Chapter 3

1087 Words
Ayam geprek berujung tragis. Kiranya itu judul mengenaskan yang paling tepat menggambarkan situasi yang dialami Laura. Bolak-balik kamar mandi membuat tubuhnya lemas, ditambah lagi ponselnya yang lenyap ditelan kloset. Gadis itu meringis menatap liang klosetnya yang entah punya dendam apa sampai begitu tega menelan bulat-bulat benda pipih kesayangannya. Sorrya Decline yang menjadi asisten rumah tangganya tidak bisa berbuat apa-apa selain ikut termenung menatap liang penumpas tinja tersebut. Ah, ponsel yang malang, mungkin seperti itu yang ada di pikiran asisten rumah tangganya. "Kamu kenapa masih di sini? Lakuin sesuatu dong!" desak Laura. "Tapi Nona saya harus ngapain?" Laura berdecak sebal keluar dari toilet. Jalan satu-satunya agar ponselnya bisa kembali adalah dengan menghubungi agen sedot tinja langganannya—CV. Drimi Lie. Menekan nomor yang tertera di buku telepon Laura lagi-lagi dibuat kesal karena tidak ada jawaban dari seberang sana. Sekali dua kali tidak diangkat, Laura masih sabar mungkin sedang sibuk, tapi ini sudah sembilan puluh sembilan kali ia menelepon namun tidak ada jawaban. "Ini orang butuh duit nggak sih? Gila ya ngelunjak banget sumpah!" umpatnya. Dalam hati, kalau sekali lagi panggilannya tidak dijawab Laura yang akan datang ke sana. Seenaknya saja mereka memperlakukan Laura seperti ini, padahal selama ini Laura selalu menggunakan jasa mereka dan membayarnya sesuai tarif yang diminta. Menghela napas kasar Laura menekan sekali lagi nomor tersebut dan hasilnya nihil. Tidak ada jawaban.  "Sumpah! Kalau nanti sampai di sana akan kumaki-maki mereka semua. Enak saja mengabaikanku seperti itu. Memangnya mereka tidak tahu apa, kalau yang memesan jasa mereka itu bintang iklan terkenal."  Sampai di sana Laura langsung marah-marah. Suaranya yang cempreng terdengar menggema mengisi ruangan yang tidak terlalu besar itu. "Apa semua telepon kalian rusak? Seratus kali aku menghubungi tapi tidak ada satu pun dari kalian yang menjawab!" Lola berusaha menangkan dengan mengusap bahu Laura tapi tetap saja gadis itu meluap-luap. "Hei, kamu!" panggilnya pada seseorang dengan seragam kerja yang baru masuk.  "Iya, ada apa?"  Laura langsung menghampirinya. "Kamu ikut saya sekarang! Toilet di rumah saya mampet!"  Seorang pegawai memberi kode pada Samuel agar menolak permintaan Laura. Laki-laki yang sebenarnya merupakan CEO Drimi Lie itu mengangguk paham, mungkin ini gadis yang sering order aneh-aneh jasa sedot tinja mereka. "Maaf, tapi hari ini kami banyak orderan." "Akan kubayar dua kali lipat." tawar Laura.  "Maaf—" "Tiga kali lipat." "Tapi—" "Lima kali lipat. Deal !" putus Laura menjabat tangan pria yang disangkanya sebagai karyawan biasa itu. "Akan kubayar cash, setelah pekerjaan kalian selesai." Merasa kalau penawaran yang diberikan Laura tidak buruk, Samuel akhirnya menerima orderan dari gadis itu. Bersama beberapa orang karyawannya yang lain ia mengemudikan truk tinjanya menuju kediaman Laura.  Seperti yang sudah-sudah Laura tipikal pelanggan yang banyak mau. Sejak tadi ia terus memandori pekerjaan Samuel, menyuruh ini-itu yang di luar pekerjaannya sebagai tukang sedot tinja. Contohnya seperti, "Lampu di kamarku kebetulan mati, aku mau kamu menggantinya soalnya aku nggak bisa." atau "Keran airku juga tersumbat sekalian ya diperbaiki." Ya, beruntung Samuel punya tingkat kesabaran tinggi ditambah upah yang menggiurkan dari Laura sehingga apa pun yang gadis itu suruh Samuel kerjakan dengan senang hati. Ya, kalau dipikir-pikir kapan lagi ada pelanggan yang mau membayar 5 kali lipat. "Saya sarankan lebih baik Pak Sam pulang saja, soalnya gadis itu benar-benar menjengkelkan," bisik Sun Bo Kong.  "Iya, Pak, itu sebabnya kami menolak orderannya," Molory ikut menimpali. "Tidak apa-apa. Lagi pula aku tidak keberatan." Samuel memang pria idaman. Bukan hanya wajahnya yang tampan mirip aktor Korea tetapi hatinya juga. Ah, kalau saja Laura tahu kalau pria itu CEO Drimi Lie, dia pasti klepek-klepek dan menyesali perbuatannya—menyuruh Samuel mengerjakan ini-itu. "Kalian selesaikan pekerjaan kalian biar aku yang menangani keran air ini." "Tolong ya, aku memanggil kalian ke sini untuk kerja, bukan bisik-bisik !" tegur Laura yang dari tadi memperhatikan mereka bertiga bekerja.  Sebenarnya tidak butuh waktu lama bagi mereka menyelesaikan pekerjaan sedot-menyedot tinja, karena memang itu sudah menjadi pekerjaan mereka bertahun-tahun. Hanya saja, Laura yang banyak maunya membuat pekerjaan mereka baru selesai hingga memakan waktu berjam-jam.  Samuel menggerakkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan hingga terdengar bunyi 'krak' yang membuat pinggangnya terasa ringan. Meskipun bukan cara yang tepat tetapi itu cukup ampuh untuk mengurangi pegal. Kalau ditanya kenapa Samuel mau mengerjakan pekerjaan ini padahal posisinya sekarang sebagai CEO, alasannya ya karena dia memang senang melakukan pekerjaannya. Apa pun pekerjaannya selama itu halal akan Samuel kerjakan dengan senang hati, dan tentu saja itu masih dalam batas kemampuannya. Kalau disuruh terjun ke sawah untuk bercocok tanam ya maaf-maaf saja Samuel tidak bisa karena memang dia tidak pernah melakukannya. "Ini bayaran kalian. Lima kali lipat seperti yang kujanjikan."  Samuel menghitung bayarannya dan ternyata benar, uang dibayar lima kali lipat dari tarif normal. "Terima kasih, senang bisa melayani Anda." Laura hanya berdehem sebagai jawaban. "Sekarang tunggu apa lagi? Pekerjaan kalian sudah selesai. Pulang sana!" usirnya mentah-mentah. Mulutmu itu memang tidak bisa dikondisikan ya." Lola menggeram mencubit pinggang Laura. "Maafkan teman saya. Dia memang seperti itu orangnya." "Tidak apa-apa. Kalau begitu saya permisi." Samuel berpamitan pulang membawa serta peralatannya.  Lola yang sepertinya terpesona melihat ketampanan tukang sedot tinja itu mengantarkan sampai ke depan pintu. "Sekali lagi saya minta maaf ya atas kelakuan teman saya. Ya, dia memang suka seenaknya kalau bicara." "Tidak masalah. Saya mengerti kalau dia bintang iklan terkenal." Samuel melirik Laura yang seketika mengalihkan pandangannya ke sisi lain.  Samuel pergi bersama truk tinjanya sementara Laura kini berbaring di atas tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya yang bernuansa putih gading, berapa catnya terlihat mengelupas belum sempat menyewa tukang untuk memperbaiki. "Omong-omong pria yang tadi itu tampan juga ya." Lola tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap Samuel si tukang sedot tinja itu. "Aku menyesal kenapa tadi aku tidak meminta nomor ponsel pribadinya saja." "Yang mana? Yang rambutnya mirip siluman kera itu?" Yang Laura maksud adalah Sun Bo Kong, pria dengan rambut tebal dan jambang serta bulu-bulu badannya yang subur, membuatnya sangat mirip dengan siluman kera di film-film. "Ah, kalau yang seperti itu kau bilang tampan. Aku tidak bisa membayangkan versi jelek menurutmu itu seperti apa."  "Bukan yang itu tapi yang berkulit putih dan  badannya tinggi. Wajahnya mirip oppa-oppa yang sering kutonton di drama Korea." Laura tidak mau menanggapi lebih lanjut. Perutnya masih terasa cenat-cenut, tenaganya benar-benar terkuras membuatnya kelelahan. Perlahan matanya terpejam, meraba-raba meja nakasnya mencari benda pipih miliknya. "Oh my god !" Tubuh Laura seketika menegak membuat Lola menarik alisnya bingung. "Kenapa? Ada yang salah?" "Ponselku? Ponselku masih ada di truk itu!" Ah, sialan! Mengapa Laura sampai lupa kalau tujuannya memanggil tukang sedot tinja itu untuk mengambil ponselnya. Sekarang ponsel kesayangannya malah semakin bercampur dengan kotoran orang lain juga. Benar-benar menyebalkan !
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD