Pertemuan

2381 Words
Ayu PoV. Pagi ini mataku kembali terjaga setelah dengan susah payah aku berusaha memejamkan mata. Melawan bayangan-bayangan kelam yang menyedihkan. Seperti biasa, aktivitasku adalah bekerja di salah satu yayasan panti jompo. Aku bersiap-siap membersihkan diri, menggunakan outfit yang memudahkan ibu hamil bergerak. Ya, aku hamil. Hadiah dari cinta satu malam sialan, itu! berhasil menanamkan benih. Tak apa, aku menghendaki hadirnya janin yang saat ini sedang aktif menendang-nendang di perutku. Seharusnya ini sudah jadi masa cuti. Namun belum kuambil karena aku masih ingin bekerja, bertemu dengan puluhan nenek dan kakek yang membawa kebahagiaan tersendiri untukku. Tak jarang, saat tiba-tiba saja ingatan menakutkan itu berputar di benakku, mereka meluruhkan takut dan sedihku dengan senyuman mereka. Menakjubkan bukan? Kontrakan tempat aku tinggal dan rumah jompo memang tidak jauh, jaraknya hanya 5 menit dengan berjalan kaki untuk sampai ke rumah jompo. Sesampainya di rumah jompo, rumah yang didominasi oleh warna putih itu, aku melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Aku memang sedikit telat hari ini karena semalaman susah untuk memejamkan mata. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah para sukarelawan yang sedang menyiapkan sarapan di meja kotak berukuran besar. Para lansia kemudian berkumpul. Beberapa dari mereka masih mampu makan sendiri, dan beberapa yang lainnya disuapi oleh para relawan. Sukarelawan di sana tidaklah banyak, hanya ada lima orang termasuk aku. Serta mengurusi dua puluh orang lansia. Di sana mereka diberikan dua shift agar semuanya terpantau siang dan malam, mengingat beberapa di antaranya sudah mengalami pikun. Setelah selesai menyantap sarapan, beberapa dari mereka kemudian bercengkrama satu sama lain. Membicarakan banyak hal tentang kehidupan yang berlalu begitu cepat, tanpa mampu mereka hitung lagi tiap detiknya. Ada juga yang masih membanggakan para putra putrinya. Saling berdebat bahwa anak-anaknya lah yang terbaik, meskipun mereka sadar tak ada anak baik, yang membawa orang tuanya sendiri ke panti jompo. Kadang aku tak mengerti, bagaimana bisa mereka hidup jauh dari orang tua yang dengan susah payah, membesarkan mereka sampai bisa hidup enak?! Dan diantara banyak cerita, mereka yang ditelantarkan oleh anaknya sendiri, adalah cerita yang paling kejam yang pernah aku dengar. Eh, bukannya kisahku sama dengan mereka? Terbuang oleh orang yang mereka sayang. Menyadari itu aku hanya bisa tersenyum ironi. “Ayu, bisa minta tolong pergi ke kamar Nek Odah? Dari kemarin sore dia enggak mau makan. Barangkali dibujuk olehmu dia mau,” pinta Ratih. Salah satu rekan sukarelawan di yayasan itu. Aku mengiyakan, dan segera ke arah dapur mengambil sepiring makanan, satu gelas air putih, dan tak lupa satu buah pisang ambon juga ikut memenuhi isi nampan yang kubawa. Selepas dari dapur, barulah Aku langkahkan kakiku menuju kamar Nek Odah. Pemandangan itu, tak jarang aku melihatnya. Wajah murung yang sering mengarahkan wajahnya ke arah benda berbentuk persegi panjang itu, benda yang menampakan hamparan sawah di luar sana. Tatapannya kosong, seolah menunggu seseorang yang entah kapan datangnya. “Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam, mencoba menginterupsi lamunannya, tapi Nek Odah masih setia dengan sudut obyek pandangannya. Mengabaikanku! “Nek makan dulu ya," pintaku. Ia menggelengkan kepalanya. “Nenek cuma mau makan kalo ada Supri.” Suaranya lirih, seperti menyimpan selaksa kesedihan. Supri adalah anaknya, seorang bisnisman kaya raya yang menitipkan Nek Odah ke panti ini dengan dalih bahwa agar Nek Odah lebih terawat karena di rumah tidak ada yang menjaga. Dia sibuk bekerja. Meski menurutku ia hanya membual saja. Dengan uangnya ia harusnya bisa memperkerjakan seorang suster untuk merawat Nek Odah. Tanpa harus mendepak Nek Odah ketempat ini. “Kapan dia datang?" Maksudnya adalah Supri, anaknya. Entahlah, sudah beberapa bulan ini dia tak berkunjung, yang tak pernah absen adalah transferannya ke yayasan. “Kenapa lama sekali?" lanjutnya bertanya. Aku mengulas senyum. Senyum dibalik perih yang menjerit. “Katanya Pak Supri lagi sibuk Nek, lagi banyak tender. Pak Supri akan mengabari kalo dia sudah ada waktu untuk berkunjung,” jawabku berbohong untuk menyenangkan hati Nek Odah. “Nenek makan ya, biar Ayu siapin.” Nek Odah kembali menggelengkan kepala. “Nenek Cuma mau makan disuapin Supri!” Nada suaranya meninggi—penuh keputus asaan— lalu pandangannya kembali mengarah ke arah jendela. Aku menarik napas dalam. “Ayu juga kan anak Nenek, ini lihatlah.” Akuu meraih tangan keriputnya mengarahkannya tangan itu untuk menyentuh perutku yang sudah besar membulat. “Ini juga Cucu nenek, bentar lagi lahir. Katanya si di-USG dia laki-laki,” kataku untuk menyenangkannya. Wanita lansia itu pun mulai tertarik dengan obrolan ini. Kini manik matanya yang sayu berkeriput itu memandang ke arah perutku. “Ini cucu Nenek?” tanyanya. Aku mengangguk. “Kalo Nenek gak mau makan, nanti Cucunya sedih loh,” rayuku lagi. Dan berhasil, air wajahnya berubah. Ia tersenyum, dan akhirnya mau mengunyah makanan yang kusodorkan ke dalam mulutnya. Kita satu server Nek. Batinku bergemuruh bersama dengan rasa perih. *** “Udah mau makan Yu?” tanya Ratih ketika melihatku masuk ke dapur. "Alhamdulillah udah, Tih” jawabku. selanjutnya tanganku sibuk menurunkan piring dan gelas kotor ke dalam Washtafel. “Ini ada acara apa, Tih, kok masak lebih banyak dari biasanya?" Mataku menyapu, melihat banyak sekali sayur-mayur dan lauk mentah yang akan diolah. “Bakal ada donatur baru, Yu. Ini buat penyambutannya. Nanti bantuin masak ya Yu.” Aku mengangguk tanda mengiyakan. Tentu saja, yayasan ini memerlukan donatur, tidak semua yang di sini dari keluarga berkecukupan seperti Nek Odah. Ada juga yang beberapa dari jalanan atau yang tak punya lagi sanak saudara dan mereka mengangkut ke yayasan ini. “Orang mana donaturnya, Tih?" Aku mencoba bertanya hanya sekedar basa-basi. Peduli apa, sejujurnya aku tak terlalu mau memperhatikan siapa saja donatur di yayasan ini. Yang mengurus hal itu adalah bagian administrasi. Sedangkan aku hanya bertugas sebagai relawan saja, membantu para lansia di sini. “Enggak tahu Yu, tapi katanya dari luar kota,” jawabnya. Aku mengangguk. Karena tugasku sudah beres di bagian depan, akhirnya aku membantu Ratih memotong sayuran. Dua jam setelah acara uprak-uprek di dapur selesai, tak lama satu mobil berwarna putih itu masuk ke halaman pekarangan itu. Aku tak ikut menyambut, karena itu urusan kepala yayasan dan bagian administrasi yayasan. Tugas diriku dan Ratih hanya menyiapkan jamuan untuk tamu istimewa kami hari ini. Aku dan Ratih menyusun kue-kue basah serta beberapa gelas teh manis hangat sebagai jamuan. Menu yang kami masak tadi kami simpan di panci-panci makanan yang sudah tertutup rapih agar terjaga kehigienisannya. Tutup itu akan dibuka nanti setelah tamu istimewa kami selesai berbincang dengan ketua yayasan, dan kami kembali menjamunya dengan makanan utama yang saat ini masih tersusun rapih di dapur. "Ayu, bikin teh manis angetnya empat gelas saja. Tamunya cuma ada dua orang, dua lagi buat saya dan Pak Damar,” pinta Bu Dina, bagian administrasi yayasan ini. “Baik Bu, sudah saya siapkan,” jawabku. Setelah berpesan seperti itu beliau kembali ke depan untuk menyambut tamu yang sudah berdiri di depan teras. Aku melanjutkan menata nampan dengan aneka kue basah. “Nanti kamu yang antar nampannya ya, Yu, ini aku masih bikin menu terakhir, sambal,” pinta Ratih sambil mengacungkan cobek di tangannya. Ratih memang tampak sedikit kerepotan. Aku harus banyak berterimakasih kepadanya. Dia selalu memberiku pekerjaan yang ringan-ringan saja. Ya, itu salah satu dari banyaknya anugrah yang Tuhan berikan kepadaku. Termasuk diberi orang-orang yang baik di sini. Aku berjalan ke ruang tamu membawa nampan berisikan jamuan , di ruang tamu terdengar sayup-sayup perbincangan mereka. Fokusku ke nampan yang sedang kubawa. Takut-takut isinya tumpah. Masuk ruang tamu aku sedikit mengangguk kecil ke arah mereka, tapi tanpa melihat jelas ke arah mereka. Kususun piring-piring berisikan kue dan juga gelas, di atas meja kayu berbentuk persegi itu. Setelah selesai menyusun makanan, Aku undur pamit. Kali ini aku sedikit mendongakkan kepala, sedikit menatap mereka. Dan... bagai disambar petir di siang bolong. Mataku membulat sempurna. Seketika tubuhku remang, jantungku serasa dipilin ketika netraku bertabrakan dengan netra milik orang di depanku saat ini. Tatapan dalam sepasang iris mata bening itu mampu membuat dadaku bagai ditikam sembilu, perih, sesak. Jantungku berpacu dua kali lebih cepat akibat dari hantaman godam tak kasat mata ini. Kenapa harus sekarang? Batinku melihat pria itu sedang menatapku dalam, pandangannya turun ke arah perutku. Refleks aku menyentuh perutku, karena tiba-tiba saja bayi di dalam perutku menendang dengan segitu kerasnya hingga membuatku sedikit meringis. Seolah tahu bahwa Laki-laki yang ada di hadapan kami adalah ayahnya. Tidak cukup sampai sana, keterkejutanku kembali menyapa saat melihat seorang wanita cantik duduk di sampingnya. Wanita itu, wanita yang dulu pernah Aku temui saat... ah aku tidak ingin mengingatnya. Terlalu menyakitkan. Apakah Adi sudah menikahi wanita itu? Bukankah dia belum memberiku Talak? Batinku kembali bergemuruh penuh tanya. Aku lupa, jika laki-laki boleh berpoligami. Berbeda dengan kami perempuan. Aku terkungkung tepat seperti yang hari itu ia ucapkan kepadaku, cukup stigma yang menjadi panah untuk menghancurkan hidupku. Pria itu tak menjatuhkan talak, tapi dia pun tak menjalankan kewajibannya kepadaku. Keji. Ya tuhan, kenapa semesta sebercanda ini terhadapku. *** Adi Pov. Pagi ini Mama Rita menyuruhku untuk mendatangi sebuah yayasan panti jompo di daerah Bandung, ini adalah calon yayasan yang akan keluarga kami santuni. Sudah menjadi kebiasaan keluarga kami menyisihkan persenan kami setiap bulannya untuk disumbangkan ke beberapa yayasan. Tidak selalu menjadi donatur tetap. Namun kali ini Mama Rita ingin menjadi donatur tetap di salah satu yayasan yang direkomendasikan oleh temannya. “Di, nanti berangkatnya sama Nisa ya,” ucapnya. Hah? Kenapa mesti Nisa sih? Masih saja Mama mencoba menjodoh-jodohkan aku dengan Nisa selepas kepergian istriku. Gerutuku dalam hati. Ups, lebih tepatnya Aku yang menyuruh wanita itu pergi Mama Rita pernah meminta agar aku segera melupakan wanita itu. Padahal itu adalah hal tersulit yang harus kulakukan karena luka membekas hitam di hatiku. Mama juga tak seharusnya lupa bahwa anaknya itu belum mengeluarkan talak. Jadi tidak semestinya Aku buru-buru mencari seorang pengganti. “Kenapa harus sama Nisa Ma? biar Adi pergi sendiri aja." Aku mencoba protes. “Biar ada temennya, perjalanan ke Bandung butuh waktu beberapa jam. Kalo sendiri di jalan kan bosen, Di. Makanya Mama nyuruh Nisa nemenin. Udah Mama telepon orangnya, katanya sih lagi di jalan.” Mama Rita menjelaskan, tangannya masih sibuk mencarikanku pakaian yang cocok untuk dikenakan olehku. Setelah wanita itu pergi, Mama Rita lah yang membantuku mengurus keperluanku, tak jauh berbeda dengan saat aku belum menikah. Kalian boleh mengatakan bahwa aku laki-laki manja. Namun ketahuilah, kami para pria lemah di hadapan wanita. Wanita bagi kami bagai payung yang menyejukkan relung jiwa. Pun dengan Ayu, meski dirinya telah menyakiti, tapi tak mudah menyingkirkan daksa yang terlanjur terpatri di sanubari. Mulutku boleh saja tajam, sejatinya hati ini tetaplah miliknya. “Tuh suara mobil Nisa Di. Biar Mama sambut dulu ya.” Mama Rita meninggalkanku dan pergi keluar menyambut Nisa setelah menyimpan setelan baju di atas ranjang yang akan aku pakai hari ini. Tak lama Aku keluar kamar, dan di ruang tamu sudah tampak Nisa menunggu dengan gaun casual-nya. Mataku pedih melihatnya. Gaun itu lebih cocok untuk sesi foto dibanding untuk pergi ke sebuah yayasan. Aku mencoba tak membahasnya, bukan urusanku juga dia akan mengenakan baju apa. Akhirnya kami bergegas pergi melakukan perjalanan ke Bandung. Laju mobil membelah angin yang menghalangi jalannya. Wajah Nisa terlihat sumringah. Berbanding terbalik denganku yang tampak biasa-biasa saja. Di perjalanan kami lebih banyak diam. Nisa pun sudah memahami karakterku yang irit bicara ini, tapi sekali bicara hem... ya begitulah. Sesekali Nisa mengajakku berbincang, dan aku hanya menjawab sekenanya. Bandung. Akhirnya mobilku masuk ke perkarangan yayasan, rumah yang di d******i warna putih dan terdapat pohon beringin besar di depannya. Jika tempat ini dijadikan tempat syuting horor sepertinya akan cocok. Aku dan Nisa turun. Kami disambut oleh dua orang. Seorang laki-laki tinggi besar dan sudah berumur, dan satu lagi seorang wanita yang bila ditafsir mungkin umurnya baru tiga puluh tahunan. Mereka menyambut Aku dan Nisa dengan hangat. Menggiring kami untuk memasuki sebuah ruang tamu berukuran sedang. Kami berbincang banyak, tentang kondisi yayasan, tentang rencana-rencana kedepannya, tentang fasilitas yayasan dan bermuara dengan rencana keluargaku yang akan menjadi donatur tetap di yayasan ini. “Jadi begini Pak Damar. Seperti yang Pak Damar ketahui sebelumnya bahwa keluarga kami berniat untuk menjadi donatur tetap di Yayasan ini. Semoga dengan donasi yang kami berikan bisa membantu segala keperluan yang dibutuhkan untuk Yayasan ini,” jelasku kepada Pak Damar. Pak Damar tersenyum senang mendengar penuturan niatku. “Alhamdulillah, Pak Adi. Kami sangat berterimakasih terhadap bantuan donasi yang keluarga Pak Adi berikan. Semoga donasi yang mengalir dari keluarga Pak Adi bisa menjadi shodaqoh jariyah untuk keluarga besar Pak Adi,” ucapnya syarat akan doa. “Aamiin,” jawabku atas doa yang disematkan Pak Damar terhadap keluargaku. Perbincangan kami cukup lancar, sesekali ketua yayasan bernama Pak Damar itu membuat orang yang berada di ruangan itu tertawa. Rupanya Pak Damar pandai melawak. Tapi aku tidak bisa merasakan lagi lawakannya ketika seorang wanita masuk. Membawakan nampan berisikan jamuan. Ayu, batinku. Dia ayu, istriku yang sudah 8 bulan ini tidak aku ketahui keberadaannya. Kini Ayu di hadapanku, netra kami bertemu. Aku bisa melihat guratan keterkejutan di wajah Ayu, sama denganku yang terperanjat andai aku tak pandai menguasai diri. Kini pandanganku tertuju pada perut buncit itu. Dia hamil? Apakah dia sudah menikah lagi? Bahkan talak pun belum aku jatuhkan. Sungguh wanita tidak tahu malu. Belum bercerai saja sudah main serong. Kasihan sekali anak yang ada di dalam kandungannya mempunyai ibu macam dia! Aku mengumpat kesal dalam hati. Setelah Ayu merampungkan tugasnya menjamu tamu, dia berbalik ke arah dapur meninggalkan mereka yang masih banyak bercerita ngalor-ngidul ini. Pak Damar masih bercerita banyak tentang histori berdirinya yayasan ini. Namun suara Pak Damar nyaris tidak terdengar di telingaku. Karena hanya ragaku saja yang berada di ruangan ini, tapi pikiran diriku berada di dapur sana. Di tempat sekarang Ayu berada. Sial, kenapa perasaan aku tidak karuan seperti ini. Marah, benci, kecewa, iba, serta rindu yang bersatu padu. Rumah yayasan ini kusebut rumah hantu barusan tadi, rupanya justru akan menjadi rumah yang sering kusambangi nanti. Setidaknya urusanku dengan Ayu harus selesai. Acara kunjungan telah selesai, aku dan Nisa pamit undur diri. Aku melajukan mobil menuju Jakarta. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam. Nisa tak berani bertanya, mungkin karena melihat raut wajahku yang menegang. Akhirnya kami hanya sama-sama diam. Sejujurnya untuk sikap Nisa yang satu itu aku cukup senang. Dia perempuan yang pandai menempatkan situasi. Hanya saja, entahlah kenapa susah sekali kalbu itu mencair untuknya. Sekali pun Mama sudah berusaha keras mempersatukan kami. Kini aku sudah di rumah. Di dalam kamar kurobohkan tubuhku di atas ranjang big size. Ranjang yang membawaku mengingat malam penyatuan itu. Pikiranku melayang, menyusun kepingan demi kepingan di masa itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD