Sakit

1138 Words
Ungkapan Pak Martin tentang putrinya yang belum makan sejak kemarin membuat hati Rayza terkekang rasa bersalah. Rayza bahkan tak memiliki bahan makanan apapun di apartemennya. Karena sudah lebih dari satu bulan apartemen itu tidak ditinggali olehnya. Sungguh kini Rayza mengkhawatirkan Qiran. Dengan kecepatan kilat Rayza mengendarai Pajero sport Dakar miliknya menuju apartemen. Sesampainya di basemen, dia memarkirkan mobilnya dengan mulus kemudian berlari menuju unit apartemen. Sungguh dia tak ingin terjadi sesuatu pada Qiran. Sesampainya di apartemen, rasa gugup semakin menyandera perasaannya. Sungguh jantungnya berdegup kencang saat melihat lampu apartemennya padam. Mungkinkah Qiran tertidur hingga tak menyalakan lampu? Hatinya penuh tanya. CEKLEK... Suara saklar lampu yang ditekan berbunyi cukup nyaring karena suasana saat ini begitu sunyi. Dan netra hitamnya segera menangkap sosok berwajah pucat tertidur di atas sofa. Gadis itu tampak tak berdaya dengan wajah putih yang tak merona sama sekali. Rayza pun melihat dengan jelas keringat membasahi wajah sang gadis. Dengan perlahan Rayza mulai meletakkan telapak tangannya ke kening gadis yang tak berdaya itu. Dan hatinya semakin diselimuti rasa khawatir saat merasakan suhu dingin menyentuh dermanya. "Ya Allah... Dingin sekali," gumam Rayza. Pria itu segera berlari mengambil tas kerjanya. Mencari sebuah stetoskop di dalamnya. Beruntung stetoskop itu selalu dia letakkan dengan rapi dan tepat sehingga mudah dia jangkau. Dengan cepat pria itu memasang stetoskop di telinganya dan saat dia akan mengecek kondisi Qiran. Rayza menatap pakaian yang dikenakan gadis itu. Dress selutut berwarna hitam... Melihat pakaian yang dikenakannya, membuat Rayza mendengus kesal. Sungguh Rayza bingung mau mengecek perut Qiran lewat mana. Tidak mungkin tangannya menelusup ke dalam rok gadis itu demi menggapai area perut. Rayza sungguh tak bisa membayangkan jika gadis itu bangun dengan kondisi yang kurang ajar menelusup di dalam roknya. Rayza yakin gadis itu pasti berteriak dan kembali mengatainya sugar Daddy. Ugh menyebalkan... Membayangkannya saja membuat Rayza muak. Tapi di sisi lain Rayza khawatir melihat kondisi Qiran yang menyedihkan. Dengan telaten Rayza membopong Qiran ke kamarnya. Dan dia segera memasang infus nutrisi ke tubuh Qiran. Rayza pikir, Qiran pingsan karena maag yang dideritanya. Bahkan mungkin gadis ini sakit karena kelaparan. Usai memasang infus nutrisi pada Qiran, Rayza segera pergi ke supermarket terdekat untuk membeli bahan makanan. Dia berniat membuatkan bubur untuk Qiran. Dengan gerakan cepat Rayza mengambil beras organik, sayuran dan daging segar untuk dibeli. Para pengunjung pasar swalayan banyak yang menatapnya kagum. Karena jarang sekali pria berbelanja bahan makanan. Biasanya para pria hanya mengetahui hal beres saja. Makan tinggal makan. Usai membeli bahan makanan, Rayza mengintip kondisi Qiran. Hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Seharusnya tadi dia memastikan kondisi Qiran, bukannya malah memberi perkerjaan rumah pada gadis itu. Tapi yasudah lah. Semua sudah terlanjur terjadi. Dan saat ini dia harus fokus untuk kesembuhan wanita yang diam-diam dan tanpa disadari sudah mencuri hatinya. Sesampainya di dapur, Rayza terbelalak kaget melihat kekacauan di sana. Bahkan dia melihat bungkus spageti yang sudah kosong. Hal yang membuatnya semakin khawatir adalah tak ada piring kotor. Itu artinya Qiran memakan spageti mentah-mentah. Ada rasa kesal dan iba yang bersarang dalam hatinya. Sungguh dia kesal karena gadis itu makan makanan mentah. Tapi dia juga iba melihat kondisi Qiran. Mungkin saja gadis itu terpaksa memakan spageti mentah karena tak bisa memasak. Akhirnya Rayza hanya bisa menghela nafas beratnya. "Dasar malas. Makan spageti ga mau masak. Kalo ga bisa masaknya kan bisa lihat cara memasak di bagian belakang bungkusan ini." Gumam Rayza kesal. Bersamaan dengan gumaman kesalnya. Tiba-tiba hati Rayza kembali khawatir saat mendengar suara Qiran yang memuntahkan isi perutnya. "Hueekk... Hueekk... Hueekk..." Suara itu cukup jelas karena posisi kamar yang berdekatan dengan dapur. "Ya Allah Qiran," ucap Rayza langsung berlari menuju kamar. Rayza bergegas mendekat ke arah gadis pucat itu. Kemudian merapihkan surai rambut yang menutupi tengkuk sang gadis. Dia mulai memijat tengkuk itu agar Qiran merasa lega. Sungguh Rayza mengabaikan lantai yang kotor akibat muntahan gadis itu. Urusan kotor bisa dibersihkan. Tapi urusan kesehatan adalah yang utama. "Sudah lebih baik?" Tanya Rayza menatap wajah pucat Qiran. "Maaf ya... Lantai mu kotor. Aku akan bersihkan nanti. Aku masih lemas," ucap Qiran lemah. Sungguh dia merasa tak enak hati. Baru satu hari dia bekerja sudah merepotkan tuannya. Bahkan dia belum melakukan apapun. "Fokus pada kesehatan dulu. Biar aku yang bereskan semua ini," ucap Rayza . Pria itu segera menjauh dari Qiran. Sungguh dia merasakan gejolak kelelakiannya meningkat saat berada satu atap dengan gadis. Rayza merutuki pikiran kotornya, sungguh dia harus segera melarikan diri dari pesona gadis itu. Rayza benar-benar payah, bahkan dia berminat pada gadis yang sedang sakit. Ke mana otak sehatnya pergi? Rayza bergerak menuju lemari. Dan dia mengambil minyak kayu putih yang biasa dia simpan di sana. Rayza pun kembali mendekati Qiran. Dan menyodorkan minyak kayu putih itu. "Ini... Balurkan di perutmu dan d**a," ucap Rayza. Sedangkan Qiran tak menyangka pria seperti Rayza begitu perhatian padanya. Padahal mereka baru bertemu bahkan belum berkenalan. Sungguh baru sekarang Qiran menyadari pria ini terlampau tampan. Dengan kulit kecoklatan yang eksotis, netra hitam yang dibalut bulu mata lentik dan dihiasi alis tebal hitam menawan. Pria ini memiliki pesona yang begitu kental. Bahkan Qiran merasa tersesat dalam pesonanya. "Hei... Cepat ambil. Atau kau memang ingin aku yang membalurinya di perut dan dadamu? Oke aku bersedia," ucap Rayza menggoda Qiran dengan wajah seriusnya. Akhirnya kalimat itu berhasil membuat Qiran kembali ke dunia nyata. Pria ini memang menyebalkan. Dan Qiran menyesali kesesatannya beberapa waktu lalu. Sepertinya dia harus segera ke optik untuk mengecek kondisi retinanya yang mungkin mulai kacau. "Iya aku bisa sendiri," ucap Qiran ketus kemudian mengibaskan tangan agar Rayza keluar kamar. Rasa iba pada gadis ini menguap begitu saja saat melihat sikap tak sopan itu. Entah apa kesalahan Pak Martin hingga memiliki gadis krisis sopan santun seperti ini. "Hei ini kamarku. Seharusnya aku yang mengusirmu," ucap Rayza tak kalah ketus. Suara Rayza yang dingin itu tak membuat Qiran gentar. Dia malah memutar bola matanya jengah. "Ya sudah kalo ga mau keluar. Aku buka baju aja di sini," ucap Qiran menggoda Rayza dengan mengedipkan mata satu. Jujur saja sikap genit itu tidak membuat Rayza jijik, justru Rayza malah menyukainya. Dan darahnya berdesir saat melihat Qiran mengangkat sedikit roknya untuk membuka pakaian. Rayza tersentak kaget. Dia tak menyangka gadis itu serius. Sungguh Rayza bukan pria m***m yang menyukai hal ini. Rayza pun segera pergi sebelum setan dalam hatinya mulai bicara. Sedangkan Qiran tertawa melihat wajah Rayza yang pucat pasi. Seperti melihat hantu. Qiran bahkan melupakan rasa sakit di perutnya. Bagi Qiran, ini adalah sakit terbaik sepanjang hidupnya. Baru kali ini dia merasa bahagia di saat sakit. Dan dia berhenti tertawa saat menyadari sebuah infus bersarang di lengannya. "Kapan dokter datang? Apa dia seorang dokter?" Tanya Qiran bermonolog. Sedangkan di dapur, Rayza segera menenggak air dingin dari botolnya langsung. Berharap pergerakan air bersuhu rendah itu mampu mendinginkan pikiran kotornya. Dia harus segera pindah ke apartemen yang baru dia beli. Rayza tak ingin suatu saat memiliki anak yang tak berhak akan nasabnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD