PS.2

1134 Words
“Azel mau main apa?” tanya Hadi. “Azel main semuanya aja, Pa,” jawab Azel polos, meski sering mendengar ayah dan ibunya bertengkar, namun Azel belum paham. "Mas, makanannya sudah siap," teriak Senja dari arah dapur. “Azel di sini dulu, nanti Papa balik, Papa mau makan dulu dan main sama Azel, ya,” kata Hadi, membuat Azel menganggukkan kepala. Hadi lalu menghadap meja makan dan menatap semua makanan yang sudah di siapkan istrinya itu diatas meja mini milik mereka. "Ini aromanya sudah berbeda, Ja," kata Hadi, membuat Senja menghela napas lagi dan lagi. "Berbeda bagaimana? Aku saja makannya hanya ini kok tadi,” jawab Senja. "Tadi kapan?" "Tadi siang," jawab Senja. "Ini makanan tadi siang?" "Ini makanan kemarin malam." "Apa? Kamu tidak memasak?" "Mana sempat, Mas, aku seharian urusin Azel." "Azel ‘kan nggak rewel, kenapa selalu menggunakan Azel sebagai alasan?" tanya Hadi. "Azel itu ruam, Mas, dia rewel seharian. Seharusnya sebagai suami, kamu ngerti donk. Aku ini makan aja nggak loh, kamu ini selalu saja berpikir bahwa di rumah yang aku kerjain hanya ongkang-ongkang kaki," kata Senja. "Kamu memang tidak becus, Senja, kamu mau meracuniku? Kamu mungkin bisa makan makanan ini, namun aku nggak bisa, dan kamu tahu itu, aku nggak bisa makan makanan yang udah lama," celetuk Hadi. "Kamu mau mengajakku bertengkar lagi? Jika memang kamu tidak mempercayaiku, sekali-kali kamu yang di rumah aku yang bekerja. Kamu ini tahunya marah-marah, kamu udah nggak pernah lagi nanya aku udah makan apa belum, aku ngapain seharian ini, kamu ini semakin ke sini semakin berubah, kamu udah nggak perhatian lagi, dulu kalau aku nggak masak kamu nawarin makanan diluar." "Aku yang menafkahi keluarga ini, kenapa kamu mengaturku?" "Aku hanya meminta pengertianmu, Mas. Di luar sana, kamu masih bisa makan enak kan, tapi di rumah, makan pun aku tidak bisa, jadi seharusnya kita sama-sama ngerti," kata Senja. "Pengertian? Makan enak? Kamu mau di mengerti tapi tidak mengerti suamimu, betapa lelahnya aku seharian bekerja demi keluarga kita dan aku pulang ke rumah di suguhkan makanan kemarin malam, apa itu masuk akal? Jika, penampilanmu acak-acakkan seperti ini, mungkin aku bisa mengerti, tapi menerima perlakuanmu ini, aku tidak bisa mengerti, Senja," tunjuk Hadi. "Aku sudah bilang, seharian aku mengurus Azel. Makan saja aku tidak sempat." "Tiap hari kamu terus saja beralasan seperti itu. Luar biasa kamu, setidaknya jangan hanya mengurus Azel, urus suamimu juga." Hadi beranjak dari duduknya, melangkah meninggalkan Senja yang kini berdiri didekat meja makan. "Mau kemana kamu, Mas?" "Cari makan." "Aku juga belum makan." "Makan saja makanan basi itu." Deg. Jantung Senja terasa akan meledak saat ini, banyak beban yang ia simpan di hatinya, banyak rasa kesal, rasa ingin mengatakan yang ia simpan dalam-dalam, namun ia masih menghargai suaminya dan berusaha tak mengeluh, meski Hadi yang selalu memancing keluhannya. Hadi berjalan tanpa berbalik melihat wajah istrinya yang begitu berharap bisa makan enak dengan suaminya atau mungkin mendengar kata-kata Hadi. Senja memang tidak sempat untuk memasak makanan untuk suaminya, setiap waktu yang ia lakukan adalah mengurus Azel, yang memang tidak bisa di tinggalkan meskipun sebentar. "Tega kamu, Mas, sama aku," gumam Senja, merasakan pelukan Azel di kakinya, Senja menyeka air matanya dan menggendong Azel. “Mama jangan menangis,” lirih Azel. "Mama memang hanya punya kamu, Nak." Senja menitikkan air mata. Lalu berjalan memasuki kamarnya. *** Satu minggu sebelum berpisah... Setelah semua yang terjadi, rumah tangganya tak pernah akur meskipun dalam sehari, selalu saja ada sesuatu yang terbahas dalam rumah, kelelahan yang di rasakan Hadi, setiap pulang ke rumah, selalu saja menjadi alasan baginya untuk keluar rumah mencari angin segar, ia tak pernah mempermasalahkan bagaimana penampilan dan wajah kusam istrinya, tapi yang selalu menjadi masalah, Senja sudah sangat jarang memasak untuknya. Jika, Senja memasak, sudah pasti rasa makanannya tidak enak, membuat Hadi tak nyaman dan lebih sering keluar dari rumah. Hadi terlalu tertekan jika berada disamping istrinya, ada saja yang mereka pertengkarkan setiap hari, rasa lelah yang ia rasakan tak mendapatkan hiburan sama sekali di rumahnya. Hadi menghela napas panjang, mengapa ia tidak senyaman dulu ketika pulang ke rumah dan bermain dengan putranya. Sebagai Ibu dan Istri, Senja pun merasa tak di hargai, kelelahannya pun membuat Senja harus membiarkan rumah teracak, pakaian kotor tertumpuk dan segala yang di inginkan suaminya sudah tidak bisa ia berikan. Apalah dayanya sebagai istri dan Ibu yang benar-benar harus membagi waktu dengan baik. Suara tangis Azel yang setiap hari memenuhi rumah, membuat Senja tidak pernah mengeluh sedikit pun, ia malah menjalaninya demi Azel dan demi pernikahannya. Kini Hadi sedang duduk di taman, suara deheman seorang wanita membuatnya berbalik. "Naya?" tanya Hadi. "Apa yang kamu lakukan di sini, Di?" "Kamu Naya, bukan?" "Kamu pikir … siapa?" "Ha ha ... nggak, Nay, aku sudah lama tidak melihatmu, rasanya aneh saja melihatmu di kompleks ini," jawab Hadi yang terpaku dengan kecantikan Naya saat ini. “Kamu ngapain di sini?” "Aku sedang jalan-jalan, kebetulan aku tinggal di dekat sini." "Tinggal di mana?" "Di penginapan." "Penginapan ujung gang sana?" "Iya, benar, aku baru saja pindah dari Tasik." "Makanya itu, aku terkejut melihatmu di sini. Di Jakarta kamu sama siapa?" "Aku sendiri, aku baru interview besok," jawab Naya. "Mimpi apa aku semalam, Nay, melihatmu ada di sini. Kamu juga banyak berubah, makin cantik saja," puji Hadi. "Terima kasih atas pujianmu, Di, kamu juga makin tampan saja. Tapi, tunggu, kamu tidak menjawab pertanyaanku, aku tanya sejak tadi, kamu ngapain duduk di sini sendirian?" "Aku hanya menyegarkan diri dengan udara malam. Kamu sendiri kenapa jalan malam? Kamu nggak takut berkeliaran di sekitaran sini?" "Aku sudah jawab, ‘kan? Aku sedang jalan-jalan, aku hanya ingin lebih mengenal tempat ini. Aku nggak takut berkeliaran di sini, karena tempat ini kelihatannya aman-aman saja.” "Astagaa ... aku lupa, hehe. Memang benar katamu, kompleks ini aman kok." "Kamu masih bersama Senja?" tanya Naya, berusaha mengulik kehidupan pribadi Hadi. "Hem? Oh ... masih," jawab Hadi. "Kamu pasti sangat mencintainya, ‘kan?" tanya Naya. "Hem?" "Ada apa, Di? Kamu kok jadi ragu gitu?" "Nggak sih, hanya saja pertanyaan kamu lebih ke pribadi saja, jadi aku bingung jawabnya gimana, aku mau bilang mencintainya, tapi mungkin hatiku mengatakan nggak," jawab Hadi. "Jawab saja seadanya, aku ‘kan juga temanmu, sepertinya kamu banyak beban," kata Naya. "Nggak tahu aku mencintainya atau nggak." "Kok begitu? Bukankah kamu menikahinya karena mencintainya? Lagian dulu kamu mengejarnya mati-matian." "Awalnya memang seperti itu, tapi makin ke sini, perasaan cintaku seakan menghilang begitu saja." "Dulu kan, kamu begitu mengejarnya, apalagi melihat dia adalah mahasiswa tercantik di kampus, aku begitu mengingatnya dulu, bahkan kamu pura-pura melintasinya untuk membuatnya menatapmu. Bahkan kamu sempat menegasiku karena aku melarangmu mendekatinya," kata Naya. "Begitu, ya? Aku sudah tak mengingat bagaimana perjuanganku mendapatkan dia, bahkan aku tak lagi melihat semua itu," jawab Hadi. “Jangan pura-pura melupakannya, aku saja mengingatnya dengan jelas.” “Seharusnya kamu lebih paham, bahwa jika aku begitu karena aku nggak mau membahas dia,” kata Hadi, menghela napas panjang. “Baiklah aku minta maaf,” kata Naya. "Kamu sudah memiliki anak kan, Di?" "Iya." "Usianya berapa tahun?" "Tiga tahun." "Wah ... jadi, kamu nikahnya lama donk, baru bisa memiliki anak?" "Iya, lumayan, aku menikah dengan Senja empat tahun, lalu hadir lah Azel." "Namanya Azel?" "Iya." "Wah ... nama yang keren, Di." "Hem. Makasih, ya," ucap Hadi. "Kamu terlihat memiliki banyak sekali beban, Di." "Begitu, ya? Apa terlihat?" tanya Hadi, menggaruk tengkuknya. "Tentu saja, melihatmu seperti ini, aku jadi takut menikah." "Kok bisa begitu?" "Ternyata menikah nggak semanis yang aku pikirkan. Dulu, waktu kamu menikah aku sempat iri," kata Naya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD