Ayu PoV.
“Yu wajahmu pucat." Ratih membuyarkan lamunanku.
“Hah?!” tanyaku, sejujurnya aku tidak terlalu fokus apa yang ia katakan barusan..
“Wajahmu pucat,” jelasnya kembali. Telunjuknya mengarah ke hadapan wajahku.
Aku berdiri menghadap kaca yang ada di sudut dinding, kupandangi wajahku yang kuyu lengkap dengan bibir pucat ini.
Kususuri sudut bibir yang pucat ini dengan jemariku. Rupanya pertemuan tadi bukan hanya berdampak pada psikologis ku, tapi juga pada fisikku. Laki-laki itu, lihatlah! Kehadirannya membuat setitik cerita yang ingin pernah aku kubur dalam, justru tersingkat kembali. Ya Rabb, rindu itu masih ada, cinta itu masih ada, dan kecewa itu masih ada. Masih terasa nyata. Tidak mudah memang menghilangkan setitik rasa yang pernah merajai relung jiwa.
“Kamu melamun lagi?” tanya Ratih kembali yang memperhatikanku sedari tadi.
“Beristirahatlah, kandunganmu sudah 34 minggu. Kenapa belum ambil cuti?" todongnya.
“Aku masih ingin bekerja, di sini aku bisa melepas penat.” Melalui hari di panti bagiku sendiri merupakan amunisi dalam mengisi kosongnya jiwa.
“Lalu jika kamu lahiran di sini bagaimana? Aku gak mau ya kalo disuruh gendong tubuhmu yang berat itu. Mau nyusahin Pak Damar?” racaunya.
Aku tersenyum tipis, dia tahu bahwa Ratih tak benar-benar berkata begitu. Ucapannya mungkin pedas, tapi maksud hati dia baik. Ratih, adalah salah satu perempuan berjasa dalam hidupku. Dia yang membawa dunia baru untukku, diapun yang ikut serta membantuku hari itu. Ya, di sini lah dunia baruku. Di dalam yayasan panti jompo.
Dunia yang membantuku untuk survive dalam keterpurukan. Dari sini pula aku belajar, bahwa diriku bukan satu-satunya manusia yang terbuang. Dengan melihat senyum para lansia di sini memberikanku energi bahwa cinta itu banyak jalannya. Tidak hanya sekedar dari mereka, dan tidak selalu untuk mereka yang tidak menghargai cinta. Mereka tidak perlu mengemis cinta. Karena di sini pulalah merekapun bisa membangun cinta.
“Dua minggu lagi aku ambil cuti,” tuturku pada Ratih.
“Tidak!” tolaknya Ratih tegas. "Kandunganmu 34 minggu. Mau cuti dua minggu lagi? Yang benar saja! Tidak ada jaminan kamu akan melahirkan di minggu ke 36. Dulu aku saat melahirkan Reyhan melesat jauh dari hari perkiraan lahir, yang harusnya lahir di minggu ke 39 justru lahir lebih awal di minggu ke 36. Aku paham bahwa panti ini adalah dunia bahagiamu saat ini, tapi bukan berarti kamu mengerjai kami para penghuni panti kalo ternyata kamu lahiran mendadak. Dan lihat ini." Ratih menunjuk wajahku, “Wajahmu malah pucat seperti itu. Lupa minum obat penambah darah?” Mulutnya yang pedas tidak sebanding dengan wajahnya yang cemas sehingga membuat Aku terkekeh geli.
“Kamu tidak bakat jadi pemeran antagonis Tih,” ejekku pada ibu satu anak itu.
“Aku tidak sedang main seni peran,” sarkasnya.
“Ambilah cutimu, jangan pikirkan masalah lahiranmu. Roy semalam menghubungiku. Pekan depan ia akan berlabuh dan mengambil cuti agar bisa siaga menemanimu.”
“Aku harap dia tidak kembali terlibat dalam pusaran masalahku yang tanpa muara ini. Aku takut hutang budiku semakin banyak terhadapnya." Aku menurunkan pandanganku, teringat Roy sama dengan teringat masa laluku yang kelam. Di mana sore itu Ayu terlihat sangat menyedihkan.
“Ada, pasti ada muaranya. Kamu saja yang memilih terjebak dalam labirin tanpa berusaha mencari jalan keluarnya. Sudah kukatakan, temui suamimu. Ambil keputusan! Jika ia masih tak mau mendengar penjelasanmu maka berpisah adalah solusinya. Kamu manusia, bukan hewan. Kamu berhak mendapatkan status yang jelas.”
Demi apapun, Ratih, tak usah kamu menyuruhku untuk menemuinya, siang tadi justru ia yang datang ke tempat ini. batin Ayu. Ratih saja yang tidak tahu bahwa sosok pria tampan itu adalah suamiku. Mungkin jika bukan karena kehadirannya yang tidak terduga tadi, Aku tidak akan bertemu dengannya. Karena Aku terlalu pengecut untuk menemuinya secara sengaja.
Teramat takut jika Mas Adi tetap menuduhku kembali dengan segala kelakarnya, teramat takut jika Mas Adi tetap menutup mata dan telinganya dari kebenaran, teramat takut jika Mas Adi tidak mempercayainya jika aku mengandung anaknya.
Ketakutanku teramat banyak. Dan di sebrang rasa takut tersimpan rasa sakit, sakit saat mendapati Mas Adi bergandengan dengan wanita lain saat hari itu.
Setelah semua itu apa masih bisa aku menghadapnya?
“Ah ya, mengenai Roy, bukan maunya terlibat, tapi kamulah yang dari awal membuatnya mau tidak mau harus terlibat. Kamu pikir sepupuku orang jahat? Dia tidak sekejam itu membiarkan wanita yang sedang hamil yang sedang meminta tolong.”
Ratih benar, akulah yang sedari awal melibatkan Roy dalam setiap masalahku. Aku pula yang memintanya untuk mengajakku ke Bandung agar bisa menghindari laki-laki itu.
Roy sangatlah membantu, begitupun Ratih. Kalo tidak karena mereka mungkin saat ini aku sudah jadi wanita gila di trotoar jalan. Jahat sekali rasanya jika setelahnya aku harus mengusir hadirnya Roy dalam hidupku. Jika begitu, bukankah justru aku akan dicap sebagai wanita tidak tahu diri?
Eh, tapi aku masih bersuami. Apa tidak nanti justru aku akan dikatakan wanita tidak bermoral. Masih bersuami tapi sudah kemana-mana dengan laki-laki lain, terlebih aku tahu bagaimana perasaan Roy terhadapku.
Ya, walaupun yang masih mengetahui bahwa aku masih bersuami hanya Ratih dan Roy tentunya. Namun, siapa yang tahu kelak tabir itu akan terbuka. Terlebih Mas Adi justru menjadi donatur di tempat itu. Pastinya ia akan sering ke Yayasan. Ya ampun, haruskan aku berlari untuk bersembunyi.
“Maaf aku harus berbicara keras padamu, terkadang untuk membuka hati yang kaku sesekali perkataan keras diperlukan. Segeralah selesaikan urusanmu. Jangan sampai status anakmu tidak jelas nantinya. Kau mengerti maksudku, Roy mencintaimu. Dia bersedia menjadi Ayah sambung untuk anakmu. Pikirkan baik-baik." Ratih menepuk pundakku pelan.
“Sudah sore, aku pulang duluan. Dan satu lagi, jangan lupa minum suplemenmu.” Ibu satu anak itu hendak berlalu meninggalkanku setelah mengingatkan akan suplemenku.
Seperginya Ratih, wajahku kembali mendung. Ratih tidak tahu bahwa wajah pucatku bukan karena diriku lupa meminum suplemennya, tapi karena laki-laki tadi. Laki-laki yang pernah memberi air telaga di saat aku dahaga.
Sore ini aku menyeret kaki yang terasa lebih berat dari biasanya. Teringat kata-kata Ratih
'Roy mencintaimu. Dia bersedia menjadi Ayah sambung untuk anakmu'
Akankah keadaan saat ini membuatku terjebak dalam lingkaran cerita segi tiga? Cinta terhadap dua laki-laki yang berbeda. Yang satu, laki-laki yang merupakan cinta pertamaku, laki-laki yang pernah menjadi alasanku untuk membangun asa.
Dan satu lagi, laki-laki yang datang sebagai dewa penolong. Laki-laki yang mengorbankan banyak waktunya untuk menemani wanita yang hampir gila itu, juga laki-laki yang menawarkan cinta yang mewah. Seperti yang ia pernah ucapkan kepadaku lewat pesan singkatnya.
'Pergilah dari nerakamu, dan datanglah kedalam dekapanku. Niscaya akan kuberikan surga untukmu. Kubangunkan istana yang indah untukmu dan anak-anak kita'
Kata-kata yang sedap di dengar tapi juga tidak begitu dengan mudah kupercaya. Pernah gagal dalam hal kepercayaan membuat diriku selalu di landa pesimisme.
***.
Adi PoV.
Brak
“Bisakah kamu membuat laporan dengan benar?!" pekikanku menggema ke seluruh sudut ruangan.
“Maaf Pak, akan saya perbaiki” jawab sesal diucapkan oleh salah satu bawahanku yang sedang menyerahkan hasil laporan bulanan.
“Pergilah, perbaiki!” usirku.
Satu pekan setelah pertemuan itu perangaiku menjadi memburuk. Pikiranku tidak karuan, benci dan rindu masih menggerogoti.
Tidak jarang diriku uring-uringan tidak jelas seperti saat ini. Juga tidak mengerjakan pekerjaan dengan baik, melamun di depan layar laptop tanpa melakukan apa-apa, pikiran hanya melayang kepada wanita itu. Wanita yang memberi kebahagiaan sesaat, wanita yang sudah mengkhianatiku.
Teringat dengan perut buncitnya. Teganya dia mengkhianati hingga hamil anak itu.Anak hasil dari perselingkuhannya. Kepalaku terasa berat, saat aku memijat pelipisku, ketukan datang dari luar.
Suara ketukan terdengar.
“Masuk,” perintahku kepada suara di sebrang pintu sana.
“Permisi, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan Bapak,” jelas sekretaris ku.
“Siapa?”
“Aku." Belum sempat sekretaris ku menjawab, seseorang menjawab terlebih dahulu pertanyaanku. Ia berlenggang masuk membawa rantang makanan, melalui tubuh sekretaris ku yang dari tadi berdiri di hadapannya.
Kujentikan jari ke arah sekretaris ku agar ia keluar. Dia pun mengerti dan langsung keluar dari ruangan ini.
“Ada apa,” tanyaku dingin. Memang harus bagaimana lagi?
Aku tidak bisa berpura-pura hangat pada wanita yang sedang gencar mendekatiku ini. Meskipun wanita ini termasuk yang paling mudah dikendalikan, tapi... entah hari ini kedatangannya semakin merusak mood-ku.
“Aku mengantarkan makanan disuruh Mama,” jelasnya, senyumnya merekah di wajah cantiknya, lalu tangannya cekatan membuka isi rantang satu persatu.
“Lain kali tidak usah, aku biasa makan di luar jika makan siang. Ah ya, dan satu lagi,Nis, tolong jangan terlalu menuruti apa perintah Mama. Kamu tahu seperti apa akhirnya jika kamu terus memaksa. Kelak kamu sendiri yang akan tersakiti." Aku terpaksa harus mengatakan perasaan yang sesungguhnya, itu lebih baik dari pada harus berpura-pura menerima usaha yang Nisa berikan. Walau bagaimanapun aku berpikir bahwa Nisa berhak bahagia. Denganku Nisa tidak akan bahagia karena baik jiwa dan ragaku masih terpaut pada wanita itu, wanita yang kini sangat kubenci namun juga kurindu. Harus kuakui bahwa aku sangat merindukan Ayu saat ini.
Sesaat manik mataku melihat ke arah Nisa menunduk sendu, kemudian mengangguk, “Baiklah Mas, aku hanya mengantarkan ini saja. Maaf jika mengganggumu. Aku permisi.” Ada perasaan merasa bersalah menjalar melihat wajah mendungnya.
“Maafkan aku Nisa jika ucapanku menyakitkanmu. Aku hanya tidak ingin kamu berharap terhadap sesuatu yang tidak akan kamu dapatkan. Jujur saat ini belum ada namamu di sini,” ucapku padanya seraya menunjuk hari ke arah d**a. Anisa kembali mengangguk pasrah, semakin terpancar raut kecewa di air wajahnya.
“Aku paham. Aku pulang, Mas.” Anisa menghilang dari balik daun pintu.
Ah, Mama kenapa membuat situasi semakin rumit saja.
***
Sore harinya. Segera aku membereskan meja dan beranjak dari ruangan kerja. Pulang, bertemu dengan Mama dan membicarakan semuanya dengan Mama akan lebih baik ketimbang terus diatur bak anak kecil oleh Mama Rita.
Jika kalian bertanya kenapa Mama Rita selalu berusaha menjodohkanku dengan siapapun termasuk Ayu, dulu.
Sebenarnya tidak banyak, Ayu yang pertama. Mama Rita jatuh cinta pada Ayu, wanita bermata polos.
Namun setelah aku mengatakan padanya bahwa Ayu menipu kami betapa terkejutnya Mama. Terlebih dia merasa bersalah karena menjodohkan Ayu dengan anaknya.
Dan saat ini Mama Rita sedang gencar menjodohkanku dengan Nisa adalah karena rasa bersalahnya.
Mama selalu mengatakan bahwa dirinyalah penyebab aku hidup dalam pernikahan yang tidak berhasil ini. Mama mengatakan sebagai penebusan rasa bersalahnya, bahwa dirinya harus bisa membuat lembaran baru bagiku.
Di Sanalah alasan kenapa saat ini Mama menjodohkanku dengan Nisa. Namun kali ini berbeda dengan Ayu, jika dengan Ayu sekali mata ini menyapa, hati ini sudah bisa ia miliki, tapi Nisa? aku tidak bisa. Sudah berapapun aku mencoba tetap rasa itu tidak bisa muncul untuk wanita baik itu.
Di depan rumah tampak seorang wanita dewasa sedang membuka gerbang, membuka akses jalan untuk mobilku masuk ke pekarangan.
Dialah Mama Rita, wanita yang sangat aku cintai, nomer satu tentunya. Sudah lima bulan ini Mama Rita tinggal di sini menemaniku, apalagi jika bukan karena khawatir terhadap anak kesayangannya ini. terkadang aku geli diperlakukan bak anak kecil seperti itu, sungguh. Sudah sering aku protes, tapi tak juga di indahkan oleh beliau. Pada akhirnya tidak ada jalan keluar selain aku berdamai dengan sendiri, membiarkan wanita yang kini di depanku ini berbuat sesuka hatinya.
Hem, maksudku terkecuali tentang rencana perjodohan konyol itu. untuk itu aku menolaknya.
“Assalamualaikum Ma,” Aku mencium tangan Mama takzim
“Waalaikumsalam, masih sore kamu sudah pulang?"
“Mama enggak suka aku pulang cepat?"
“Bukan begtu, cuma tumben saja karena biasanya kamu pulang kalo matahari sudah terbenam.” Mama meraih tas kerjaku dan membantuku membuka jas.
“Masuk yuk, Mama sudah masak makanan kesukaan kamu.” Aku mengikuti langkah Mama Rita ke dalam rumah. Rumah yang hanya seminggu Ayu tempati. Mama Rita pernah menawari diriku untuk menjual saja rumah ini guna bisa mengubur masa lalu yang kelam, tapi aku menolaknya. Walau bagaimanapun rumah itu adalah rumah yang telah susah payah Mama bangun untuk hadiah pernikahanku. Tidak sampai hati aku menjualnya.
Walaupun terkadang bayangan Ayu muncul yang membuat dadaku sesak. Biarlah, berharap lambat laun Ayu akan sirna dalam benakku. Lucunya bukannya sirna, Ayu justru muncul kembali di hadapanku. Bukan sebagai fatamorgana seperti biasanya, tapi nyata. Fisiknya bisa aku sentuh, andai ia ingin.
Aku dan Mama duduk di ruang makan, tempat makanan sudah tersedia.
Namun kali ini tidak menggugah seleraku, karena ada yang lebih penting untuk aku bicarakan.
“Ma bisa kita bicara?” Air wajahku berubah serius.
“Katakanlah,” ucapnya, tangannya masih sibuk mengisikan piring dengan lauk pauk dan kemudian menyodorkannya kepadaku.
“Proyek di Bandung, bolehkan Adi memegang proyek itu?” pintaku. kulihat Mama mengerutkan dahinya.
“Kenapa tiba-tiba sekali? Bukankah Om kamu memang sudah meminta kamu untuk mengurus cabang yang di Bandung, tapi kamu sendiri yang selalu menolaknya.” Aku memang selalu menolak usulan Om Anton ketika memintanya bertukar tempat. Om Anton mengatakan ingin berpindah ke Jakarta. Namun kali ini Aku sendiri yang memintanya, karena ada sesuatu yang harus aku selesaikan. Mengenai Ayu, Mama tidak aku beritahu dulu bahwa aku bertemu dengannya di Yayasan kemarin.
“Kalo mau pegang yang di Bandung Mama sih malah seneng Di, artinya kamu malah lebih dekat dengan yayasan. Jadi bisa lebih intens mengecek Yayasan itu.” Aku tersenyum miris.
Aduh Ma, andai Mama tahu bahwa itu memanglah tujuanku. Meski anak mama yang bodoh ini tidak tahu apa yang akan dilakukan nanti ketika di sana. Setidaknya di sana saja dulu, memantau Ayu lebih dekat.
Mencari tahu bagaimana kehidupan wanita itu yang masih sah menjadi istriku. Tentu saja ucapan itu hanya sebatas tenggorokanku, tidak sampai aku suarakan .
“Dan satu lagi Ma, bisakah Mama berhenti menjodohkan aku dengan Nisa. Ma, kasian Nisa kalo terus diberi harapan palsu, dia wanita baik. Tidak bagus jika harus terjerat dalam drama cinta segi tiga,” pintaku kembali.
“Kamu belum bisa melupakannya?" ucapan Mama tepat sasaran.
Ah, Mama.. bagaimana aku bisa melupakannya sedangkan baru saja pekan lalu kami bertemu, lagi-lagi aku hanya bisa bergumam dalam hati.
“Ini semua salah Mama karena membuatmu harus terlibat dengan Wanita itu Di. Mama menyesal,” ungkap Mama sedih, Aku memegang tangan Mama, menenangkan rasa bersalah yang membuncah di hatinya. Lewat genggaman tanganku, seolah aku mengatakan padanya bahwa 'aku baik-baik saja'. Meski sejatinya aku tidak benar-benar baik. Ayu bagaikan hantu di kepalaku, mengisi bari dengan bayangnya tanpa henti.
“Bukan hanya masalah perasaanku terhadap Ayu saja, tapi karena statusku juga Ma. Aku belum resmi bercerai Ma, mana bisa aku menjalani hubungan sedangan statusku saja belum pasti.” kilahku mencari alasan. Padahal akulah penyebab status pernikahan yang belum jelas ini.
“Kalo gitu cepat temukan wanita itu, lalu ceraikan dia segera.” wanita itu, bahkan kini Mama enggan memanggil nama Ayu dengan hanya sekedar nama. Berbanding terbalik dengan saat dulu di mana Mama tak segan memanggil nama Ayu dengan nada mesra.
Mendengar kata cerai, kenapa rasanya sakit sekali. Ada selaksa rasa tidak rela di hatiku jika harus bercerai dengan Ayu. Katakanlah aku egois, ingin memiliki Ayu, tapi juga ingin menghukumnya. aku belum juga mampu mengeja perasaannya bahkan di saat waktu sudah berlalu delapan bulan lamanya.
“Kamu bisa bicarakan hal ini dengan Om Anton Di. Sepertinya dia akan senang mendengar kamu bersedia bertukar tempat dengannya,” aku mengangguk.
“Besok Adi ngomong ke Om Anton Ma.”