Adi PoV.
Delapan bulan lalu
Ramainya suara musik band masih memenuhi gedung pelaminan. Namun makanan sudah hampir tandas dari meja prasmanan, tanda sebentar lagi acara akan paripurna.
Acara pesta pernikahan yang kami bayangkan telah terwujud. Pelaminan yang megah, kebahagian menguap bersama riuh para tamu yang hilir-mudik mengucapkan selamat kepada kami.
Dari kejauhan terlihat dua orang yang aku kenal sedang berdiri bercengkrama. Aku meminta izin kepada Ayu, istriku untuk menghampiri dua orang jomblo yang sedang memegang gelas minuman itu.
"Sayang, Aku ke sana dulu ya."
“Iya, aku juga mau ke sana ya Mas.” Tangan Ayu menunjukan satu sudut di mana teman-temannya berada.
Akhirnya kami berpisah, membaur dengan teman mereka masing-masing. Aku menghampiri dua pria jomblo yang masih belum juga laku itu.
“Wih, pengantin datang Bro,” ramai si Revan menggodaku. Aku hanya tersenyum menanggapi godaan dirinya.
“Malam pertama nih yeee....” Sekarang giliran si Aldo yang menggodaku. Kembali aku hanya melemparkan senyum tipis menanggapi ucapan Aldo.
“Ketemu darah perawan nih ye." Aldo masih saja berceloteh, kali ini aku tidak mengerti maksudnya. Bodoh dan polos memang beda-beda tipis. Namun, percayalah untuk hal s*x tidak banyak yang kutahu. kalau boleh jujur nonton film biru pun aku tak pernah.
“Maksudnya?” tanyaku dengan wajah Naif.
"Nah kan bener, umurnya aja lebih tua dari
pada kita ya Van. Pengalamannya nih” Aldo membentuk angka nol di jari tangannya di hadapan Revan.
Cih, tapi aku akui untuk hal yang satu ini Aldo ahlinya. Aku dibuat tidak mengerti kenapa para gadis nempel kaya perangko di tubuh si Aldo ini, entah pelet apa yang dia pakai
“Biar gue ajarin bro, nanti pas belah duren umumnya wanita akan mengeluarkan darah. Pokoknya enak-enak sedap,” wajahku seketika pucat, antara malu dan gugup. Malam pertama yang akan terjadi nanti adalah hal yang pertama kali yang akan kulakukan. Sudah kukatakan aku bukan bad boy yang sering mengganti-ganti pasangan. Mencoba-coba onderdil dari satu onderdil satu ke onderdil lainnya. melihat wajah naif ku membuat Aldo semakin tertawa renyah.
“Sok tahu lu Do, kaya yang pernah aja,” sergah Revan yang dari tadi terlihat lebih santai di banding Aldo.
“Tahu lah, udah tiga perawan gue tiduri. Dari ketiganya, semuanya berdarah,” jelas Aldo dengan nada suara yang semangat.
Aku dan Revan, dua orang pria bodoh dan polos ini hanya tersenyum. Dan Aldo, memang tidak usah dipertanyakan lagi bagaimana sepak terjang si playboy satu itu.
***
Satu hari setelah Ayu Lestari, wanita dua puluh lima tahun itu aku persunting. Ayu langsung kuboyong ke rumah baru kami. Rumah yang Mama Rita hadiahkan untuk kami sebagai kado pernikahan.
Rumah yang tidak terlalu besar ukurannya, tapi tetap tidak mengurangi nilai dalam hal estetik-nya. Rumah dengan desain minimalis moderen dengan didominasi bahan kayu ini adalah rumah ideal di ibu kota. Desain taman hijaunya bisa sebagai peluruh lelah saat tuntas beraktifitas di luar rumah. Tak mereka sangka Mama Rita memberikan hadiah dengan sebaik ini.
Aku melihat Ayu yang dari tadi berdiri di sampingku, pandangannya menyapu ke segala sudut ruangan. Terpancar rasa kagum saat netranya merangkum sudut demi sudut di dalam ruangan ini.
“Kamu suka,” tanyaku menginterupsi fokus Ayu.
“Suka Mas, suka banget. Ini rumah impian aku,” jawabnya dengan senyum merekah bak bunga mawar yang bermekaran di pagi hari.
“Kalo aku gak suka,” kilahku.
“Loh ko bisa? Ini rumah bagus loh Mas.” protes Ayu dengan halisnya yang hampir menyatu.
Aku menggelengkan kepalaku. “Karena aku sukanya kamu,” godaku dengan wajah yang kubuat setenang mungkin. Terlihat pipi Ayu memerah, ah senang sekali rasanya aku bisa melihat pipi Ayu merona malu seperti itu.
“Ah, Mas Adi gombal." Tangan Ayu mencubit pinggangku, sontak aku terkekeh geli.
“Ih Mas, masih aja godain,” rengeknya. Kali ini cubitannya lebih keras dari yang pertama.
“Aw, ampun, Yu. Ampun." Aku meraih jemari tangannya dan kukecup punggung tangan itu, lembut.
"Ayo kita ke atas melihat kamar kita," kuulurkan tangan ke arahnya. Ayu menurut, menyambut uluran tangan yang sudah mengambang di udara.
kami langsung melangkah menaiki anak tangga dan sampai ke lantai atas di mana lantai atas berisikan ruangan kamar juga ruang kerja. Membuka pintu kamar, mata Ayu makin terlihat berbinar saat kamarnya terdapat balkon yang mengarah ke luar.
Ornamen di ruang atas tidak kalah dengan ruang bawah. Masih dengan tema minimalis moderen. Gaya rumah ala Jepang yang dengan furniture-furniture yang tidak terlalu padat.
“Mas, aku suka banget. Ya ampun, Mama baik sekali ngasih rumah ini buat kita. Mas tau? Ini rumah impianku." Senyumnya semakin merekah bak bunga wijaya kusuma yang mekar di malam hari. Ayu langsung berlari kecil ke arah balkon kamar.
Mama Rita memang pernah membahas ini sebelumnya. Ayu, wanita cantik yang sekarang menyandang gelar Istriku itu adalah seorang yatim piatu, dia dibesarkan di salah satu panti asuhan. Melihat cerita hidupnya yang tidak begitu baik. Mama Rita mengatakan ingin membahagiakan menantunya itu.
Aku dan Ayu memang dipertemukan oleh Mama Rita. Bukan cerita siti nurbaya yang dijodohkan. Kami berdua tertarik satu sama lain, hingga Mama Rita tak perlu susah payah lagi merancang kedekatan kami. Ya, anaknya yang bujangan ini memang tertarik dengan anak panti asuhan itu.
Kala itu Ayu sedang mengantarkan minuman saat aku dan Mama bertandang di panti yayasan. Wanita polos itu mengeluarkan semburat merah jambu di pipi mulusnya saat aku melihatnya untuk pertama kalinya, itulah kali pertama kali aku jatuh dalam pesonanya.
Perlahan aku mendekati Ayu yang sedang melihat pemandangan di balkon kamar ini.
Aku bisa merasakan tubuh Ayu menegang saat aku berada sangat dekat dengan tubuhnya. Ini sudah malam, pas sekali waktunya untuk memadu kasih. Bukan begitu?
Aku membalikan tubuh Ayu menghadapkanku. Kuusap pipi mulus milik Ayu yang bak sutra itu. Kuperlakukan dengan sangat hati-hati, layaknya benda yang ringkih. Aku tidak ingin membuatnya retak barang sedikitpun. Pipi Ayu terasa menghangat.
Kala manik mata kami beradu, Ayu kembali menundukkan wajahnya.
“Kenapa?"tanyaku saat kedapatan Ayu yang mengalihkan atensinya dari netraku.
“Aku malu Mas,” jawabnya.
Duh, haruskah kukatakan bahwa aku juga malu, lebih tepatnya, gugup. Meski begitu kututupi kecanggunganku. Ya, aku harus jadi sang Casanova hari ini.
Kecupan mesra itu mendarat di benda halus milik Ayu. Ayu hanya terdiam tidak membalas, kaku.
Aku mencoba merengkuh Ayu, memangku tubuhnya untuk menjalani ritual peribadahan. Atensi kami semakin mendekat hingga Ayu bisa mencium aroma citrus tubuhku dari dekat.
Aku bisa melihat wajah Ayu semakin mempesona. Membawanya ke dalam gulungan ombak cinta, naik hingga ke atas nirwana. Membuat degup jantungku berpacu lebih cepat.
“Aku mencintaimu,” ungkapku tepat di dekat telinga Ayu. Ayu tersenyum malu, semburat merah jambu kembali menghiasi pipi mulusnya. kami terkekeh bersama di dalam sunyinya malam raya.
"Benar Mas cinta sama aku?"
"Tentu," jawabku dengan satu tanganku masih setia mengelus pipis lembutnya.
Lama aku pandangi wajah Ayu yang ayu, sesuai namanya, Ayu. Ayu semakin salah tingkah. Kami terdiam cukup lama, memandang satu sama lain. Hingga tak ada percakapan yang tercipta. Hanya tersisa dengkuran nafas yang sudah tidak teratur.
Dan terjadilah apa yang seharusnya terjadi. Waktunya memandu indahnya cinta.
Membuat kami seperti digulung ombak besar, masuk hingga pusaran samudra lalu dihempaskan lagi ke bibir pantai. Begitu seterusnya hingga aku dan Ayu hanyut di atas samudra lepas. Ibadah malam yang membuat para bidadari surga iri terhadap kami. Gugur sudah kewajibanku karena telah ditunaikan.
***
Matahari sudah berada di peraduannya. Mataku kembali terjaga, hal pertama yang aku lihat adalah wajah Ayu yang lelah.
Ya, semalam aku telah menyergapnya begitu panas, pantas jika Ayu lelah.
Tak sangka sugesti untuk menjadi sang Casanova semalam bisa berjalan dengan mulut. Oh ayolah, jangan tanyakan bagaimana bisa seorang buta s*x bisa melakukan s*x seketika. Selayaknya makanan tau di mana mulut berada. Pun dengan 'itu'.
Turun dari ranjang hendak ke kamar mandi, Aku menyibakkan selimut. Namun ada yang membuatku penasaran, teringat kata Aldo yang berbicara tentang darah perawan. Entah setan apa yang mendorongku, tiba-tiba saja aku penasaran apa Ayu juga mengeluarkannya.
Kususuri pandanganku ke sprei putih itu untuk mencari bercak darah. Tidak ada! Aku bahkan tidak menemukan benda berwarna merah tersebut.
Hingga aku teringat kata-kata Aldo yang mengatakan bahwa umumnya para gadis perawan akan mengeluarkan darah pada malam pertamanya. Apakah Ayu sudah tidak suci lagi? Hatiku tiba-tiba mencelus, perih mengiris kalbu. Mungkinkah.
Semenjak malam itu aku tidak lagi bisa bersikap manis kepada Ayu. Prasangka buruk ini masih bergumul di dalam jiwaku. Tak mampu aku tumpahkan, tapi juga tak mampu kutampung selamanya sehingga membuatku tidak mampu hanya untuk sekedar melihat Ayu. Setiap melihat Ayu rasa perih itu seperti kembali teriris. Bagai luka yang menganga lalu ditabur garam. Perih.
Setiap malam aku memilih menghindar dari Ayu. Pulang larut malam untuk menghindari kontak dengan Ayu. Setidaknya Ayu sudah tertidur saat aku sudah di rumah. Pagi harinya aku akan pergi pagi-pagi sekali dan Ayu akan menyiapkanku sarapan. aku selalu menolaknya, setiap kali Ayu menyerahkan bekal makananku. aku bilang
"Aku biasa makan di kantin atau akan makan saat meeting nanti siang," dustaku.
Bisa kulihat wajah mendungnya Ayu ketika kerap kali aku menolak apapun yang ia sajikan untukku. Mekipun begitu Ayu selalu berusaha tersenyum, tapi bagiku mendung itu tersirat jelas di wajah manis Ayu.
‘Maaf’, hanya kata itu yang tersemat di dalam relung hatiku kepadanya. Aku belum bisa mengeja rasa. Marah, kecewa juga rindu beradu saling berebut menjadi unggul. Hingga akhirnya aku sendiri bingung, sebenarnya apa yang aku inginkan.
Tiba sepekan setelahnya, aku menemukan ada pesan yang masuk ke gawai Ayu. Pesan dari seorang pria yang berucap rindu. Sialan! Ayu benar-benar bermain api. Wanita yatim-piatu itu telah menipuku. Apalagi yang ia inginkah jika bukan harta. Tak aku biarkan keluargaku dia adidaya. Aku usir Ayu di malam itu juga.