Chapter 8 - Warehouse (1)

1106 Words
Author Pov Delta baru saja turun dari mobil. Hari ini dia ada kelas siang, tapi ia sengaja datang lebih awal karena gadis yang sedang diincarnya memiliki jadwal kuliah pagi. Maka dari itulah jam 10 pagi seperti ini Delta sudah menampakkan diri di halaman kampus. "Woy, Sob!" Delta refleks menoleh saat mendengar suara Fedrik memanggil. "Kok lo di sini?" tanya Fedrik mengernyit heran. Delta pun tertawa geli, "Gue kan kuliah di sini, b**o! Ngapain lo nanya kayak gitu?" sahutnya sambil menoyor Fedrik pelan. Lalu, Delta pun mulai berjalan dengan kedua tangan yang dimasukkan ke masing-masing saku celananya. Sementara itu, Fedrik turut mensejajari dengan tangan yang sibuk menggaruk kepala. "Maksud gue, bukannya lo ada kelas siang? Tapi kenapa sepagi ini lo udah mejeng di kampus aja," tukas Fedrik mencoba memperjelas pertanyaannya tadi. Delta melirik, senyuman kecil pun tersungging di bibir, "Emangnya ada larangannya ya kalo kelas siang gak boleh dateng pagi?" Lontar Delta yang seketika membuat Fedrik nyengir lebar. Lantas, Fedrik pun bergeleng, "Hehe enggak ada sih," "Ya udah, suka-suka gue berarti!" hardik Delta tersenyum miring. Untuk sesaat, Fedrik memutar bola mata, "Iya deh ... orang ganteng mah bebas mau ngapain juga," cetusnya sinis membuat Delta terkekeh sembari memiting leher sahabatnya.                                                                                                         --- Lovely komat-kamit gak jelas di sepanjang langkahnya. Seperti dukun yang sedang merapalkan mantranya untuk mengusir makhluk astral. Langkah kakinya dientak, sampai-sampai menimbulkan suara berisik yang dihasilkan dari telapak flat shoes yang beradu dengan lantai yang diinjaknya. "Bete! Ngapain juga sih Pak Lian suruh gue buat ambil bola basket ke gudang. Gue kan gak kuliah di jurusan olahraga. Nyuruh anak didiknya aja bisa kali,"  Tak henti-hentinya gadis itu mendumel. Rupanya ia sedang kesal pada salah satu dosen yang menyuruhnya untuk pergi ke gudang. Memang bukan kesalahan dosennya juga, melainkan Lovely sendirilah yang menawarkan bantuan pada dosen tampan yang cukup dikaguminya itu. Padahal, Lovely baru saja keluar dari kelas mata kuliah pertamanya, ia bahkan berencana untuk pergi ke kantin guna mengisi perut laparnya. Tapi karena melihat sang dosen yang sepertinya membutuhkan bantuan, alhasil Lovely pun menawarkan diri untuk membantunya. Dan sekarang, di sinilah Lovely berada. Berkacak pinggang di depan pintu cokelat yang dia yakini di dalamnya pasti akan sangat banyak debu-debu bertebaran. "Ya ampun, apa gue harus masuk gudang ini?" gumamnya menimbang-nimbang Walaupun ia bukan tipikal orang yang anti kotor-kotor club, tapi untuk masuk ke ruangan yang pengap dan dipenuhi debu seperti itu, Lovely juga harus mikir-mikir, kan? Tenggorokannya turun naik, rasanya Lovely ingin membatalkan niatnya saja untuk membantu dosen tampan tadi. Kalau saja dia tahu dosen itu hendak menyuruhnya ke gudang, sepertinya Lovely tidak akan sok-sokan menawarkan bantuan. Akan tetapi, semuanya sudah terlanjur terjadi. Tidak ada pilihan lagi untuk Lovely. Mau tak mau, ia pun akhirnya menyentuh tarikan pintu di hadapannya. Dengan perlahan, ia mendorong pegangan tersebut dan kegelapan pun menyambut pandangannya. Kepalanya melongok, "Gelap amat. Gak dipasang lampu apa, ya?" Gumamnya mendengus. Kakinya lantas melangkah, debu-debu nakal mulai hinggap di hidung, sehingga tangannya begitu aktif mengibas-ngibas di sekitar hidungnya. "Aduh, gue lupa nanya lagi. Bola basket yang dimaksud disimpan di sebelah mana coba? Mana apek banget ini gudang!" gerutunya tak henti-henti. Meski begitu, ia terus melangkah menjauhi pintu yang hanya terbuka sedikit. Pandangannya beredar ke setiap penjuru gudang. Berharap bola basket sialan itu bisa segera ditemukannya dalam waktu yang cepat. "Letak bolanya ada di sebelah mana sih," bisik Lovely sambil menutupi hidung dan mulut oleh satu tangan. Sementara tangan yang lainnya ia gunakan untuk mengenyahkan sarang laba-laba yang menggantung di mana-mana.                                                                                            --- "Pak Man!" Seru Delta yang tengah berjalan santai di aula kampus. Seorang pria tua berwajah lelah itu pun menoleh ketika namanya dipanggil. "Eh, Den Delta. Ada apa, Den?" tanya pria bernama Maman itu sangat sopan. Delta lantas menghampiri pria tersebut, "Pak Man mau ke mana? Buru-buru amat jalannya," selidik Delta sembari terkekeh. "Ini, Den, Bapak mau ambil meja ke gudang. Disuruh sama Bu Isabell barusan. Tapi, anak Bapak malah lagi nangis di kios kantin, jadi Bapak buru-buru deh, Den ... biar urusannya cepat kelar," tutur Pak Man menjelaskan. Mulut Delta membulat di tengah kepalanya yang manggut-manggut paham. "Ooh, gitu. Ya udah ... Pak Man balik aja ke kios. Kasihan anaknya nanti kalo ditinggal lama-lama," suruh Delta, membuat pria berkulit cokelat itu tertegun menatapnya. "Loh, gak bisa atuh, Den. Kalo Bapak balik ke kios, nanti Bu Isabell bisa marah sama Bapak," ujar Pak Man takut, mengingat bagaimana sifat dosen cantik berwajah sangar itu jika perintahnya tak dituruti. Delta mengibaskan tangan, "Gak usah dipikirin. Biar saya aja yang bawain itu meja buat Bu Isabell," katanya enteng. Mendengar hal itu, Pak Man pun memelotot, "Apa, Den? Aden yang bawa?" "Iya. Saya yang ambil," angguk Delta mantap. "Jangan atuh, Den! Masa Aden yang ambil, nanti--" "Udah deh ... Pak Man percaya aja sama saya. Tahu-tahu beres pokoknya. Mejanya ada di gudang kan?" tanya Delta memastikan. Pak Man pun mengangguk disusul oleh Delta yang kemudian menjentikkan jari, "Oke, kalo gitu saya langsung ke sana. Dah, Pak Man!" Pamit Delta melambaikan sebelah tangan. Kemudian, ia pun setengah berlari meninggalkan Pak Man yang melongo tak percaya. Delta masih berlari kecil di sepanjang koridor yang terlihat sepi. Maklum, namanya juga koridor yang mengarah ke gudang, maka tidak aneh jika keadaannya sepi. Tapi Delta tidak mempermasalahkan hal itu. Dia malah mempercepat ayunan kakinya. Sampai akhirnya, lelaki tampan itu pun tiba juga di depan pintu gudang. Dengan hati-hati, Delta lantas mendorong pegangan pintu tersebut. Dahinya mengernyit saat pintunya dengan sangat mudah ia buka. "Gak dikunci ternyata," gumamnya seraya segera melangkah masuk ke dalam gudang. Baru dua langkah jalan, tapi debu sudah bertebaran di sekitar Delta. Refleks, tangan Delta pun sigap mengusir debu yang hinggap di hidungnya sebelum terhirup. Sementara itu, pandangan matanya mulai terlempar ke mana-mana. Mencari meja yang akan dibawanya sesuai yang dikatakan Pak Man tadi. Namun di tengah kefokusannya yang mencari meja, tiba-tiba saja Delta dikejutkan oleh suara pekikkan seseorang. "Aduh!" Pandangan Delta langsung beralih ke sumber suara. Tampaknya, pekikkan itu ia dengar dari arah timur. Dengan segera, Delta pun bergegas mengayunkan kaki ke arah sana.                                                                                                       ---- Lovely Pov Aku berusaha menjangkau bola basket yang tergeletak di atas tumpukan meja sana. Meja sialan itu pun kenapa harus ditumpuk-tumpuk seperti itu? Bikin susah aja. Salahkan kakiku juga yang pendek! Gara-gara memiliki postur tubuh yang pendek ini, aku jadi agak susah saat mau ambil bola basket tersebut. Gedebuk. "Aduh!" aku memekik saat tanpa diduga ada sebuah buku yang jatuh karena tak sengaja tersenggol hingga menimpuk bahuku. Aku pun merintih. Buku itu lumayan tebal, dan dengan seenaknya benda tersebut menimpa bahuku yang mungil tak bertenaga. Double s**t! Di tengah aku yang sedang mengusap-usap bahu, tiba-tiba saja sebuah sentuhan hinggap di bahu sebelah kiriku. Aku pun terbelalak di tempat. Menoleh ke belakang dan spontan menjerit, "Kyaaaaa," 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD