bc

Not A Young Man

book_age16+
974
FOLLOW
3.5K
READ
love after marriage
age gap
CEO
bxg
office/work place
spiritual
selfish
like
intro-logo
Blurb

Sebuah lamaran dari Ettan Aldari—lelaki yang berusia lima tahun di bawah Indira—itu rupanya menjadi sebuah penyesalan terbesar Indira. Bukan karena sifat remaja Ettan yang labil dan tidak dewasa, bukan juga karena Ettan yang menyelingkuhinya. Namun karena yang menikahinya bukanlah Ettan, melainkan ayahnya—Panji.

***

Kebingungan melanda Indira Olivia saat ia telah digiring ke pelaminan karena ia tidak menemukan Ettan di pelaminan. Sebaliknya, ia justru menemukan seorang pria berbadan kekar dan berwajah sangar yang tengah duduk dan mengenakan baju pengantin milik Ettan.

Penyesalan langsung menghampiri Indira saat ia tahu bahwa yang menikahinya bukanlah Ettan, tetapi Panji yang berstatus ayah dari Ettan. Tidak, Ettan tidak lari dari pernikahan. Dia adalah lelaki penuh tanggung jawab. Ia bahkan berada di barisan para tamu dan menatap ke arahnya.

Kini, mimpi Indira untuk menjadi istri telah hancur. Ia menikah dengan orang yang seharusnya tidak menjadi suaminya. Ia menikah dengan orang yang tidak pernah ia kenal sebelumnya meski ia pernah melihat wajahnya di dalam foto. Dan semuanya terasa semakin menyakitkan saat Indira mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa Ettan telah menjadi anaknya.

Apa yang terjadi sebenarnya?

Akankah Indira mampu menjalaninya?

*****

Cover (edit) by Rliaaan

Bahan cover (foto) by Pixabay

FONT: Lily Script One dan iCiel Gotham-Thin

chap-preview
Free preview
NAYM 01 - Kedatangan Ettan
"Indira, kamu pulang sama siapa?" tanya Mirnawati—ibu dari Indira—heran saat melihat anak gadisnya yang baru satu tahun lulus kuliah itu diantar oleh seorang lelaki. Selama ini Indira tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun. Indira menjatuhkan tubuhnya lelah di atas kursi yang busanya sudah tidak empuk lagi. Tubuhnya terasa sakit dan pegal saat harus bertubrukan dengan kerasnya kursi yang ia duduki saat ini. Seharusnya setelah pulang bekerja seperti ini, ia bisa beristirahat dengan lebih leluasa. Tubuhnya yang sudah seharian bekerja itu pun butuh relaksasi. Namun, Indira masih sadar diri. Ia tidak dapat berharap banyak dan tidak ingin menuntut ini dan itu. Indira hanyalah seorang gadis yang terlahir dari keluarga sederhana, punya kursi saja ia sudah bersyukur. Rasanya tidak pantas jika ia meminta ini dan itu sementara ia sendiri tidak bisa memberikan banyak pada orang tuanya. Gajinya sebagai pegawai kantoran hanya cukup untuk makan dan membiayai keperluan ibu dan ayahnya. Terlahir sebagai anak tunggal memang cukup menyulitkan, semua beban Indira tanggung sendirian karena ia tidak ingin membebani orang tuanya. Bukannya Indira tidak sayang pada orang tuanya, hanya saja ia merasa masih sangat jauh untuk bisa membahagiakan orang tuanya. Mungkin saja jika ia memiliki saudara, dia bisa membagi bebannya dan sama-sama membahagiakan orang tua mereka. "Sama teman, Bu," jawab Indira sambil meringis pelan saat ia menggerakkan lehernya. Terasa ingin patah dan hancur saat itu juga. Tangannya terbuka lebar di sisi kursi. Ia memejamkan matanya erat saat kantuk dan lelah semakin tidak tertahankan. "Teman yang mana? Selama kamu satu tahun kerja, enggak pernah ada teman yang nganterin," tanya Mirnawati heran. Memang benar, selama satu tahun Indira bekerja, tidak pernah ada teman laki-laki Indira yang bertandang. Indira selalu pergi dan pulang dengan teman perempuannya saja. Indira membuka matanya paksa. Ia berusaha memahami kekhawatiran sang ibu dan melupakan lelahnya sejenak. Ia tidak ingin ibunya menjadi sasaran di saat tubuhnya tengah benar-benar lelah. "Dia itu teman Indira di organisasi kepenulisan, Bu. Tadi Indira enggak sengaja ketemu dia di jalan pas lagi nyari angkot. Karena angkotnya enggak dateng-dateng, Indira pulang sama dia, deh!" jelas Indira sambil menatap wajah keriput sang ibu. Maklum saja, sudah malam. "Memangnya dia enggak kerja? Dia juga pasti capek," tanya Mirnawati heran. "Enggak kerja dia. Orang dia masih kuliah, baru aja masuk kuliah! " Mirnawati tampak terkejut mendengarnya. Badan laki-laki yang ia lihat tadi seperti bukan tubuh dari remaja laki-laki. "Berarti dia lebih muda dari kamu?" tebak Mirnawati kepayahan, ia sudah tua dan juga ia putus sekolah di bangku SD. Terkadang, ia sulit memahami suatu hal meski itu adalah hal yang sederhana. Di keluarganya, yang berpendidikan hanyalah Indira. Anaknya itu mampu menggapai gelar sarjananya dengan penuh semangat. Meski mengalami jatuh bangun, Indira sama sekali tak menyerah. Mungkin hal itu juga yang menjadi penyebab Indira enggan berdekatan dengan lelaki untuk beberapa tahun ke depan. Indira ingin memfokuskan dirinya pada keluarga dan pekerjaannya. "Iya, lima tahun di bawah Indira!" jawab Indira. Mirnawati mengangguk paham. Ia kemudian memerintahkan Indira agar segera pergi ke kamarnya dan membersihkan diri lalu beristirahat. Anaknya itu pasti sangat lelah karena bekerja seharian dan besok harus bangun pagi dan bekerja sampai lembur lagi. Indira berlalu ke kamarnya dengan pelan. Kakinya terasa berat dan tumitnya sakit karena terus mengenakan sepatu hak setinggi tiga centimeter. Saat membuka kamarnya, Indira merasa terenyuh saat melihat kamarnya yang sudah rapi. Pagi tadi ia berangkat sangat terburu-buru karena ia terlambat bangun sehingga ia tidak sempat membereskan kamarnya yang sangat berantakan. "Ini pasti ibu yang beresin," gumam Indira merasa bersalah. Ia terlalu banyak merepotkan orang tuanya. Terutama ibunya, ia terlalu sibuk pada dunianya sehingga jarang membantu sang ibu yang mengurus rumah sendirian. Kemudian, ia masuk ke kamarnya dan langsung mengambil baju lalu pergi ke kamar mandi yang terletak di luar kamar. Belum sempat kakinya memasuki kamar mandi, sang ibu jauh lebih dulu mencegahnya. Mirnawati pun memasuki kamar mandi dan menumpahkan air panas ke dalam ember lalu mencampurnya dengan air dingin. "Mandinya pakai air hangat, ya. Udah malam ini," ucap Mirnawati sambil berlalu pergi meninggalkan Indira yang lagi dan lagi merasa sangat bersalah pada orang tuanya. Ia tidak bisa memberikan lebih kepada orang tuanya yang selalu saja memberikan semua keinginannya. *** Hari ini adalah hari libur dan Indira berniat untuk mengajak orang tuanya jalan-jalan. Ya meski hanya bermodalkan taksi online, Indira berharap hal itu dapat membahagiakan ibu dan ayahnya. Ia belum bisa memberikan ayah dan ibunya mobil karena jangankan mobil, untuk membeli sebuah motor saja Indira sudah berjuang sekeras-kerasnya. Sampai saat ini ia pun belum memiliki motor karena uang yang ia tabung habis tak tersisa. Ia harus membayar hutang-hutang keluarganya. Adzan shubuh berkumandang sehingga membuat Indira bangun dari tidurnya. Telinganya seperti menangkap sebuah panggilan khusus yang ditujukan untuk dirinya. Ia terduduk sebentar di atas kasur dan langsung pergi keluar untuk mengambil wudhu. Matanya yang semula masih mengantuk dan lengket pun tiba-tiba terbuka sempurna saat air wudhu mengenai wajahnya. Kesadarannya langsung kembali. Setelah itu, Indira bergegas untuk pergi ke kamarnya dan memulai sholatnya. Indira mungkin bukanlah gadis yang pandai dalam hal agama, tetapi Indira selalu berprinsip untuk tidak melanggar apa yang telah Allah tetapkan. Bermodalkan ilmu yang diajarkan gurunya dari SD hingga SMA, Indira pun berusaha mengamalkannya. Indira tampak sangat khusyuk dalam sholatnya. Ia hanya bisa bermunajat kepada Allah agar selalu memberinya ketabahan dan rezeki yang berlimpah. Karena jujur saja, terkadang jiwa di dalam tubuh Indira menolak keras saat hidupnya tidak mengalami perubahan. Keinginan untuk menjadi seperti teman-temannya yang mempunyai kehidupan bebas pun terkadang menghantui Indira. Namun, Indira berusaha menepisnya dan membulatkan tekadnya. Selepas sholat, Indira bergegas pergi keluar. Ia menghampiri sang ibu yang tengah menyapu rumah. Dengan cekatan, tangannya pun mengambil alih pekerjaan sang ibu dan meminta ibunya untuk duduk di kursi. "Ibu enggak perlu masak sarapan hari ini, Indira mau ajak Ibu sama ayah jalan-jalan!" beritahu Indira sambil menyapu lantai dengan semangat. Indira sangat senang karena bisa membantu sang Ibu. Ibunya memang selalu menyapu setelah shubuh karena jika matahari sudah bersinar terang, ibunya akan sulit membersihkan setiap sudut rumah. Ia dan ayahnya pasti akan berkeliaran di dalam rumah dan membuat pusing ibunya. Selain itu, ibu Indira pun terkadang menerima jasa setrika untuk menambah penghasilan. "Memangnya mau ke mana? Kamu punya uang?" tanya Mirnawati heran. Beberapa hari yang lalu, Indira telah menghabiskan banyak uang untuk membayar hutang mereka dan akan sangat mengherankan saat Indira justru mengajak jalan-jalan. Indira menyengir lebar. "Cuma jalan-jalan cari sarapan aja, sih. Keliling stadiun gitu. Mau, kan?" tanya Indira memastikan. Ia takut orang tuanya menolak karena mungkin saja mereka berekspetasi akan diajak ke mall. Kalau itu, Indira belum bisa. Mungkin awal bulan ia baru bisa mengajak orang tuanya ke mall. "Mau aja Ibu, mah. Ayah juga pasti mau. Tapi kamu ada enggak uangnya? Kalau enggak ada, ya, enggak usah," jawab Mirnawati senang. Ia tidak ingin menuntut banyak hal pada Indira. Indira yang mau patuh dan hormat saja sudah cukup baginya. Indira tersenyum senang. Alhamdulillah, orang tuanya memang tidak pernah memberatkannya. "Ada, Bu. Tenang aja," ucap Indira menenangkan. *** Mirnawati mengernyit heran saat mendapati seorang pria tengah berdiri di depan rumahnya. Ia pun memincingkan matanya dan terperanjat seketika. "Indira, bukannya itu laki-laki yang anterin kamu kemarin? Kok, dia ada di depan rumah kita," tanya Mirnawati heran saat melihat lelaki yang beberapa hari lalu mengantar anaknya pulang itu justru tengah berdiri di depan rumahnya. Indira yang tengah menenteng beberapa bungkus makanan pun menengok. Dahinya mengernyit heran saat melihat teman organisasinya berada di depan rumah. "Iya, bener. Indira juga enggak tahu kenapa dia bisa ada di rumah kita," jawab Indira bingung. Ia pun memilih untuk mendekati lelaki dengan perawakan besar dan umur yang masih menginjak remaja itu. Tangannya menepuk pelan bahu dari laki-laki yang saat ini tengah membelakanginya. "Ettan?" panggil Indira. Lelaki yang tengah sibuk menatap ponsel itu pun langsung membalikkan badannya dan terkejut saat melihat Indira yang tengah berdiri di depannya. Jantungnya berdebar keras saat melihat ada sepasang orang tua yang tengah mendekat ke arahnya. Ia menduga, mereka adalah orang tua Indira. "Kak Indira," gumam Ettan pelan. Kepalanya tertunduk dalam saat menyadari tatapan tajam yang Indira layangkan. "Ngapain kamu di sini? Ada keperluan apa?" tanya Indira menyelidik. Ia memperhatikan penampilan Ettan yang sangat rapih dari biasanya. Lelaki yang baru saja lulus SMA setengah tahun yang lalu itu tampak formal dan tampan secara bersamaan dengan jas hitam yang dipadukan bersama celana jeans hitam kekinian. "Aku—" "Ngobrolnya di dalem aja, enggak enak dilihat tetangga. Indira, jangan jutek-jutek sama lelaki," nasihat Mirnawati sambil membuka pagarnya. Ia kemudian mempersilahkan Ettan untuk memasuki rumahnya. Saat pintu pagar dibuka, mata Ettan langsung menelisik setiap sudut rumah Indira yang terkesan sangat sederhana. "Ayo, masuk. Maaf, ya, rumahnya kayak gini," ujar Mirnawati tak enak hati. Dari penglihatannya, Ettan adalah anak orang kaya dan sudah pasti anak muda yang beberapa waktu lalu mengantar anaknya itu tidak nyaman berada di rumahnya. Ettan tersenyum kikuk. "Enggak masalah, Bu." Indira merengut tidak suka. Ia menatap Ettan dengan nyalang karena ia merasa tidak membuat janji apa pun dengan Ettan. Indira yakin, pasti ada maksud terselubung dari kedatangan Ettan kali ini. Akan sangat aneh jika Ettan tiba-tiba bertandang ke rumahnya tanpa alasan. Ia dan Ettan memang berteman dalam sebuah organisasi kepenulisan. Namun, bukan berarti Ettan bisa bertandang ke rumahnya sesuka hati. Jika sudah seperti ini, Indira menyesal karena menerima ajakan Ettan malam itu. Seharusnya ia tolak saja agar Ettan tidak tahu di mana rumahnya. Jujur saja, Indira merasa risih jika berdekatan dengan laki-laki karena ia benar-benar tidak ingin hancur hanya karena seorang pria. Indira banyak mendengar kisah dari teman-temannya yang justru mengalami kehancuran saat mulai mengenal seorang pria. Mereka mengatakan jika pria yang awalnya mereka kenal dengan semua kebaikannya itu seakan berubah drastis setelah hubungan mereka terjalin lama. Pria itu seolah mencampakkan mereka begitu saja dan pergi setelahnya. Dan hal inilah yang Indira takuti. Alasannya untuk masih menutup hati dan terus fokus pada keluarganya hanyalah karena ia tidak ingin salah melangkah. Jika ia hancur, ia tidak hanya menghancurkan dirinya, tetapi juga keluarganya. "Bu, kenapa harus disuruh masuk?!" protes Indira saat melihat Ettan yang tengah duduk di ruang tamunya. Remaja itu duduk dengan tenang dan sesekali melihat-lihat isi rumah Indira membuat Indira yang melihat hal itu pun merengut tidak suka. Mirnawati menghentikan kegiatannya. Ia menatap pada sang anak yang masih berdiri di dekat dapur dan menatap tajam Ettan yang sama sekali tidak menyadari tatapan tajam Indira padanya. Mirnawati menggelengkan kepalanya pelan. Ia tidak bisa mengerti apa yang ada di dalam pikiran Indira. Menurutnya, boleh saja Indira menjaga jarak dengan laki-laki. Namun, ia rasa Indira terlalu berlebihan. Tidak semua laki-laki berperangai buruk. "Eh, itu temanmu, loh. Jangan kayak gitu, ah. Mungkin dia mau ngobrol tentang organisasi sama kamu," tegur Mirnawati heran. Ada-ada saja anaknya ini. Kedatangan teman bukannya merasa senang justru merasa kesal bukan kepalang. Indira semakin merengut tidak suka. "Enggak ada yang mau diobrolin, kok. Dia datang tiba-tiba ke sini. Enggak jelas banget!" Mirnawati sudah tidak ingin meladeni Indira. Anaknya itu sudah seperti phobia terhadap laki-laki, padahal ia sendiri yakin jika Indira normal. "Udah, ganti bajumu sekarang. Masa mau nyambut tamu pakai baju olahraga yang udah kena keringat!" titah Mirnawati semakin membuat Indira kesal dan menghentakkan kakinya saat berjalan. "Bukan tamu juga, enggak perlu ganti baju!!" dumel Indira, tetapi tetap mengganti bajunya. Bukan karena ingin menyambut Ettan, tetapi ia tidak tahan terus-menerus memakai pakaian yang sudah basah oleh keringat. Mirnawati berjalan pelan menghampiri Ettan yang sibuk dengan ponselnya. Ia meletakkan segelas air di hadapan Ettan yang terkejut dengan kedatangannya. Ettan dengan spontan menaruh ponselnya dan memusatkan perhatiannya pada Mirnawati. "Eh, kaget, ya?" tanya Mirnawati kikuk. Ettan terkekeh kecik dan menggeleng pelan. "Enggak, Bu. Malah saya mau minta maaf, nih. Gara-gara saya datang ke sini, ibu jadi repot!" ucap Ettan tak enak hati. Sebenarnya ia merasa sedikit ragu untuk mengunjungi rumah Indira di hari libur seperti ini. Ia takut mengganggu waktu istirahat Indira dan keluarganya. Namun, Ettan sendiri merasa tidak memiliki kesempatan lagi. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ia punya. Mirnawati tersenyum maklum. "Ah, enggak masalah. Ibu malah seneng kalau ada temen Indira yang datang ke sini, apa lagi cowo. Beuh, mantap. Ganteng lagi!" balas Mirnawati sambil sedikit memberi candaan. Ettan terkekeh malu mendengarnya. Ia merasa terlalu disanjung oleh ibu dari temannya itu. "Ibu bisa aja," ujar Ettan sambil mengalihkan pandangannya pada Indira yang ternyata telah berdiri di belakang ibunya. Mata dari perempuan yang selama ini berteman dengannya di organisasi itu tampak memandangnya tajam. Ettan sesekali melirik pakaiannya. Apa ada yang salah ia gunakan? Ah, sepertinya bukan itu penyebab Indira menatapnya tajam. "Ibu!" panggil Indira keras. Mirnawati menengok dan langsung tersenyum lebar. Ia kemudian berlalu pergi dan meninggalkan Ettan beserta Indira yang saling terdiam. Ettan merasa dirinya mati kutu karena sejak tadi ia selalu diam seperti patung saat Indira menatapnya tajam. "Mau apa ke sini?" tanya Indira jutek sambil menatap remaja setengah ingusan di depannya. "Mau main," jawab Ettan. Ettan memejamkan matanya. Ia merutuki dirinya sendiri yang menjawab pertanyaan Indira dengan jawaban yang sangat menyebalkan. Main? Dia pikir Indira teman sekolahnya? Ouh, tidak. Ia harap Indira tidak mendengarnya dengan baik. "Apa? Main?" pekik Indira tidak percaya. Ia menatap Ettan nyalang saat remaja yang masih berusia 18 tahun itu secara tidak langsung menganggapnya sama seperti teman sekolahnya. Ettan gelagapan di tempatnya. Ia buru-buru meralat ucapannya dan menatap Indira dengan senyum lebarnya. "Eh, enggak. Aku mau ngobrol sama ayah. Iya, sama ayah!" ralat Ettan cepat. Rasa gugupnya membuat ia tidak bisa berbicara dengan benar. Ia bahkan tidak dapat mengontrol ucapannya. "Apa kamu ada urusan sama Ayah?" tanya Farhat—ayah Indira—saat ia tanpa sengaja mendengar perbincangan anaknya beserta teman organisasinya. "Iya, Ayah. Saya ingin membicarakan hal penting pada Ayah terkait Kak Indira." Indira mengernyitkan dahinya heran. Ia menatap Ettan dengan penuh tanda tanya saat Ettan justru ingin membicarakan dirinya. Ini benar-benar aneh. Sebelumnya, Ettan sama sekali tidak mengenal ayahnya dan bahkan ia baru pertama kali bertandang ke rumahnya saat mengantarnya pulang. Farhat yang mendengar hal itu pun duduk berhadapan dengan Ettan. Sepertinya ini perbincangan yang serius. Matanya menatap tajam pada Indira yang tampak keheranan. Semoga saja tidak ada hal buruk yang akan menimpa keluarganya. "Memangnya ada apa?" tanya Farhat penasaran. Ettan menegakkan tubuhnya. Ia menarik napasnya dalam dan melontarkan kalimat yang berhasil membuat satu penghuni rumah terkejut mendengarnya. "Saya ingin melamar Kak Indira!"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

My Secret Little Wife

read
97.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook