Chapter 9 - Warehouse (2)

2095 Words
Delta Pov Entah kebetulan atau memang ini rencana Tuhan. Lagi-lagi, gue dipertemukan sama si bibir seksi. Dan itu bikin gue senang bukan kepalang! "Ngapain lo menjerit?" tanya gue berkacak pinggang. Ya. Si bibir seksi tadi memang sempat mengeluarkan jeritan dari bibirnya, dan sekarang dia sudah menatap gue dengan sebal. Oke gue emang selalu nyebelin di matanya! "Kehadiran lo itu udah kayak setan! Gak diharapkan pun tiba-tiba muncul aja," ujarnya terlampau sengit. Sedangkan bagi gue, itu sudah biasa. Gue terkekeh sebentar, terus gue melirik sekeliling sebelum akhirnya memandang lagi si bibir seksi yang sedang menunjukkan muka juteknya. Tapi sungguh, sejutek apapun dia di mata gue akan tetap cantik kok. Hehehe. "Ngapain lo di sini?" Tanpa direncanakan, gue dan Lovely sama-sama tertegun saat dengan serempak kalimat itu terlontar dari mulut masing-masing. "Ngikutin lo!" sentaknya mendelik. Gue pun terkekeh geli, "Bukan ngikutin, tapi kita emang satu hati aja, Sayang...." ujar gue mengedipkan sebelah mata. Alih-alih memberi respon baik, yang ada dia malah memberikan ekspresi muntah berikut kerlingan jengah dari mata belonya. "Lo belum jawab, Lov. Lagi ngapain lo di sini, huh?" Ulang gue pengin tahu, perihal kenapa dia bisa ada di gudang ini. Dia mendengus, terus mendongakkan kepala sambil melihat ke arah bola basket. Wait, apa tujuannya ada di sini hanya untuk bola basket itu? "Mau ambil itu!" Katanya sedikit ketus. Gue pun mengernyit, "Bola basket maksud lo?" Tanya gue berusaha memastikan. "Iyalah! Segede gitu mana mungkin bola golf," semburnya senewen. Sementara gue nyengir lebar karena ternyata dugaan gue tadi tepat sekali. "Emangnya buat apaan bola itu?" lontar gue bertanya lagi. "Mana gue tau. Orang gue cuma disuruh buat ambil bola basket itu sama Pak Lian!" Terangnya melenguh kasar. Pak Lian? Dosen muda yang sering digodain para mahasiswi genit itu? "Mau-maunya lo disuruh dia," sindir gue mendengus. "Namanya juga membantu, apa salahnya sih seorang mahasiswi kayak gue bantuin dosennya sendiri," balasnya seakan membela diri. "Cih! Membantu juga karena lo demen aja sama tuh dosen. Iya kan?" Lirik gue sinis. Tapi si Lovely malah berujung dengan memukul lengan gue sekuat tenaga. "Aduh," pekik gue, "Apaan sih, Lov?" Lanjut gue memprotes. Sepintas, gue juga mengusap bagian lengan yang kena pukulnya. Biarpun tangan kecil, tapi dia memukulnya pakai hati. Jadi, kerasa banget perihnya. Sialan! "Kalo ngomong tuh dijaga! Asal bunyi lo kayak terompet rusak," omelnya mirip emak-emak. "Lah, emang iya kan lo demen sama Pak Lian? Kalo enggak, mana mungkin lo bersedia buat disuruh masuk gudang cuma buat bawa bola basket sialan itu. Di dunia ini gak ada yang gak mengharapkan feedback, Lov. Gue paham itu," Cecar gue sesuai fakta. Dan ya, dia terdiam seribu bahasa. "Tanpa lo bilang, semuanya terbaca secara jelas di sini," lontar gue lagi sembari menyentuhkan ujung telunjuk ke keningnya. "Sok tau lo, m***m!" Bantahnya lantas berbalik membelakangi gue. Gue menghela napas. Di saat gue pikir dia ngambek karena tersinggung sama ucapan gue. Tapi ternyata perkiraan gue salah, dia justru masih berusaha keras buat mengambil bola basket itu lagi. Ya ampun, pantang menyerah banget sih ini cewek! Berhubung gue ini tipikal manusia yang gak tegaan, alhasil gue pun berinisiatif buat bawain itu bola. Badan gue kan lebih tinggi dari dia, jadi cuma dengan angkat tangan saja gue bisa langsung menjangkau benda bulat tersebut. "Lain kali, jangan sok bersedia kalau gak mampu! Sekalipun orang itu yang lo suka, tapi lo berhak nolak kalo gak mau," tutur gue jujur, lantas memberikan bola tersebut tepat ke tangan Lovely. Dia tertegun sejenak. Sampai akhirnya, gue pun dikejutkan oleh suara pelan yang terlontar dari mulutnya, "Makasih," Ya. Ucapan simple itu yang bikin gue tercengang. Biarpun pelan, tapi itu membuat hati gue membuncah bahagia. Tersenyum simpul, gue pun mengangguk. Lalu, sembari berjalan menuju meja yang hendak gue ambil, gue pun sedikit menepuk-tepuk pucuk kepalanya pelan. Hingga tak lama kemudian, gue pun mendengar suara pekikkan Lovely di tengah gue yang hendak mengangkat meja. "Astaga, pintunya kekunci dari luar!" serunya membuat gue refleks menoleh.                                                                                                           ---- Author Pov "SESEORANG, TOLONG BUKA PINTUNYA!" Delta hanya menghela napas panjang saat melihat Lovely masih bersikeras berteriak sambil mengetuk-ketuk pintu berharap seseorang di luar sana mendengarnya. Sudah hampir setengah jam mereka terkurung di gudang yang pengap itu. Beruntung masih ada pentilasi udara di dalam gudang. Kalau tidak, mungkin mereka sudah pingsan berjamaah karena kekurangan oksigen. "Udah deh, Lov, mau lo ketuk-ketuk sampai tangan lo bengkak juga itu pintu gak bakalan kebuka kalo gak ada yang dengar dari luar," celetuk Delta yang hanya bisa bersandar di lemari usang dengan kedua tangan terlipat di d**a. Mendengar itu, Lovely lantas berbalik. Kedua matanya menatap Delta dengan sorot marah. Tapi yang ditatap hanya tenang-tenang saja seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Alih-alih merasa takut, justru pandangan Delta malah tertuju ke bibir Lovely yang selalu menggoda. "Ini semua juga gara-gara lo cowok m***m!" Bentak Lovely menyalahkan. Kontan, Delta pun tersadar dari pikirannya. Ia lantas menarik punggungnya yang merapat ke lemari hingga tubuhnya kembali menegak. Alis tebalnya bertaut bingung seraya menatap balik Lovely tak mengerti. "Kenapa jadi salahin gue? Lo pikir gue sengaja nyuruh orang buat kunciin kita dari luar? Ya kali, kalo pun gue punya niatan kayak gitu ... mending gue langsung bawa lo ke kamar hotel aja terus suruh pelayannya buat kunciin kita di sana," cerocos Delta tak habis pikir. Bisa-bisanya gadis itu melayangkan ucapan yang menjurus bahwa ini semua terjadi karena kesalahannya. "Maksud gue, kalau aja lo gak masuk gudang ini juga, mungkin gue gak akan lama-lama ada di dalam sini. Dan mungkin juga sekarang gue udah kasihin bola basket itu ke Pak Lian tanpa harus terkunci berduaan sama lo kayak yang terjadi sekarang!" papar Lovely menggebu-gebu. Delta tak terima kembali disalahkan seperti itu. Ia pun memajukan langkahnya guna mendekati sang gadis yang kini sedang marah-marah terhadapnya. "Lo ngomong kayak gitu juga cuma mengandelkan kata mungkin aja kan, Lov? Cuma bermodal mungkin belum tentu kejadian juga. Dan lo gak ada hak buat salahin gue! Karena, kalau pun gue gak masuk sini juga, lo bisa aja kejebak sendiri gara-gara gak berhasil ambil bola itu dari tempatnya. Lo lupa, kalo bola itu gue yang ambilin, huh?" Skak mat! Lovely merasa kalah telak setelah mendengar rentetan kalimat yang Delta utarakan barusan. Lovely pun memilih untuk diam. Berusaha merenungkan apa yang sudah dikatakan oleh lelaki di hadapannya. Delta mendesah pelan, tatapannya meluluh saat melihat Lovely hanya terdiam menunduk. Kakinya mulai terayun melangkah lagi memperpendek jarak yang ada. Hingga sekarang, Delta benar-benar sudah berada tepat di hadapan Lovely yang berjarak hanya satu langkah saja. Tanpa Lovely duga, Delta pun meraih dagu gadis itu guna sedikit diangkatnya. Tentu saja, Lovely pun cukup terkejut meski dia hanya mampu membeku di tempat saat tatapan mereka bertemu. "Mungkin Tuhan pengin kita berada dalam satu atap dengan waktu yang cukup lama. Mungkin juga dengan cara seperti ini, gue bisa lebih lama lagi untuk berduaan sama lo, Beauty...."  tutur Delta lembut sekaligus membuat mata Lovely terbelalak.                                                                                                 --- Lovely Pov "Mungkin Tuhan pengin kita berada dalam satu atap dengan waktu yang cukup lama. Mungkin juga dengan cara seperti ini, gue bisa lebih lama lagi untuk berduaan sama lo, Beauty...." Darahku terasa berhenti mengalir saat kata mujarab itu kembali mampir ke pendengaranku. Setelah sekian lama, aku baru mendengarnya lagi kata itu terucap. Tatapan kami masih bertemu. Bahkan aku melihat sorot yang berbeda dari pancaran mata si cowok m***m di hadapanku. Bukan sorot nakal yang b*******h, tapi semacam--entahlah, aku sendiri cukup bingung untuk menjelaskannya. Dia mulai membelai pipiku dengan punggung tangannya. Aku pun tidak memberontak. Tidak tahu kenapa, tubuhku mendadak kaku hanya sekadar menepis tangan halusnya itu. "Gue kangen. Sama semua yang ada di diri lo. Mata lo. Hidung lo. Pipi lo. Terutama, bibir lo ini, Beauty...." bisiknya serak sambil menelusuri setiap inci mukaku dan berakhir di bibirku yang ditekan oleh jempolnya. Entah sejak kapan, aku pun baru sadar kalau saat ini punggungku sudah merapat di permukaan pintu. Sementara itu, tangan kiri si cowok m***m ini menumpu di sisi kepalaku. Intinya, selain terjebak di dalam gudang, aku pun terkurung juga di antara pintu dan tangan milik cowok itu. Poor, me! "Andai aja waktu bisa diputar, mungkin sekarang kita--" "Cukup!" Akhirnya, suaraku muncul lagi. Dia mengernyit. Menatapku penuh tanya. Kubalas saja dengan tatapan benci. Apa aku pernah bilang, kalau aku gak suka membahas masa lalu? "Kenapa?" tanyanya masih dengan tatapan yang sama. Aku mendelik, "Jangan pernah ungkit masa lalu! Gue gak sudi ingat-ingat itu lagi," kataku datar dan menusuk. "Tapi--" "Bagi gue, semua itu cuma kenangan buruk yang gak perlu diingat lagi! Dan gue udah mengubur semuanya sampai gak bersisa satu ingatan pun," desisku menunjuk tepat di mukanya. Dia tersenyum masam. Terus membuang pandangannya ke lantai. Tangannya juga sudah dia tarik. Akhirnya, aku terbebas dari kurungannya. Tapi baru saja aku bernapas lega, mendadak mataku menangkap seekor tikus besar yang melintas ke atas kakiku. "Kyaaaaaa," aku menjerit lagi dan refleks melompat memeluk si cowok m***m sambil mengentak-entakkan kakiku jijik karena tikus jelek itu.                                                                                                            --- Author Pov Alfa berjalan santai melewati dua orang dosen yang sedang berbincang entah membahas soal apa. Yang Alfa dengar, kedua dosen itu menyebutkan kata 'Gudang' dari setiap kalimat pembicaraannya. Tapi sepertinya, Alfa tidak mau ambil pusing dengan ikut memikirkannya. Dia pun memilih untuk mengabaikan dua dosen tersebut yang memang belum dikenalnya itu. Langkahnya kembali diayunkan. Dia memang sedang menjelajahi seisi kampus guna mengingat rutenya juga. Hal itu memang perlu dilakukan, agar Alfa tidak harus tanya-tanya lagi pada orang jika dia sudah tahu dengan sendirinya. Kini dia sudah berada di koridor yang sepi. Di tengah langkahnya, dering telepon pun berbunyi menghentikan langkah Alfa yang sigap merogoh benda tipis di balik saku celana jeansnya tersebut. Setelah melihat tulisan 'Papa' yang terpampang di layar, Alfa lekas menggeser tanda hijau dan menempelkannya di telinga kanan. "Ya, Pa?" Sambut Alfa. "Kamu di mana, Al?" "Di kampus, Pa. Ada apa?" "Sedang ada mata kuliah, ya? "Belum, Alfa lagi jelajah seisi kampus aja dulu. Lumayan, sekalian Alfa kenalan sama beberapa teman yang mungkin nanti akan Alfa butuhkan," terangnya terkekeh. "Good job, Kiddo! But, setelah urusanmu selesai ... bisakah kamu mendatangi kantor Papa? Ada sesuatu yang ingin Papa bicarakan denganmu, Nak!" pinta Gria menyuarakan tujuannya menelepon. "I will come, nanti Alfa kabari kalau urusan Alfa di kampus udah selesai," ujarnya bersedia. Kemudian, percakapan pun berakhir setelah papanya setuju. Baru saja Alfa hendak berbalik arah, telinganya tiba-tiba menangkap suara berisik dari dalam ruangan berpintu cokelat di sisi kirinya. Alfa pun menolehkan kepala ke arah pintu, ia bahkan mendekatkan diri dan menempelkan telinganya di permukaan pintu tersebut. "Itu tikusnya gede banget, b**o!" "Cuma tikus doang, Lov. Gue bahkan punya junior yang jauh lebih gede dari tikus itu," "Berisik! Gue jijik banget sama tikus, Cowok m***m!!" Alfa menarik kembali telinganya. Sepertinya, dia kenal dengan suara perempuan di dalam sana. Lalu, tanpa banyak berpikir Alfa pun mencoba untuk mengetuk pintu tersebut. Tok tok tok, "Ada orang di dalam?" Teriak Alfa di tengah ketukannya. Spontan, suara berisik yang didengarnya pun berhenti seketika. Selang beberapa detik, suara perempuan itu kembali terdengar oleh Alfa. "Di sana siapa?" serunya menjeda, "Oke! Siapa pun elo, tolong dong bukain pintunya. Gue kejebak di dalam gara-gara pintunya ada yang kunci dari luar. Dan sialnya, handphone gue lowbat ... jadi gue gak bisa hubungin temen-temen gue buat datang ke sini," bebernya menjelaskan kronologi. Alfa baru mau membuka suara, tapi suara lelaki di dalam sana membuat Alfa kembali mengatupkan mulut. "Enak aja elo doang. Guenya dibawa juga dong!" "Bodo amat sama elo. Gue gak bahkan gak peduli semisal lo pingsan di sini," "Kejam lo!" "Hei! Lo yang di luar. Bukain pintunya dong! Gue pengin keluar dari dalam sini. Gue udah gak kuat sama debunya. Hei!!" Alfa terdiam sejenak. Mungkin dia memang harus mengeluarkan dua orang itu. Meskipun Alfa belum tahu siapa mereka, tapi setidaknya Alfa tidak akan membiarkan mereka terus terjebak di dalam gudang bukan? "Oke, gue akan dobrak pintu ini. Sebaiknya kalian menyingkir dari depan pintu!" Komando Alfa akhirnya. Hanya beberapa detik, Alfa memberikan kesempatan pada mereka yang di dalam untuk menyingkir. Setelah Alfa rasa mereka menuruti perintahnya, lelaki berahang kokoh itu pun kini sudah berancang-ancang untuk mendobrak pintu cokelat tersebut. Namun belum sempat ia mendobrak pintunya, seseorang datang berseru mencegahnya, "Tunggu!" Alfa pun menoleh sambil menghentikan gerakannya. Dua orang dosen yang dilewatinya tadi, ia lihat sedang berjalan ke arahnya bersama seorang pria tua berkulit cokelat dan seorang pemuda berambut kelimis. Kini mereka serempak berjalan menghampiri Alfa. "Jangan didobrak. Saya bawa kuncinya, Kang...." ujar si pemuda berlogat sunda, menunjukkan anak kunci yang berjumlah banyak. Pemuda itu lantas mendekati pintu, lalu membukanya dengan sekali putaran. Cklek. Saat pintu terbuka, sosok Lovely dan Delta pun muncul bersamaan. "Delta?" "Lovely?" Pekik dua dosen itu berbarengan. Sebelum berhasil mengucap syukur karena bisa terbebas dari gudang yang pengap itu, tubuh mungil Lovely pun ambruk yang segera ditangkap oleh Delta dengan cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD