Terjerat rasa

1337 Words
"Ya kau cantik. Mari menikah." Ucapan Rayza benar-benar membuat Qiran terpaku. Hatinya terperanjat. Entah ini rasa bahagia, terharu atau terkejut. Yang jelas baru kali ini ada pria yang mengajaknya menikah. Dan kalimat itu berhasil membuat bibir Qiran bungkam seketika. "Hah? Emm... Me... Ni... Kah?" Tanya Qiran tergagap. "Ya... Menikah denganku. Kau tak akan menyesal, karena aku tampan, tajir dan menyenangkan. Yang pasti bisa memuaskan mu di ranjang. Aku akan lakukan apapun agar kau menjerit keenakan sepanjang malam." Ucap Rayza tak tahu malu. Rayza menyukai ekspresi kesal Qiran yang menurutnya lucu. Wajah gadis itu akan merah seketika dan tangannya langsung bergerak memukul. Kali ini Qiran merasa direndahkan. Pria di hadapannya benar-benar m***m. Qiran tak menyangka takdir nya yang harus dilamar dengan kata-kata vulgar seperti itu. Mungkin dia pikir Qiran gadis yang haus seks. Big No. Qiran bukan w************n. Ya walaupun otaknya sering kotor, tubuhnya masih suci. Bahkan bibirnya pun belum ada yang pernah menyentuh. "Kurang ajar kau!!! Tidakkah kau bisa memilih bahasa yang lebih baik dibandingkan dengan bahasa s**********n andalan mu itu?" Tanya Qiran kesal. "Just kidding... Gitu aja marah. Lagi pula aku tidak mungkin sanggup menikah dengan macan betina yang suka meraung seperti dirimu. Sudahlah ayo cepat pergi. Kau membuang waktuku," ucap Rayza santai lalu bergerak meninggalkan Qiran. Kemana pria m***m yang baru saja dia temui. Karena kini pria itu kembali menjadi sosok yang menyebalkan. Qiran hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah pria itu. Dan tak mau membuang waktu lama, Qiran bergerak menyamakan langkahnya dengan Rayza. TEPLAK... TEPLOK... TEPLAK... TEPLOK... Suara tepukan alas kaki Qiran dengan lantai benar-benar nyaring. Membuat Rayza mendengus kesal sambil menatap langkah kaki Qiran yang melaju cepat. "Ish... Ish... Ish... Sandal jepit mu berisik sekali," ucap Rayza. "Kalo ga mau berisik ya belikan aku alas kaki yang bagus. Gitu aja kok repot," jawab Qiran sekenanya. Rayza malas berdebat. Dan dia memilih diam. Biarkan gadis itu bersenandung kecil selama perjalanan. Kini mereka sudah berada di dalam mobil Rayza. Sesekali Rayza menoleh ke arah Qiran yang masih bersenandung kecil. Menyenangkan bagi Rayza. Baru kali ini dia merasa tak kesepian. Setelah memarkirkan mobil hitam mengilat itu di halaman pasar swalayan, Rayza segera bergerak masuk ke pasar swalayan. Mengabaikan Qiran yang terseok-seok mengikuti langkah kaki panjangnya. "Pelan-pelan napa jalannya. Pegel tau," ucap Qiran mendengus kesal. Tanpa menjawab ucapan Qiran, Rayza langsung memperlambat langkah kakinya. Lalu mengambil troli untuk membawa belanjaan mereka. Rayza mendorong troli tersebut sedangkan Qiran memilih apa yang hendak mereka beli. Mereka pun bergerak ke bahan makanan. Qiran si pecinta mie instan pun segera mengambil beberapa bungkus mie instan berbagai rasa. Hal itu membuat Rayza kesal. Si dokter tampan yang paling mengerti dunia kesehatan pun segera mengembalikan bungkus mie instan ke tempat asalnya. Menyadari semua mie instan pilihannya di kembalikan ke tempat asalnya, Qiran pun menoleh ke arah Rayza yang sibuk menata bungkus mie agar kembali rapi di tempatnya. "Kok dikembalikan sih? Itu enak tau," ucap Qiran kesal. "Enak tapi ga sehat," jawab Rayza singkat. Qiran yang merasa tak mau kalah pun kembali memindahkan beberapa bungkus mie instan ke troli. Dan lagi-lagi Rayza mengembalikan ke koloni mie instan. Terus seperti itu hingga mereka sama-sama kesal. "Kalo aku bilang mau ya mau," ucap Qiran berteriak. "Kalo aku bilang enggak ya enggak." Jawab Rayza tak mau kalah. "Perut-perut aku yang makan. Kenapa situ repot?" Tanya Qiran juga tak mau kalah. " Duit-duit aku yang bayar. Ya jelas aku repot," jawab Rayza ketus. "Pelit banget sih, harga cuma 3000an aja," ucap Qiran mendengus kesal. "Tapi ga sehat," jawab Rayza. "Nyatanya aku sehat tuh," ucap Qiran masih keras kepala membuat Rayza sudah tak sanggup menahan kesabarannya. "Kalo kamu masih ga nurut. Aku cium sekarang," ucap Rayza mengancam dan hal itu sukses membuat Qiran bungkam. Padahal tak mungkin Rayza mencium wanita itu di depan umum. Di tempat sepi pun tak mungkin. Rayza benar-benar menjaga batasan antar lawan jenis. Biar bagaimanapun dia dididik dengan ilmu agama yang sangat baik dalam keluarganya. Memang ucapan bibirnya saja yang selalu menjurus ke s**********n. Nyatanya dia pria baik-baik yang tak pernah bermain wanita. "Yaudah tuh terserah," ucap