Chapter 2

1068 Words
"Uh! Nggak tahan! Nggak tahan!" Laura berlari-lari kecil ke arah pintu rumahnya. "Eh! Eh! Eh! Mau keluar!" Laura panik, dia berhenti menahan napas, takut kalau barang berharga turun tanpa komando.  Ponsel Laura berdering. "Uh, siapa sih? Orang lagi susah-susah tahan emas dari perut juga," dongkol Laura. Dia merogoh ponsel yang berada di tas selempangnya. Lola Step memanggil. "Si Lola yang telepon, duh! Bikin susah aja, orang aku masih nahan napas," cebik Laura. Laura kemudian mengangkat panggilan dari asistennya. "Halo, ada apa? Buruan bicara, aku nggak tahan mau ke WC!"  "Kamu belum setor juga, Laura?" tanya Lola heran. Lubang hidung Laura melebar hingga dua sentimeter. "Maceeeet! Aduh!" Puuup! Gas beracun tercium dari bawah Laura. Laura berlomba adu kecepatan lari dengan kecepatan emas berharga yang akan turun dari dalam ususnya. "Kamar mandi! Kamar mandi! Minggir ! Minggir ! Air panas ! Air panas !" Laura melotot ke arah anak-anak kos yang duduk nongkrong di depan pintu WC. "Air panas! Air panas! Minggir!"  "Ada apa mbak Laura?" tanya seorang anak kost Laura. Wajahnya bingung melihat ibu kostnya panik luar biasa. Mana air panas? Ibu kostnya lari kosong. "Ada mau mencret!" Bruk ! Klik ! Laura menutup pintu WC dengan tidak berperikewecean. "Uuuuh! Keluar kau! Keluar! Tadi nantangin kan? Nah! Sekarang aku yang nantangin!" Laura berjuang mengejan di atas duduk closet.  "Uuuuh! Ngambek yah! Ok, kita lihat siapa pejuang sejati di dalam WC ini!" Laura bersemangat mengejan. Namun sudah tiga menit, emas batangan hasil dari produksinya belum-belum juga muncul, keringat dingin mulai terlihat di dahi dan lehernya. Dia sedang merenung di atas dudukan kloset, apakah dia ada buat kesalahan? Barang di dalam perut tidak mau keluar. Atau mungkin anak emas batangannya marah dan tidak mau keluar ? Ataukah malu-malu menunjukan wajahnya di dalam mangkuk kloset? Lama Laura duduk termenung, akhirnya dia ingat kenapa sampai anak emasnya tidak mau muncul dari bunga krisannya. "Kurang ajar, tadi makan ayam grepek level sepuluh lupa minum air," sudut bibir atas Laura terlihat naik kentara sekali bahwa dia sedang menahan kedongkolan yang luar biasa. "Ssshhh! Huuu! Sssshhh! Huuh!" Laura berusaha tenang, dia mengumpulkan kekuatan spiritualnya, hasil dia belajar jadi guru besarnya, Barbara Onhold : Bagaimana cara agar menjinakkan hajat yang stuck. "Apakah ada pertanyaan untuk pelajaran tinja kali ini?" Barbara Onhold, perempuan yang merupakan guru besar dari Universitas Money Nocuan itu melihat ke arah murid-muridnya. "Saya," Laura remaja mengangkat tangan dengan antusias. "Ah, Laura, silakan, apa yang ingin kamu tanyakan?" Barbara tersenyum manis ke arah Laura, jarang sekali ada siswanya yang ingin bertanya. "Guru, bagaimana jika kita mengejan di atas dudukan WC selama satu jam dan tinja emas belum juga mau menampakkan kepala ke arah sumur mangkuk kloset? Apa yang harus kita lakukan? Apakah ada tips jitu?" wajah Laura terlihat serius ketika dia bertanya ke arah guru besarnya. Melihat wajah serius yang diperlihatkan oleh sang murid, Barbara memperbaiki sikapnya menjadi guru sok berwibawa. "Nah, pertanyaan yang bagus, saya suka murid seperti ini, tingkatkan terus pertanyaan kamu Laura, nilai kamu akan saya naikan untuk mata pelajaran ini," Barbara tersenyum. Laura terlihat senang, dia tersenyum hingga sudut bibirnya hampir menyentuh telinganya. "Saya akan menjawab, jika kamu sudah mengejan lama di atas dudukan kloset dan tinja emas belum juga muncul, itu artinya ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, kamu makan lupa minum. Kemungkinan yang kedua kamu kurang kuat dalam mengejan." Barbara mulai menjawab pertanyaan Laura. Laura manggut-manggut, dia mendengarkan penjelasan guru besarnya. "Berikutnya apa yang harus kamu lakukan? Yang harus kamu lakukan adalah duduk diam sebentar di dudukan kloset, dan renungkan. Rasakan ketenangan di dalam WC, ingat apa kesalahan yang kamu buat ketika makan, apakah lupa minum air atau tidak," Barbara menjelaskan secara perlahan ke arah Laura agar muridnya itu mengerti. Laura terlihat manggut-manggut. Kemudian Barbara menjelaskan lagi. "Tutup matamu lalu kamu harus menarik napas dan menghembuskan napas secara perlahan, lakukan hal tersebut hingga beberapa kali. Setelah sudah kamu lakukan, ambil ancang-ancang, buat kepalan tanganmu, tujuannya agar mengumpulkan semua kekuatan yang nanti akan berpusat pada ujung pantatmu. Tahan napasmu lalu dorong, tipsnya agar kamu berhasil menjinakkan tinja yang bandel adalah jangan menyerah. Lakukan itu beberapa kali, pasti berhasil. Ada tips lain agar tinja bandel kamu keluar semuanya, jangan bernapas biasa ketika kamu sedang mengeluarkan tinja. Ini akan memutus mata rantai tinja bandel kamu, akibatnya kamu akan kesusahan untuk mengejan lagi." Barbara mengakhiri menjelaskan jawabannya ke arah Laura. "Oh... seperti itu, pantas saja aku selalu gagal mengejan. Bahkan sudah satu jam tinjaku belum keluar-keluar." Laura manggut-manggut mengerti. Dia melihat penuh pemujaan pada gurunya ini. Dia sangat terharu, sang guru besar tidak pelit membagi ilmu pertinjaan. "Terima kasih guru, akan aku ikuti saranmu setelah jam kelas ini berakhir." ujar Laura. "Ah, bagus. Pas belajar langsung praktek, ilmu yang kamu dapat masih panas-panasnya diingatan," Barbara tersenyum senang, dia sangat menyukai muridnya ini. Barbara kemudian mengambil buku nilai dan melingkar nomor absen yang merupakan nama Laura Withdraw, dia memberi tanda plus kepada nama itu. "Uh, aku ingat sekarang apa yang guru besar Barbara Onhold ajarkan ketika mata pelajaran pertinjaan waktu sekolah," ujar Laura setelah selesai mengingat. Laura mengambil tisu di gantungan di dinding WC dekat kloset, kemudian dia mengelap semua keringatnya. Setelah melakukan itu, Laura mulai menutup mata. Dia mulai fokus untuk menarik napas dan menghembuskan napas. Namun, bukan menghembuskan napas terakhirnya sebagai manusia.  Dia mengepalkan kuat kepalan tangannya, tujuannya agar mengumpulkan kekuatan pada ujung p****t agar nanti dorongan berhasil. Ponsel yang dia pegang terlihat dia remas erat. Tarik napas buang, tarik napas buang. Dia melakukan itu beberapa kali, sesuai dengan anjuran dari guru besarnya, Barbara Onhold. Setelah melakukan itu, dia mengambil ancang-ancang, lalu menahan napas dan mulai mendorong. "Uuuh! Uhhh! Uuuh!"  Tinja nakal itu belum juga mau jinak. Namun, tidak masalah. Dia mencoba lagi sesuai dengan saran dan tips dari guru besarnya, jangan menyerah. "Uuh! Uuh! Uuh!" Laura mulai mengejan. "Nah, ternyata kepala kamu sudah muncul." Laura terlihat senang. Ajaran dari sang guru besar telah dia buktikan berhasil. Dia melanjutkan mengejan lagi dan benar saja, sesuai anjuran dan ajaran dari guru besarnya, anak emas bandel itu akhirnya keluar sudah, duduk manis di dalam sumur mangkuk kloset. Merasa masih ada lagi yang menyusul, Laura mulai mengejan lagi. Namun, kali ini dia teledor. Ponselnya berdering menandakan ada yang telepon. Ketika dia melihat si penelepon ternyata dari asistennya, Lola Step. Genggaman ponselnya longgar dan.... Cemplung! "Tidak! Ponsel kesayanganku!" Laura menjerit histeris. Ponsel kesayangannya yang penuh dengan banyak kenangan di dalam ponsel itu, terjun bebas dari genggaman tangannya ke dalam mangkuk kloset, bergabung bersama tinjanya yang warna-warni.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD