatnya. Di sana ada Katrina yang sedang memakai jaket untuk menutupi lengannya yang tidak tertutup karena ia memakai baju tanpa lengan. Melihat Katrina, Aldi jadi ingat kejadian tadi pagi di sekolah. Ia tidak tau dapat perintah dari mana untuk memeluk Katrina padahal ia tau di sekolahnya dan pasti di semua sekolah dilarang melakukan hal seperti itu. Memeluk Katrina adalah refleks yang dilakukan Aldi karena ia tau gadis itu butuh perlindungan. Entah kenapa tadi pagi, di mata Aldi sosok Katrina menjadi sangat lemah. Padahal biasanya gadis itu terlampau ganas jika berhadapan dengan siapapun.
Rombongan Katrina keluar dari mobil, Aldi buru-buru melipir karena ia tidak ingin meladeni Katrina jika saja cewek itu tidak terima dengan perlakuannya tadi pagi. Tampaknya Aldi harus sabar menunggu di sini. Ia harus membuat papanya sadar dan inilah waktunya. Jika biasanya Aldi hanya diam dengan perlakuan papanya karena perintah mamanya, kali ini Aldi tidak akan melaksanakan perintah itu. Bagaimanapun, mamanya adalah seorang wanita yang tetap akan sakit hati melihat suaminya tidak acuh dan malah mengencani wanita baru. Saat dewasa nanti, Aldi tidak akan seperti mamanya. Ia akan menghargai wanita karena mereka begitu berharga.
*****
Kesabaran Aldi menunggu satu jam di parkiran membuahkan hasil saat papanya kembali ke parkiran bersama wanita dengan baju kurang bahan itu. Tidak mau membuang waktunya, Aldi melangkahkan kaki dengan cepat sebelum papanya masuk ke dalam mobil.
"Apa tidak cukup Papa menyakiti fisik Mama? Sekarang ingin menyakiti hati mama lagi?" Mendengar suara Aldi, lantas papanya menoleh dan langsung mengeraskan wajahnya.
"Diam kamu! Tugas kamu hanya sekolah," kata papanya tegas.
Aldi tidak menyangka, tugasnya hanya sekolah katanya? Lalu siapa yang selama ini menjaga mamanya? Apakah ia hanya dihargai sebatas itu oleh papanya? Ke mana papanya memangnya saat mamanya sakit dan Aldi harus mencari taksi di tengah hujan karena tidak ada mobil di rumah?
"Pa, selama ini Aldi diam karena menghargai Papa. Tapi bukan berarti Aldi nggak berhak untuk berpendapat. Apa yang Papa lakuin udah di luar batas. Kalau memang Papa nggak mau berumah tangga sama Mama lagi, silakan Papa pergi bersama wanita simpanan itu dan jangan menyakiti Mama."
Aldi mendapatkan tamparan keras di pipinya. Tidak hanya itu, Papanya hampir memukul wajahnya tapi tangannya berhenti begitu saja di udara, sedang menahan marah yang meledak-ledak. Bagaimanapun ini di tempat umum dan ia tidak mau menanggung risiko ada orang yang melihatnya memukul anaknya.
"Pulang sana urus Mamamu! Saya nggak mau kamu ikut campur sama urusan saya!"
Aldi terlihat berdiri dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Sempat mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Jadi urusan bisnis yang Papa maksud ini? Keluar bersama w************n?"
Satu tamparan diterima Aldi lagi dan itu membuat wajahnya lebih parah dari sebelumnya. Napas orang yang menyebut dirinya Papa Aldi itu terengah sambil menatap Aldi merasa terganggu.
"Anak tidak berguna." Tepat setelah itu, Papa Aldi masuk ke dalam mobil. Ada hal yang masih menjadi rahasia mengapa ia berbuat demikian. Bukan tanpa alasan, tapi Aldi belum saatnya mengetahui hal itu.
Aldi meninju tembok di sampingnya hingga tangannya terluka dan mengeluarkan darah. Ia merasa tidak berguna, bahkan menjaga kebahagiaan mamanya saja ia tidak bisa. Aldi siap jika harus menopang hidup mamanya jika papanya mau bercerai. Tapi laki-laki itu tidak mau menceraikan mamanya, itulah yang menjadi penghalang.
Tak sengaja matanya menangkap siluet orang yang berdiri di balik tembok. Sepertinya dia mengetahui semua yang terjadi di sini. Aldi menoleh dan melihat Katrina berdiri di sana dengan tampang terkejutnya sambil meneliti kondisinya. Ck, sepertinya Aldi memang diharuskan berurusan dengan cewek itu. Padahal ia tidak mau siapapun tau kehidupan pribadinya apalagi Katrina, Aldi yakin cewek itu pasti tidak tinggal diam.
Katrina buru-buru mengambil seribu langkah untuk kembali bergabung bersama-sama dengan sahabatnya. Namun perkataan Aldi selanjutnya membuatnya berhenti.
"Sudah seharusnya lo bayar apa yang lo dengar."
Katrina pura-pura memasang wajah bingung seakan tidak tau ke mana pembicaraan Aldi mengarah. "Bayar apanya, orang gue nggak dengar apa-apa."
Aldi berdecak, Katrina licin seperti belut saja. "Gue tau lo di situ dari tadi. Gak ada jaminan lo bakal tutup mulut. Jadi, gue punya 4 permintaan yang harus lo bayar."
Katrina melotot tidak terima. Lagian, apa-apaan seorang Katrina diperintah seenak jidat seperti itu. "Lo kira gue babu lo apa!"
Aldi melangkah maju. s**l, Katrina menyesal tadi tidak ikut bersama sahabatnya. Mereka mungkin belum sadar kalau Katrina tidak bersama mereka. Seiring kaki Aldi melangkah maju, Katrina memundurkan langkahnya. Entah kenapa sorot mata Aldi yang dilihatnya saat ini berbeda. Terasa asing dan lebih mengerikan.
Sampai kaki Katrina tersandung batu s****n yang ada di belakangnya dan ia terjatuh, baru Aldi menghentikan langkahnya. Ia menunduk untuk mensejajarkan wajah dengan Katrina. Sedangkan gadis itu menahan napasnya entah karena gugup atau memang yang lainnya.
"Di dunia ini nggak ada yang gratis kalau lo lupa. Semua mempunyai nilai, termasuk pembicaraan yang lo dengar tadi. Jadi, gue punya permintaan untuk bayaran itu. Salah lo sendiri yang nguping. 4 permintaan, siap-siap," ucap Aldi sarat nada otoriter. Ia mengintimidasi Katrina yang mendongak untuk melihat wajahnya.
"Kebanyakan tau nggak! Kenapa nggak tiga aja sih!" Spontan kata itu terluncur begitu saja. Padahal kalau bisa, tidak usah ada permintaan seperti itu.
Aldi menggeleng dan menegakkan tubuhnya kembali. "Karena gue bukan jin botol."
Katrina mendengus, dasar cowok s****n.
"Jangan coba-coba manfaatin gue ya!" seru Katrina keras. Aldi malah tertawa, menakutkan. Seperti sisi lain yang terpendam kini ditunjukkan di depan Katrina.
"Terserah gue." Aldi mengulurkan tangannya untuk membantu Katrina berdiri. Mau tidak mau gadis itu menerimanya dan menghentakkan kaki kesal begitu berdiri. Ia benci Aldi, bahkan di saat pertama kali berurusan dengan cowok itu, Katrina sudah mengibarkan bendera perang. Hanya saja, Katrina membutuhkan Aldi saat itu.