Qiran melempar mie instan ke etalase. "Nah gitu dong, jadi pembantu tuh yang nurut," ucap Rayza tersenyum menang. Sedangkan Qiran semakin kesal mendengar kata pembantu dari bibir pria tampan itu. Sungguh jika bukan karena dia yang sedang melarikan diri dari perjodohan, Qiran tak akan rela jadi pembantu. Sedangkan Rayza tersenyum saat menyadari pertengkaran di antara mereka, sangat menyenangkan dan sama sekali tak membosankan. Terdengar aneh memang, tapi Rayza memang menikmati momen ini. Mereka pun pergi ke stand sayur dan buah. Mereka berjalan dalam diam. Hanya bunyi sandal jepit Qiran yang nyaring di antara mereka. Qiran memang sengaja menghentakkan sandalnya agar Rayza malu. "Jalan tuh yang bener," ucap Rayza merasa terganggu dengan suara sandal jepit Qiran. "Bener tuh. Pake kaki. Emang aku jalan pake apa?" Tanya Qiran ketus. Rayza hanya menghela nafas berat. Dia malas berdebat dengan perempuan keras kepala ini. "Mau beli apa?" Tanya Rayza lembut. "Terserah!" Jawab Qiran singkat. "Kamu bisanya masak apa?" Tanya Rayza kembali. "Masak air sama mie instan," ucap Qiran asal. Padahal sekalipun dia tak pernah memasak mie instan sendiri. Dia tinggal meminta Bi Inah untuk memasakkan mie yang nikmat dengan sayuran dan telur sebagai pendamping mie. "Ish... Ish... Ish... Nanti aku kasih buku resep untuk kamu masak. Jangan buat uang ku sia-sia bayar pembantu model kayak kamu gini ya?" Tanya Rayza ketus. "Oke!" Jawab Qiran santai. Dia mengambil berbagai sayuran dan dimasukkan ke dalam troli hingga troli bawaan mereka seperti gerobak sayur. Rayza pun geleng-geleng kepala melihat tingkah Qiran. Rayza tahu betul Qiran kesal karena dia tak mau membelikan Qiran mie instan. "Kau pikir aku kambing? Beli sayur sebanyak ini?" Tanya Rayza menunjuk belanjaan mereka yang dipenuhi sayuran hijau. "Tuh sadar, dari tadi kan ngembeek mulu," ucap Qiran ketus. "Ugh bibir mu manis sekali... Senang menggoda ya?" Tanya Rayza dengan tatapan dinginnya. "Yaudah sih kalo ga mau beli ya tinggal ditaroh lagi... Gitu aja repot," ucap Qiran. "Jelas repot punya pembantu kaya kamu. Udah jelek, ga bisa kerja, hari pertama kerja malah sakit, ga tau diri, bawel, berisik," ucap Rayza segera menghentikan ucapannya saat Qiran menginjak kakinya. Alhasil Rayza mengaduh kesakitan. Setelah menginjak kaki Rayza, Qiran bergerak mengembalikan beberapa sayuran ke tempatnya. Qiran sudah tidak tahan mendengar hinaan yang keluar dari bibir pria itu. Walaupun itu kenyataan, tapi seharusnya tidak diucapkan. Rayza menatap ekspresi wajah Qiran dari samping. Dia bisa melihat dengan jelas Qiran marah padanya. Ya dia sadar sudah kelewatan. "Kamu marah?" Tanya Rayza mengikuti langkah Qiran yang menjauh setelah mengembalikan semua sayur ke display. "Enggak!" Jawab Qiran singkat. "Kalo cewek bilang enggak artinya iya. Yaudah aku minta maaf. Maaf ya?" Rayza tulus saat mengatakannya. "Iya!" Ucap Qiran kembali singkat. "Kalo cewek bilang iya artinya enggak. Kamu jangan marah dong. Aku becanda," ucap Rayza tak tahan melihat wajah kesal Qiran. Ya dia memang suka melihat ekspresi marah Qiran. Tapi jika terlalu lama, dia juga tak mau melihatnya. "Sok tahu kamu. Udah ayo pulang," ucap Qiran mengambil alih dorongan troli mereka kemudian berjalan ke arah kasir. Mungkin karena hari libur, antrian kasir terlihat begitu penuh. Lagi-lagi netra hitam Rayza menatap wajah Qiran yang dipenuhi peluh. Rayza tak tega melihat Qiran yang mulai gelisah. Mungkin kakinya mulai pegal karena terlalu lama berdiri. "Kamu capek?" Tanya Rayza menatap gadis yang tingginya tak lebih dari bahunya. "Enggak." Lagi-lagi jawaban singkat yang diberi Qiran. "Kalo capek kamu duduk aja. Biar aku yang ngantri sendiri," ucap Rayza perhatian. Ucapan lembut Rayza berhasil menjadi mood booster bagi Qiran. Hatinya kembali berdesir melihat ketulusan di netra hitam pria itu. Tapi Qiran sadar diri. Dia hanya dianggap sebagai pembantu. Mana mungkin pembantu membiarkan majikannya mengantri, seharusnya malah majikannya yang duduk. "Ga apa-apa, kita ngantri sama-sama aja di sini." Ucap Qiran tersenyum. Senyum menawan dari bibir tipis gadis itu membuat Rayza sadar, hatinya sudah terjerat rasa yang tak bisa diungkapkan. Ingin sekali Rayza mengatakan bahwa dialah pria yang hendak dijodohkan dengan gadis itu. Tapi Rayza takut Qiran kembali lari darinya. "Qiran... Kalau aku mengatakan sesuatu... Apa kamu mau menerimanya?" Tanya Rayza. "Tentang apa?" Tanya Qiran membuat hati Rayza berdegup makin kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD