“Bunuh saja.” Ratu Alexa berujar santai.
Wajahnya berpaling dengan kesal. Tanaman rambat terbentuk sedemikian rumitnya hingga menyerupai singgasana megah beraura sejuk sekaligus mencekam menjadi kursi keagungan ratu Negeri Darkness.
Ratu Alexa menyilangkan kaki lalu sekali lagi menggeram jengkel. Kuku hitam dan panjangnya mengetuk-ngetuk lengan kursi. Hidup tenang dan damainya selama puluhan tahun seketika dihancurkan tangisan seonggok daging itu.
Kalau bukan karena permintaan orang terkasih mana sudi dia melakukan ini. Buang-buang pikiran saja. Masih banyak hal penting yang harus diurus di negeri sendiri. Hanya demi Tirta ia mau menculik bayi. Belum ada dalam sejarah hidupnya melakukan penculikan. Jika sudah menyangkut perasaan terkadang tindakan tidak masuk diakal.
“Sungguh Ratu Alexa, kau ingin melenyapkannya? Bukankah makhluk ini terlalu lucu untuk dijadikan santapan malam para monster di Stadion Gladiator?” Si manusia setengah burung Kaja tertarik dengan bayi itu.
“Dia makhluk berisik. Aku membencinya. Tirta juga meminta bayi itu secepatnya lenyap.”
"Dia hanya mendengar apa kata pria itu," gumam Kaja.
Alexa mendengarnya langsung menoleh, tapi tidak jadi marah melihat Kaja berusaha menenangkan bayi itu. Baru sebentar bayi itu dibawanya ke tempatnya, teliga Alexa pengang. Alexa masih mengingat jelas, ketika dirinya menggendong bayi memasuki hutan. Makhluk-makluk pengisi hutan memerhatikan penuh ingin rasa tahu. Namun, tak ada yang berani mendekat.
“Kita bisa merawatnya, Ratu.”
“Apa katamu?” Alexa berdiri, tungkai panjangnya melangkah lebar menuju tempat bayi Gyusion berada. Bunyi kain berat terseret-seret berhenti di tempat. Dia mengacungkan pisau ke udara, pisau yang sama digunakan menghabisi nyawa ayah bayi ini. Ketika pisau itu siap menghunus jantung si bayi. Mendadak tangisan Gyusion reda. Mata bulatnya memerhatikan Alexa seksama.
Napas Alexa sempat tertahan, lantas berembus jengah. Tidak bisa. Dia memalingkan wajah. “Kau saja yang rawat.”
“Lihat Ratu, dia tersenyum. Bayi ini menyukaimu!" pekik Kaja kegirangan.
“Diam!” teriak Alexa.
Rasa takjub tak bisa dipungkiri Pisau dalam genggamannya dihempas hingga berdenting mengenai batu. Kaja meringis. Hal sepele pun mampu mengundang amarah sang ratu hutan.
Tak lama sekelebat bayangan melayang membuat keduanya waspada. Kaja melebarkan sebelah sayap demi menyembunyi bayi mungil bawaan Alexa dari bahaya. Sedangkan matanya awas memerhatikan sekitar.
“Siapa itu?” Alexa menyipitkan mata terangnya ke salah satu sudut.
Gemerisik dedaunan membuat Kaja siap siaga, dia berdiri dengan gaya kuda-kuda. Siapa pun itu, Kaja bertekad akan menyelamatkan bayi mungil yang sedang memainkan bulu sayapnya. Dia tidak bisa menahan rasa geli ini lama-lama.
Seekor kelinci putih meloncat-loncat dari sana, berlari ke bawah gaun hijau Vexana. Kontan sang ratu hutan yang pemarah menggeram kesal. Kekuatannya melesat ke seluruh penjuru hutan. Burung-burung beterbangan dari dahan pohon. Para makhluk di sekitar sungai berlarian, terlalu hapal amukan ratu mereka.
Sedangkan Kaja si burung besar jadi-jadian tergelak, ternyata ada makhluk yang lebih lancang darinya. Dan itu seekor kelinci. Tawanya tak berlangsung lama sebab bayi Gyusion menangis ketakutan. Kelinci putih tadi sudah menghilang. Sisa-sisa kekesalan Alexa dia bawa duduk di singgasana lagi. Dua makhluk menyerupai batang pohon tampak saling lirik, sebelum menggerakan kipas bulu merak pada Alexa dengan gerakan kaku.
Dalam usaha mengatur napas Alexa memerhatikan rerumputan itu kembali, kelinci bermata merah melongokan kepala di sana, hidungnya mengenyit-ngernyit mengendus tanah. Sebuah tembakan terarah padanya. Hanya sihir kecil dari jemari Alexa, belum sempat menyentuh bulu-bulu halus si kelinci, sihir kecil mematikan milik Alexa memantul begitu saja. Mereka terperangah seorang anak perempuan melompat dari atas bulan sabit yang terbang rendah, diraihnya kelinci putih nakal ke dalam dekapannya. Ketika dia mengeluarkan suara, mengingatkan Alexa pada beberapa makhluk di hutan. Tapi siapa anak itu? Alexa baru melihatnya.
“Kelinci itu milikmu? Enyahkan!”
“Namanya Rabbit. Aku Naya.”
“Aku tidak peduli,” ujar Alexa sembari memijit pelipis. Naya masih berdiri di hadapannya memangku kelinci.“Mau apa lagi? Cepat pergi!”
“Aku mau bayi itu.” Tunjuk Naya.
Kaja sontak menoleh tajam, melindungi bayi yang dimaksud menggunakan sayap lebarnya. Alexa mengangkat wajah perlahan. Naya bersama kelincinya sedang duduk manis di atas bulan sabit mengayun-ngayunkan kaki.
“Ambil saja aku tidak butuh.”
“Tapi jangan bunuh bayi itu," katanya lalu cemberut. “Cukup kalian lenyapkan kakakku, jangan putranya juga.”
“Siapa kau sebenarnya? Kau bukan rakyatku, bukan? Semua nyawa rakyatku ada di tanganku.”
Naya menggeleng kuat. “Bukan. Namaku Naya.”
“Ya. Ya. Jangan memperkenalkan diri lagi.”
“Aku adiknya Ryasion. Aku harus—“ kata-katanya justru tertahan di ujung lidah, dia mendadak takut pada aura menyeramkan Alexa yang terkenal banyak mencuri nyawa manusia demi memperpanjang umurnya. “melindungi keluargaku satu-satunya. Kau terkenal jahat, sedangkan aku tidak akan mampu melawanmu sendirian. Jadi tolong beri kami perlindungan, setidaknya sampai Gyusion besar.”
“Dan dia tumbuh untuk membalaskan dendamnya padaku?” tawa Alexa membahana. “Kau pikir aku bodoh?”
“Tidak. Gyusion akan sangat menyayangimu, aku jamin.”
“Aku tidak membutuhkan kasih sayang bayi lemah seperti dia. Yang aku butuhkan hanya nyawa. Apa kau sanggup memberikannya padaku?”
Naya tampak berpikir. Dia memang nakal, tapi kadar nakalnya tidak keterlaluan sampai membunuh manusia. “Jika itu bisa membuat Gyusion dan nyawaku tetap aman ... akan aku lakukan.”
Mungkin tidak terlalu buruk, Naya akan mencoba pergunakan kekuatannya.
Alexa tersenyum remeh, berhasil menangkap sorot kebingungan di mata bocah kecil itu. Akhirnya dia menyuruh Kaja mempersiapkan tempat tinggal untuk dua manusia itu. Naya tersenyum senang menggendong keponakannya mengendarai bulan sabit.
***
Pondok kecil terbuat dari kayu terletak agak jauh dari kastil Alexa. Kaja menempatkan mereka berdua di sana agar Gyusion tak terganggu teriak Alexa yang terkadang tiba-tiba. Maklum ratu satu itu terbiasa marah-marah. Waktu Naya membuka pintu paginya, dia mendapati seorang gadis tersenyum lebar di depan pintu. Dia memperkenalkan diri sebagai utusan Alexa. Lita bertugas menemani Naya merawat Gyusion. Setidaknya Naya tidak akan terlalu kewalahan mengasuh keponakannya.
Mereka akan mengeluarkan sihir-sihir ajaib ketika Gyusion menangis. Hal itu ampuh mengalihkan perhatian Gyusion. Secara tidak langsung Naya juga terhibur. Gadis yang biasa tinggal di tempat tinggi Azurastone yang ketat akan peraturan kakeknya senang mendapatkan teman. Terkadang karena keasikan bermain mereka sampai melupakan tugas mengasuh Gyusion.
Perlakuan mereka sangat kekanak-kanakan. Kaja menilai mereka bodoh tapi menghibur. Dia mengawasi dari jauh menunggu sampai mana gadis-gadis itu mampu merawat anak manusia.
Setiap hari Kaja mengawasi Gyusion. Tanpa diminta burung itu akan menceritakan apapun yang terjadi tentang Gyusion pada Alexa. Seperti biasa Alexa angkuh seolah tak tertarik sedikit pun.
Namun jauh di lubuk hatinya, Kaja tahu Alexa tetaplah seorang wanita biasa punya rasa keibuan. Apalagi beberapa kali Alexa mendapati Gyusion hampir celaka karena ulah dua peri hutan itu. Alexa sering kesal karena ulah mereka namun hanya bisa berdiri di depan kolam ajaib yang menayangkan segala aktivitas di seluruh sudut negerinya. Melihat Gyusion bermain dan tertawa, Alexa merasa senang. Sesekali ia memerintah Kaja menemani Gyusion bermain jika dua peri asik sendiri.
Entah perasaan apa ini. Alexa merasa dirinya terlalu baik. Sudah terlalu lama dia mempergunakan nyawa manusia sebagai alat memperpanjang umurnya, sekarang kebiasaannya tertahan setiap kali ingin membunuh Gusion.
“Mungkin Ratu Alexa menyayanginya.”
Suara serak tipis dan kurang enak milik Kaja mengundang lirikan ganas sang ratu. Kaja pun menunduk, tidak mau mendapat kutukan ratu hutan. Kaja mengambil langkah mundur perlahan, menyelamatkan diri.