PS.1

1364 Words
Tujuh tahun kemudian … Setelah menikah selama Tujuh tahun dan berusaha setia, selalu mengabdi pada suaminya, akhirnya pernikahan Senja dan Hadi tidak seharmonis dulu, bahkan banyak pertentangan didalamnya ketika mereka menikah. Konflik yang datang silih berganti. Pada akhirnya di usia 25 tahun, Senja resmi menjadi janda dari seorang Hadi Pratama. Perpisahan memang bukan hal yang mudah yang bisa kita terima begitu saja, apalagi perpisahan itu harus di rasakan pasangan suami istri yang menikah hampir tujuh tahun. Ketika mereka memutuskan untuk berpisah, mereka harus berpikir keras, karena tidak mudah menjalani rumah tangga yang sudah di bangun atas dasar cinta dan kepercayaan, apalagi mereka telah di karuniai anak yang berusia tiga tahun. Hazel Bian Pratama, pria kecil yang kini berusia tiga tahun. Anak yang mereka dapatkan setelah menikah selama empat tahun, bukan hal yang mudah bukan? Tapi, apa gunanya jika memang perpisahan itu di setujui oleh kedua belapihak, meskipun keluarga sudah berusaha keras agar tak terjadi perpisahan antara keduanya dan bertahan demi Hazel, tapi keegoisan mereka membawa mereka ke pengadilan. Dulunya, Senja wanita yang begitu cantik dan berparas indah, namun setelah menikah, paras itu pun seakan menghilang, rumah tangga yang di jalaninya penuh kebahagiaan di awal, setelah menginjak usia pernikahan enam tahun, perubahan sikap suaminya pun di anggap tidak wajar. Rumah tangganya pun di hadapkan dengan keuangan yang sulit, sehingga keduanya pun sepakat memilih untuk berpisah. Karena keuangan yang sulit, Senja terpaksa berhenti kuliah di semester akhir. Senja menangis sejadi-jadinya ketika suaminya yang pernah berjanji akan memberikan kebahagiaan dan akan berusaha sampai ia lulus kuliah malah membujuk dirinya untuk meninggalkan kampus dan fokus pada rumah tangganya. Dan, yang lebih menyakitkan lagi, Hadi tetap melanjutkan kuliahnya sampai ia menjadi sarjana, dan bangga pada titel yang ia miliki. Teriris hati Senja, ketika kuliahnya terputus dan saat ini ia fokus pada pernikahannya yang bahkan tak pernah lagi membahagiakan dirinya, Hadi yang tidak pernah lagi mengajaknya jalan bersama, dan Hadi yang lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Ketika bertemu dengan teman-teman kuliahnya yang sudah lulus kuliah dan kerja di perusahaan besar, bahkan yang lainnya masih pengantin baru dan masih berusaha mendapatkan keturunan, sedangkan dirinya menjadi hinaan dan nyinyiran teman-temannya ketika harus bertemu secara kebetulan. Setiap bertemu, ia menjadi hinaan bahkan banyak yang mengatakan ia tak secantik dulu lagi, dan bukan ratu pemilih lagi, tapi sudah menjadi Ibu-ibu yang tidak memperhatikan penampilannya. *** Lima bulan sebelum berpisah ... Senja harus merasakan bekerja full time di rumah, bukan di perusahaan yang ia dambakan, dia bukan wanita karir, tugasnya hanyalah sebagai istri dan Ibu dari Azel, yang setiap hari di hadapkan dengan pekerjaan rumah, pekerjaan dapur, belanja ke pasar dengan menenteng Azel, mengurus Azel 24 jam, bahkan terkadang ia melupakan jam makan karena saking sibuknya. Mungkin bagi pria atau wanita yang belum menikah, ketika mendengar seorang wanita hanya bekerja di dalam rumah, adalah hal yang mudah untuk di lakukan, sedangkan sudah sangat jelas bahwa menjadi Ibu rumah tangga bukan hal yang mudah apalagi mengurus segalanya dari A-Z, menyewa asisten rumah tangga keuangannya belum stabil, sedangkan pekerjaan suaminya hanyalah sebagai staf biasa, yang juga mengharapkan kenaikan jabatan dengan gaji yang lumayan. Harapan itu hanya lah sebuah angan yang tak mungkin terjadi, Hadi hanyalah staf biasa di sebuah perusahaan asuransi, bekerja dari pagi sampai malam hari tidak membuatnya lelah. Semangat hidupnya dan pengisi energinya adalah putra dan istrinya yang telah ia nafkahi. Namun, lama kelamaan karena merasa bosan dan tidak suka dengan tanggung jawab yang besar dalam menafkahi keluarga dan harapan keluarganya hanyalah dirinya, akhirnya rasa lelah dan beban besar bergantung dipundaknya. Kini, Senja sedang mengeluarkan makanan sisa semalam dari dalam kulkas dan di tata di atas meja, ia tak sempat memanaskannya karena Azel akan terbangun dengan suara sekecil apa pun. Putranya itu sangat lah rewel, jika Senja meninggalkan putranya itu, Azel akan menangis sejadi-jadinya. Senja menyendok nasi, meskipun lauknya begitu dingin, dengan rambut dan wajah yang acak-acakkan, ia mencoba menikmati makanan yang baru saja keluar dari kulkas tanpa mengeluh, karena baginya jika Azel bangun, makannya pun akan tertunda. Sesaat kemudian suara tangis Azel membuat Senja tak bergeming dan mengabaikannya sejenak, tapi suara tangis Azel makin mengeras, membuat Senja yang baru makan sesuap berlari ke arah kamar. "Ada apa, Sayang? Hem?" Senja mengangkat Azel dari tempat tidurnya dan menggendongnya. “Ma, Azel e*k dan sakit,” keluh Azel, membuat "Azel e*k ya ternyata, sini Mama cebokin," kata Senja, lalu membawa Azel ke kamar mandi dan membilasnya, dengan mengabaikan perutnya yang begitu lapar. "Mama---" "Iya, Sayang? Ada apa?" tanya Senja, menyeka keringatnya. "Mama, sakit banget." Azel menangis, membuat Senja bingung dengan sikap Azel saat ini, Senja melihat p****t Azel yang di penuhi ruam, Senja lalu memggendong Azel dan membawanya ke kamar. "Duh .... anak Mama ruam ternyata. Pantas saja rewel. Bentar ya, Sayang." Senja mengambil  bedak ruam yang memang ia siapkan ketika sewaktu-waktu Azel kembali terkena ruam. Setelah memakaikan bedak ruam pada bagian sensitif Azel, Senja menggendong Azel dan mendudukkannya di ruang tamu di mana mainan Azel sudah berhamburan kesana kemari, apa sih yang bisa di lakukan Senja sebagai Ibu rumah tangga? “Sayang, kamu duduk di sini dan maen di sini, ya, Mama ke dapur dulu,” kata Senja. “Mama mau kemana?” tanya Azel. “Ke dapur,” jawab Senja. “Tapi, Mama jangan lama, ya, Azel sakit, Ma,” keluh Azel. “Iya, Sayang, Mama nggak lama kok, Azel diam di sini dan jangan sembarangan pegangnya, ya,” kata Senja, membuat Azel menganggukkan kepala. Senja lalu berjalan ke dapur membereskan makanan yang tadi sudah di tata di atas meja, meskipun ia makan baru sesuap tapi itu cukup untuk mengganjal perutnya. "Mama!" panggil Azel, membuat Senja kembali bergegas menaruh piring makannnya di atas wastafel, lalu menghampiri putranya. "Zel, Mama lagi masak nasi loh, Papa sebentar lagi pulang, Nak," kata Senja, membuat Azel berjalan ke pelukan sang Mama. “Azel sakit, Ma,” keluh Azel, membuat Senja menghela napas, dan menggendong putranya. “Baiklah. Mama gendong, ya,” kata Senja, berusaha menahan lapar dan mengabaikan bunyi halus dari perutnya. *** Hadi pulang dengan wajah kelelahan, membuat Senja terbangun dari tidurnya dan melihat rumah begitu berhamburan, selama ia tidur, Azel mengambil kesempatan menghambur segala mainannya, membuat mata Hadi begitu sakit melihatnya apalagi di saat lelah seperti saat ini. Senja tertidur ketika harus menahan lapar seharian ini, sedangkan Azel terus merengek tidak ingin ditinggal sang Mama. "Papa!" Azel berlari kepelukan sang Papa. "Anak Papa main apa seharian?" tanya Hadi, berjongkok agar sejajar dengan putranya. “Maen sama Mama,” jawab Azel. "Kenapa rumah kayak kapal pecah begini sih, Ja?" tanya Hadi, yang kini tengah menggendong Azel. Senja menghela napas panjang, ia berusaha menahan sedih, marah dan kesal yang bercampur dalam hatinya saat ini. “Kenapa kamu nggak menjawab, Ja? Apa kamu nggak mendengar apa yang aku katakan?” tanya Hadi lagi. "Rumah yang ada anak kecil ‘kan memang seperti ini," jawab Senja. "Tapi, tidak sampai di depan pintu pun ada, Senja, lihat saja, aku menginjaknya. Jika terjatuh, bagaimana? Syukur kalau aku yang terjatuh, bagaimana jika Azel? Kamu ini bagaimana sih, seharian ini kerjaan kamu apaan? Kenapa tidak pernah sekali pun rumah ini bersih dan membuat mataku tak sakit melihatnya?" celetuk Hadi. “Aku kerjain kok, bersihin juga, tapi kamu ‘kan tahu Azel gimana anaknya,” jawab Senja. “Bersihin gimana, kalau kamu bersihin nggak mungkin berhamburan kayak gini juga, ‘kan,” celetuk Hadi, membuat Senja menghela napas. "Apaan sih kamu, Mas, pulang-pulang langsung mengomel. Kamu tidak tahu ya, meskipun sudah berkali-kali aku membereskannya tetap saja akan seperti ini.” Senja menarik napas, dan berusaha tidak sampai meluapkan emosinya karena ia mengerti suaminya itu sudah lelah seharian bekerja. "Buktinya kamu tadi tertidur. Kalau kamu bersihin nggak mungkin tadi kamu tertidur." "Apa itu juga beban buat kamu? Jika, istrimu tidur? Aku juga lelah seharian di rumah. Kamu ‘kan tahu Azel gimana, dan kamu tahu banget gimana sikapnya, yang nggak mau ditinggal, yang nggak mau sendirian, jadi kamu harusnya paham donk.” Kini Senja yang berceletuk. "Aku capek, ya, jika berdebat dengan kamu itu pasti tidak berujung, kamu nggak pernah mau dengerin aku ngomong selalu ngelawan aja kerjaannya. Udah. Siapkan saja aku makan," kata Hadi, lalu melangkah masuk ke kamar dan menurunkan Azel. “Kamu di sini dulu, ya, Nak, Papa ganti baju dulu.” “Iya, Papa,” jawab Azel. “Siapkan aku makan,” kata Hadi, mengulang perkatannya. "Iya, Tuan," jawab Senja, lalu berjalan menuju dapur. Beberapa menit kemudian, Hadi hanya mencuci muka, mengganti pakaian dan keluar dari kamar bermain dengan Azel. “Azel mau main apa?” tanya Hadi. “Azel main semuanya aja, Pa,” jawab Azel polos, meski sering mendengar ayah dan ibunya bertengkar, namun Azel belum paham. "Mas, makanannya sudah siap," teriak Senja dari arah dapur. “Azel di sini dulu, nanti Papa balik, Papa mau makan dulu dan main sama Azel, ya,” kata Hadi, membuat Azel menganggukkan kepala. Hadi lalu menghadap meja makan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD