bc

Maha Membolak-Balik

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
BE
family
kickass heroine
heir/heiress
blue collar
tragedy
bxg
scary
loser
lucky dog
harem
chubby
like
intro-logo
Blurb

Apa yang telah diperbuat ayah, hingga membuat istri dan kedua putrinya menolak untuk sayang padanya?

Apa yang telah dilakukan lelaki renta itu, hingga membuat akhir hidupnya terlihat amat menderita?

Namun ajaib, semua berubah.

chap-preview
Free preview
1. Ayah Tak Mau Pakai Pampers
Ini adalah sebuah buku catatan penuh yang berisi kesedihan dan penderitaan. Ayah mencengkeram kuat dipan kasur saat hendak membangunkan tubuhnya sendiri yang semula terbaring dengan mata terjaga. Sementara ibu di sampingnya berkata dengan sedikit kencang, “Ayah, sudah sih! Kalau dibilangin yang nurut. Siapa yang mau bawa ayah ke kamar mandi? Di sini perempuan semua yah! Enggak kuat bawa ayah! Kasihan Arini, dia sebentar lagi mau melahirkan dan Titin, enggak mungkin setiap saat harus meladeni si ayah! Ayah yang ngerti! Sudah, buangnya di pampersnya saja, biar enggak susah!” Tersimpan nada kesal yang kutangkap dari cara bicara ibu dan aku merasa kasihan sekali terhadap ayah. Ayah yang nafasnya naik turun karena kelelahan memaksa tubuhnya sendiri agar bisa terduduk benar, lalu terdiam tak berdaya dengan pandangan menunduk dan aku mendekatinya. Duduk melipat kaki ke belakang dan mencoba memberikan pengertian kepadanya. Aku menggenggam tangannya yang masih padat dan berisi, bicara dengan volume suara agak keras. “Yah, buang airnya di pampers saja ya! Arini tidak kuat yah membantu ayah ke kamar mandi. Ibu dan Titin juga kasihan. Ibu sama sebetulnya seperti ayah yang beranjak rapuh dan Titin, ayah tahu sendiri kan, hampir setiap malam tidak bisa tidur lantaran ayah selalu memanggil-manggilnya untuk minta ditemani. Ayah yang ngerti ya!” Ayah tak merespon apa-apa dan nafasnya kini mulai tenang. Ia kembali meminta, “Mau kencing!” “Iya! Ayah kencingnya di pampers saja!” “Di pampers enggak ke luar,” ayah bernada lirih. “Ke luar! Itu cuma perasaan ayah saja!” ibu memaksa. Ayah bergeming sesaat. Ia kemudian mengangkat kepalanya pelan dan memandang ke sudut ruangan. Pandangannya seperti kosong dan tiba-tiba bola matanya melebar. Ia seperti ketakutan! Aku yang meski menangkap keanehan itu tetap hanya bisa diam dan dalam hati bertanya-tanya, apakah yang sebenarnya terjadi pada ayah? Mengapa tatapan ayah janggal sekali? Sorot matanya seakan ditarik oleh sebuah kekuatan besar yang nampak dan seolah menyaksikan sesuatu yang … Ah, sulit aku menerjemahkan dengan kata-kata yang sempurna, sebab baru kali itu aku melihatnya dan mendadak sebuah getaran ketakutan menyelusup. Tetapi tak ada apa-apa di dalam kamar ini dan hawanya masih tetap sama. Aku mencoba menormalkan suasana hatiku dan secepat mungkin mengubahnya. Jangan sampai perasaan berlebihan yang muncul, karena menyaksikan respon ayah barusan membuat aku bicara terus terang dan mengakibatkan gelisah ibu dan Titin, walau aku sendiri tidak bisa memastikan apakah sebenarnya yang kini dirasakan ibu dan Titin yang juga masih terus memperhatikan ayah. Semoga perasaan mereka berbeda denganku dan mereka tak memiliki pemikiran apapun selain hanya yakin, bahwa ini semua terjadi karena sakit yang ayah derita, bukan sebab lainnya. “Yah, ayah buang airnya di pampers saja ya? Kalau sambil duduk susah, coba sambil rebahan lagi. Terlentang, siapa tahu lebih mudah ke luar.” Ayah kini menatap tajam ke sudut, lalu menyipitkan matanya. Aku pura-pura tak menggubris. “Ayo, yah!” Aku bangkit perlahan sambil memegang perut yang buncit, kemudian menarik nafas dalam. Aku lalu berpindah ke sisi ayah sembari tetap memegang tangannya. Tanganku yang satu lagi berada di bagian punggung ayah. Sengaja kutaruh agar dapat menjadi sandaran bagi ayah yang mungkin akan segera mengerti dan mau merebahkan kembali tubuh gempalnya berangsur-angsur ke atas kasur tanpa perlu mengentakkannya, seperti yang pernah terjadi berulang kali sebelumnya. Akan kujaga baik-baik tubuh ayah yang mulai rapuh itu. Meski berat, tetap akan kutopang sekuat tenaga. Semoga calon bayi yang ada dalam kandunganku pun mau diajak bekerja sama dengan baik. Ayah lalu mengalihkan pandangan ke arahku, namun sorot matanya semacam tak berisi. Kosong dan nyaris seperti hilang arah. Aku manatapnya dan kulihat kini, ayah bisa memfokuskan pandangan. Lalu kurasakan lewat kekuatan tanganku, pelan-pelan ayah mendorong tubuhnya sendiri ke belakang dan aku menahannya dengan sekuat tenaga agar tubuh ayah tidak terbanting ke kasur. “Tin, bantu!” Ibu merentangkan sebelah tangannya yang bermaksud meminta Titin untuk segera mendekat dan membantuku dan ia melakukannya dengan gesit. Ibu melakukan gerakan serupa yang kulakukan barusan. Ibu menggenggam tangan ayah dan yang satunya memegang bahu ayah kuat-kuat. “Kamu di belakang Tin!” Titin yang mengerti, karena memang sudah seringkali diminta tolong melaksanakan tugas semacam itupun tak menentang. Ia setengah berdiri di belakang ayah dengan kedua tangannya menempel kuat pada punggung ayah. Kami bertiga berusaha sekuat tenaga untuk tak membiarkan tubuh ayah terbanting ke kasur. Ayah rebah. Titin segera turun dan bergerak menjauh. Ayah memandang kosong langit-langit kamar. Ia lalu menyibakkan selimut yang selalu menutupi bagian k*********a. Nampaklah ukuran pampers yang besar dan bertuliskan di depannya XXL, serta kedua kakinya yang t*******g begitu gempal dan berkeriput di beberapa bagian. Ibu beristighfar sambil cepat-cepat menutupkan lagi selimut itu pada kaki ayah. Namun ayah kembali menyingkapnya dan kali ini dengan gerakan yang sangat kasar, hingga kain selimut itu terpental ke sisi tubuh ayah. Ibu mengulangi gerakan barusan sambil berkata, “Yah, jangan dibuka sih! Aurat! Malu sama Titin!” Aku melihat sekilas Titin yang menyaksikan ayah dengan tatapan biasa. Aku jadi ingat saat baru beberapa hari Titin bekerja di rumah kedua orang tuaku, ibu mengatakan jika menurut pengakuannya, Titin pernah mengurus kakeknya saat mulai sakit-sakitan. Ia yang mengelapi badannya, menggantikan pampers, bahkan sampai menayamumkan bagian kaki sang kakek. Sakit kakeknya itu justru lebih parah dibandingkan ayah. Tetapi dengan istiqomah, lelaki tua itu masih tetap mendirikan kewajibannya sebagai makhluk berakal Sang Pencipta. Salat, membaca Al-Qur’an, bahkan masih sanggup untuk menunaikan puasa sunah. Masya Allah, sungguh bergetar jiwa ini, jika mengingat cerita itu dan andai ayah seperti itu, pastilah kami, aku dan ibu akan senantiasa berbahagia menemani ayah melampaui hari-hari sebelum sakit menggerogoti kekuatan fisiknya. Akan tetapi ini justru kebalikannya dan ibu sangat jengkel sekali. Mengapa di saat usia sudah mulai menua dengan kemunculan tanda-tanda yang tak mungkin dipungkiri -rambut beruban, kulit berkeriput, dan melemahnya fisik- ayah tak kunjung mendekatkan diri kepada Tuhan? Ibu mencintai ayah. Sangat mencintainya dan aku tahu itu. Bukan lantaran aku pernah mendengar tentang kisah masa muda mereka yang dilampui dengan tutur dan sikap romantis yang diberikan satu sama lain atau mengenai perdebatan kecil yang berujung selalu pada sebuah kata maaf. Bukan dan memang aku tak pernah mendengarnya. Melainkan aku tahu dari setiap keputusan yang ibu ambil. Bukankah mereka saling membersamai tak kurang dari kurun waktu empat puluh tahun? Bukankah itu cukup untuk membuktikan kekuatan cinta di antara mereka? Kesetiaan cinta yang mereka miliki satu sama lain? Walau kutahu seringkali cinta terhadap manusia lain sifatnya amatlah terbatas dan tidak sempurna, tetapi ini cukup menunjukan bila ibu dan ayah memang saling mencintai. Terlepas dari prahara apa saja yang pernah menimpa biduk rumah tangga mereka.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
474.5K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
521.1K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
613.6K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
473.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook