Jalan Hidupku (pov Sari)

1003 Words
Tanda Merah Di Leher Suamiku 13 Jalan Hidupku (Pov Sari 3) Terlihat wajah mbak Nesya kaget sekali. "Oh...uangmu ya. Sebenarnya, uangmu itu sudah habis. Dulu uangnya kan ku simpan di bank kecil gitu, eh kemudian bulan kemarin bank itu bamgkrut, jadi ya semua uangnya hilang," ucap mbak Nesya dengan wajah memelas. Tentu saja saat itu aku langsung shock, karena hasil kerja kerasku selama dua tahun, hilang lenyap seketika. "Tapi, Mbak uang itu harapanku satu-satunya loh. Lalu sekarang aku harus bagaiamana?" Mbak Nesya kemudian datang menghampiriku yang sedang berdiri di ambang pintu, dan merangkul bahuku. "Gini saja, jamu nggak usah sedih, bukan hanya uangmu kok yang hilang, uangku juga, dan bahkan jumlahnya lebih banyak dari punyamu. Kini kita wajib ikhlas, nanti rejeki belakangan akan lebih banyak. Sebagai penebus kesalahan, kamu boleh tinggal dan makan sepuasnya di sini. Tapi ingat, jangan sampai hal ini bocor pada Mas Bayu, karena yang ada nanti dia bakal marah-marah, Ok?!" Akhirnya, aku terkena juga bujuk rayu mbak Nesya, dan tentu saja aku merelakan hilangnya uangku itu. Bodoh, tentu saja aku amat bodoh saat itu. Ternyata mbak Nesya tak sebaik saat sedang merayuku, dia masih sering sekali marah padaku, dan setiap bulan aku cuma diberi gaji lima ratus ribu rupiah saja tiap bulan. Padahal tiap hari, aku bekerja dari jam tujuh pagi hingga jam sepuluh malam. Sungguh tak adil rasanya, kedua pegawainya digaji satu juta, sedangkan saat itu kembali aku tak berani melawan "Ingat Sar, jika sampai kamu mengadu pada Mas Bayu, tentang uang itu! Maka, aku akan lsngsung meninggalkannya. Secara, kamu tahu kan kalau dia itu amat tergila-gila padaku, jika kutinggal pergi, pasti dia langsung gila, atau bisa juga jadi bunuh diri! Dan akhirnya, kamu jadi hidup sebatang kara deh, hahaha!" Ucapan seperti itulah yang selalu mbak Nesya ucapkan, dan tentu saja ucapannya itu, membuatku menurut padanya. Padahal aku pun sebenarnya sudah mencium kecurangan, tapi entah mengapa, aku terlalu takut padanya. Hingga kemudian, setahun tinggal di rumah mas Bayu, aku mendapat sebuah pekerjaaan di ibu kota, merawat orang tua yang sudah lumpuh. "Mas, aku pamit kerja dulu y, terimakasih selama ini," ucapku sambil mencium tangan kakakku itu. "Iya, hati-hati ya, Sar," jawab mas Bayu. "Kalau kerja yang bener, jangan sampai nanti kamu bikin onar lagi loh! Karena aku sudah nggak mau nampung kamu lagi!" ketus mbak Nesya. Tanpa menjawab perkataan mbak Nesya itu. Aku langsung berangkat ke Jakarta, menggunakan traveel. Rencananya aku akan membuat rekening tabungan baru, dan menyimpan uang hasil kerjaku selama di rumah mas Bayu. Kemarin kuhitung jumlahnya ada empat juta rupiah. Semua uang lembaran lima puluh ribu rupiahan tersebut, kugulung dan kumasukkan kedalam kantung kecil. Nanti saat sudah sampai di Jakarta, aku rencananya ingin langsung membuat rekening. Meski sedikit, tapi bagiku itu sudah cukup untuk masa depan, di tambah dengan uang tabunganku saat bekerja di sini nanti. Namun, betapa kagetnya aku, saat telah sampai di Jakarta, ternyata semua uangku itu lenyap, tak berbekas sama sekali. Saat itu aku sempat berpikir, jika mungkin uangku tadi di copet, tetapi saat kuteliti, tak ada yang rusak di tas tangan yang kubawa, bahkan handphone yang juga kumasukkan dalam tas itu, aman-aman saja. Untung saja tadi, uang untuk membayar travel sudah kupersiapkan dan kutaruh tersendiri di saku celana. Jika tidak, maka dari mana aku bisa membayar ongkos travel itu. Saat itu, tentu saja aku langsung mencoba menghubungi mbak Nesya, karena feelingku mengatakan, jika dia lah yang telah berbuat licik padaku. Berkali-kali kucoba meneleponnya, namun tak direspon, bahkan panggilanku ditolaknya, dan hal ini tentu saja membuatku makin curiga. [Mbak, kamu ya yang mengambil uangku?!] Sebuah chat kukirimkan padanya, karena panggilanku tak direspon. Nyatanya chatku tersebut langsung dibaca olehnya, dan kini terlihat dia sedang mengetik balasan untukku. [Hai adik ipar yang bodoh! Sudah sampai Jakarta ya? Hadew kasian banget sih, pasti panik kan lihat uangnya nggak ada! Hahaha...] Balasan yang sangat menyakitkan kurasa, meski dia tak berkata 'iya', namun hal itu sudah tersirat dalam kata-katanya. Tak kusangka dia bisa begitu tega padaku, padahal tak pernah sekalipun aku membantah ucapanya. [Ya Allah, Mbak. Jahat banget sih? Itukan uang hasil kerjaku. Dulu uang hasil kerjaku selama dua tahun, sudah kamu ambil. Nah, kini kamu curi juga, Mbak. Tega sekali kamu, Mbak! Cepat kembalikan sekarang juga, sebelum aku melaporkan pada Mas Bayu!] Entah bagaimana lagi caranya, agar dia mau mengembalikan uangku, semoga saja dengan mengancam akan mengadukan pada mas Bayu, dia akan mengembalikan uangku. [Kamu mau ngadu pada mas Bayu? Silahkan! Emangnya aku takut? Hahaha nggak sama sekali tahu! Jangan salah, kakakmu itu, pasti lebih percaya padaku, istrinya yang cantik ini, dari pada kamu! Dan akhirnya, percuma saja, Hahaha!] [Kamu itu ya, Mbak benar-benar nggak punya hati, pantas saja Tuhan belum memberikan anak padamu sampai kini! Baiklah, Mbak. Kuikhlaskan semua uangku kini, tapi ingat karma pasti datang padamu, Mbak, secepatnya!] Balasku, karena rasanya tak mungkin lagi uangku akan kembali. Jadi kubilang mengikhlasakan uang itu, tapi dalam hati, sampai kapanpun aku tak akan pernah ikhlas. [Wah, terima kasih banyak ya, Sar. Semoga kamu terus kayak gini, gampang dibodohi, hahaha. Dan satu lagi, aku ini kebal, nggak bakal deh itu yang namanya karma menghampiri. Lebih baik, sekarang kamu kerja yang bener, dan nanti uangnya disetor lagi padaku ya, hahaha.] Tak lagi kupikirkan uang itu, biarlah nanti Tuhan yang akan membalasnya. Tuhan Maha Baik, buktinya setelah kehilangan uang itu, aku mendapat majikan yang teramat baik dan mereka menganggapku sebagai keluarganya. "Kamu sudah nggak usah mikir macam-macam, yang lalu biarlah berlalu Sar. Sekarang anggap saja kami ini keluargamu, dan rawat dengan baik Engkong, ya." Ucap majikan baruku, saat aku mengisahkan semua perjalanan hidupku, hingga tiba di ibu kota ini. Dan tentu saja aku amat bahagia, karena mereka tak pernah merendahkanku. "terima kasih banyak Nyonya, sudah amat baik sekali pada saya, selama saya tinggal di sini. Jujur baru di sinilah saya merasa di manusiakan, dan banyak menyayangi dengan ikhlas, tanpa pamrih dan tanpa meminta imbalan," ucapku pada majikanku itu. Setiap gajian, selalu kutabung, kebetulan majikanku juga yang membuatkanku rekening. Kuharap selamanya bisa tinggal sama majikan ini, namun sayang setahun bekerja, Engkong yang kurawat meninggal dunia, dan semua anakya pindah ke Singapura.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD