Arnita Renita

2147 Words
KETIKA SEBAGIAN DIRI MENGHILANG DAN YANG PERGI ADALAH HARAPAN Arnita menorehkan penanya pada selembar kertas yang tertempel pada buku kecil miliknya. Menikmati dalam diam. "Kalau mereka masih mengganggu mu sebaiknya sangu kamu dititipkan ke ibu aja neng. Jadi mereka tidak bisa lagi memaksa atau merampas uang kamu. Ibu perhatikan mereka semakin keterlaluan." sergah ibu kantin yang tiba-tiba muncul kembali membahas apa yang kemarin dia lihat, bukan hanya kemarin, sebelum-sebelumnya pun beliau menyaksikan tingkah laku yang mereka perbuat pada Anak itu. "Ya Bu, gak apa-apa terima kasih, ibu sudah baik sama saya. "Neng mau serapan apa, biar ibu buatkan." "Saya sudah serapan Bu, nanti siang saja saya makan. Saya kembali ke kelas dulu ya Bu." "Ya Neng!!' sahut ibu kantin. Pagi itu suasana riuh tidak hanya berasal dari nyaringnya pukulan suara lonceng pertanda masuk. Melainkan dari suara para siswa siswi yang bersiap-siap masuk menuju ke kelas mereka masing-masing. Arnita mengikuti pelajaran seperti biasanya, rutinitas yang mulai dia rasakan sudah tidak mengenakkan lagi. Mulai membosankan dan dia ingin sekali pergi jauh dari semua yang membuatnya merasa semua itu memuakkan. Meria adalah salah satu kakak kelas yang jadi pemimpin saat teman-temannya mulai ikut membully dirinya. Meria itu ada hubungan keluarga dengan pak Kepsek di sekolah ini, makanya dia merasa berkuasa dan tidak takut pada siapa pun. Dan itu juga salah satu alasan kenapa Arnita tidak mengadu. Ingin sekali dia memberontak tapi melihat tubuh kurusnya dari bayangan kaca hitam milik ruang guru membuatnya berpikir ulang untuk melawan belum lagi jika dia di keroyok oleh genk Meria. "Ada apa Arnita!!" Suara wanita itu mengagetkan Arnita yang sedari tadi berdiri di dekat pintu masuk ruang guru. "Hm ... gak ada apa-apa Bu!" ucapnya kemudian berlalu dari hadapan salah satu gurunya. Untuk yang kesekian kalinya Arnita gagal mewujudkan saran dari Ibu kantin. "Huh!! Kenapa susah sekali mempertahankan rasa berani saat keberanian itu muncul!" keluhnya dalam hati. Dia ingin mengadu tapi takut. Bagaimana bisa dia punya keberanian untuk itu, saat seperti ini saja ketika dia akan menuju ke kantin dia harus memperhatikan dengan baik, takut kalau-kalau kakak kelasnya itu muncul dengan tiba-tiba dan mendapati dirinya. Dia harus mengendap-endap untuk menuju ke ibu kantin yang sudah melihat kehadirannya dari kejauhan. "Neng, kenapa? Mereka lagi ya?! Neng makan di sini saja, gak usah di sana." ucap ibu kantin menawarkan sekaligus menyarankan Arnita untuk makan di ruangannya. "Iya Bu!" Arnita berjalan masuk ke dalam. Ruangan kantin hanya dibatasi oleh triplek yang menutup setiap sisinya selain bagian depan karena tertutup oleh etalase dan beberapa rak kardus yang berisi roti dan camilan lainnya. "Oh!! Jadi si kurus itu lagi cari perlindungan!?" gumam siswi berbadan besar yang tak lain adalah si Meria si ketua genk. Dia melirik kearah Arnita yang membelakanginya yang sedang menikmati makan siangnya. "Awas saja kau." °°°° Sepulang sekolah Arnita tak jadi singgah ke kantin karena kantin tutup lebih awal. Saat melewati belakang sekolah dia berharap tidak berjumpa dengan kakak kelas dan genk nya itu. Tapi apa yang di harapkan ternyata salah, baru saja akan berbalik, dia sudah di hadang oleh mereka. "Sialan mereka lagi! Mereka lagi." gerutu Arnita dalam hatinya. Hanya itu yang bisa dia lakukan menggerutu tanpa suara. "Genkk ... kalian tahu gakk!! Rupanya si kurus ini sudah mulai cari perlindungan! Ngadu apa aja kamu ke ibu kantin haa!!" bentak si bongsor Meria dengan mendorong bahu Arnita. "Em eemm m nggak ngadu apa-apa Kak!" ucap Arnita dengan wajah menunduk. "Hellehh!! Nggak usah bohong kamu!! Terus kalo gak ngadu, ngapain kamu makan di ruangan dia segala, biasa nya kan juga enggak! Kamu ngadu in kami ya!! Kamu cerita kalau kami sudah malak duit kamu, terus nanti ibu kantin laporin kami, gitu kan?!!" bentak Meria lagi. "Eng . . Enggak kok Kak! Saya cuma di ajak saja makan di situ, saya gak enak menolak, jadi saya nurut Kak.” "Helleh, alasan kamu!!" bentak Meria sembari mendorong kepala Arnita. Atas perintah Meria, mereka menarik baju Arnita dan menyeret nya ke samping kantin. Usai mengambil uang dan mengacak-acak rambut Arnita, mereka memasukkan gadis itu ke dalam kamar mandi sekolah yang jaraknya tak jauh dari kantin. Mereka menyiram nya dengan air, kontan seragam putih biru miliknya basah semua. Tak cukup dengan semua itu mereka juga mengunci nya dengan cara mengikatkan tali pada tarikan gagang pintu lalu mereka meninggalkan Arnita seorang diri. Arnita berteriak saat di yakin sudah tak mendengar lagi suara mereka yang meninggalkan dirinya terkunci dalam kamar mandi. "Tolong!! Tolong!!" teriaknya sambil tubuh kurusnya mencoba mendorong pintu namun pintu itu tidak bisa terbuka. "Mereka benar-benar keterlaluan. Seandainya saja aku bisa membalas mereka dengan tanganku!" Arnita mencoba menaiki bak mandi, berharap ada yang terlihat dia coba mengintip melalui ventilasi kamar mandi, jika saja ada seseorang yang bisa dia mintai pertolongan. Dia berhasil naik ke atas bak, namun tak ada siapa pun yang terlihat, saat kakinya mencoba menyentuh pinggir bak, tubuhnya tiba-tiba limbung dan berusaha memegang dinding namun karena licin Arnita tak bisa menjaga keseimbangannya dan akhirnya jatuh dan tak sadar kan diri. Renita melihat itu dan secepat kilat membiarkan tubuhnya menahan tubuh Arnita jatuh. Setelah setengah jam berlalu ketika matanya terbuka dengan pandangan yang samar-samar. Sosok Renita muncul di hadapannya membangunkannya lalu mengulurkan tangannya. Pandangan Arnita yang samar perlahan terang. Jelas-jelas dia tadi melihat seorang gadis yang seumuran dengannya berdiri di hadapannya mengulurkan tangan dan tersenyum. "Kemana dia, apa dia siswi sini juga, kenapa begitu saja menghilang?" Dia berusaha bangkit sembari perlahan memegangi bahu dan kepalanya yang terasa sakit. Seingat dia pintu itu tadi kan terkunci kenapa bisa terbuka, apa dia yang membukanya?" Arnita bergegas keluar dan meninggalkan tempat itu. Untung saja sesampainya di rumah dia bisa memberikan alasan yang tepat kepada ibunya kenapa dia sampai pulang terlambat. "Maaf Bu tadi di sekolah ada mata pelajaran tambahan." Sang ibu hanya menatap Arnita dengan wajah tenangnya. "Ya sudah, kamu makan sana, ibu sudah sediakan." "Ya Bu." Arnita terpaksa berbohong padahal dia tidak pernah melakukan itu kepada ibunya "Kenapa aku bisa membohongi ibu?!" pikirnya Arnita tidak menyadari jika Renita mulai mengendalikan dirinya. °°°° Keesokan paginya Arnita sudah di tunggu oleh para Pembully yaitu si bongsor Meria dan genk nya. Arnita bingung kenapa dia sama sekali tidak merasakan takut, kakinya terus saja melangkah dengan santai melewati mereka dengan wajah tak di tekuk seperti biasanya. Hal ini tentu saja membuat mereka heran, bingung bercampur dongkol. Si bongsor bergerak cepat menarik kerah baju Arnita, gadis itu nyaris jatuh namun bisa menjaga keseimbangannya. Dia berbalik dan menepis tangan kakak kelasnya itu dengan sigap. Selama ini Arnita tidak pernah berani melawan, boro-boro menepis, menatap mereka saja dia mana berani. Tapi kali ini dia melakukan hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, yang mestinya dia lakukan dari dulu. Bukan hanya itu Arnita juga mengatakan hal yang tak pernah di sangka nya bisa keluar begitu saja dari mulutnya dan dengan lantang dia berkata ... "Jangan pernah ganggu saya lagi, kalau kalian gak mau merasakan apa yang saya rasakan!!" ucapnya dengan menatap tajam mata mereka satu persatu. Salah satu dari mereka mencoba menyerang Arnita namun gadis itu lebih gesit dari yang dia kira. Meria pun mencoba menyerang lagi, namun Arnita mendorong tubuh besarnya balik hingga dia jatuh terduduk. Dia meninggalkan Meria dan genk nya dengan wajah terheran-heran. "Gila, ke sambat setan apa dia bisa berani dengan kita, tunggu saja!!" geram Meria bergegas bangkit geram dengan mengepalkan kedua tangannya. Sementara Arnita duduk merenung memikirkan apa yang baru saja dia lakukan, dia melihat kedua tangannya masih gemetar. Apa benar ini dirinya, apa dia yang melakukan hal tadi. Tapi kok bisa?! °°° keesokan harinya .... Jam sekolah berakhir. Meria sudah merencanakan sesuatu bersama genk nya untuk membalas Arnita. "Dia pikir dengan kejadian tadi kita takut dan akan berhenti mengganggunya. Kita harus kasih pelajaran si kurus itu biar dia tidak mengulang hal kemarin!" ujar Meria di penuhi rasa kesal. Rupanya Meria dan genk nya sudah merencanakan sesuatu untuk membalas reaksi yang di tunjukkan Arnita pada mereka. Itulah kenapa mereka sengaja menunggu Arnita di ujung jalan dekat sekolah. Siang itu suasana di sekolah mulai sepi. cuaca terang namun tetesan gerimis bisa dirasakan oleh Arnita saat melangkahkan kakinya menuju keluar dari area sekolah. Dari kejauhan gadis itu sudah mengetahui jika kakak kelas dan genk nya sudah menunggu dirinya. Anehnya dia sama sekali tidak berhenti dan menghindar atau pun berpikir seperti biasanya. Dia tidak takut sama sekali, padahal di hadapannya ada Meria dan ketiga temannya yang siap membully dirinya. "Jadi sekarang kamu sudah merasa hebat ya, karna kejadian kemarin hm!! Kenapa?!!! Apa karena ibu kantin yang akan bantu kamu ... jawabb!!" Arnita hanya diam. Tubuh kurusnya sudah di kelilingi oleh mereka, sesekali di dorong, di tendang. Dia masih diam saja. "Coba lihat!! Manaa .. manaa ... Ibu kantin kamu, dia gak ada di sini! Dia gak akan bisa nolong kamu sekarang!” Arnita mendorong tubuh Meria ketika gadis itu mencoba menyentuhnya, Arnita menggunakan momen tersebut untuk kabur. Dia berlari masuk ke area taman yang ada dekat sekolah yang saat itu sepi tak ada siapa pun. Mereka mengejar nya hingga Arnita berhasil bersembunyi. Mereka berpencar terus mencari hingga satu dari mereka di temukan pingsan. Meria meneriaki temannya yang lain. Mereka sama terkejutnya ketika melihat satu dari mereka pingsan tak sadarkan diri. Mereka bertambah kesal. Mencoba menyadarkan temannya, tiba-tiba Meria melihat sekelebat bayangan yang dia kira itu adalah Arnita. Dia hampir mengejarnya jika saja temannya yang pingsan tadi tidak bangun. "La ... kamu kenapa pingsan!?" Mala yang ditanya diam sejenak sambil memegang belakang bahunya. " Gak tahu Mer ... kayak nya tadi ada yang mukul bahuku, tapi aku gak tahu siapa?" "Hm ... itu pasti kerjaan si perempuan kurus itu, awas aja besok di sekolah kita balas dia." Sementara Arnita sudah ada di rumahnya. Dia berhasil kabur dari mereka. "Untung saja ada jalan pintas yang biasa aku lalui dan mereka tidak tahu, jadi aku bisa menghindari mereka, tapi bagaimana dengan besok, mereka pasti menunggu ku lagi." Arnita memang memikirkan tapi sejak kejadian jatuh di kamar mandi itu dia tidak merasakan sama sekali rasa takut kepada mereka. Dan dia masih tidak menyadari jika sebagian jiwa dan raganya sudah jadi milik Renita. °°° Di sekolah mereka tak nampak, Arnita menuju ke kantin, di kantin mereka pun tak ada. Arnita menarik nafas lega, akhirnya dia bisa menikmati paginya tanpa ada rasa takut dan gangguan. "Eh Neng Nita! Tumben pagi gini kelihatan ceria!" "Iya, Bu." sahut Arnita dengan menunjukkan senyum yang sama sekali tak pernah dia tampakkan. "Mau pesan sop atau kue neng?" tanya Ibu kantin yang juga kelihatan bahagia melihat Arnita yang beberapa hari ini sempat di dikhawatirkannya akhirnya terlihat ceria, baginya melihat anak itu tersenyum itu adalah pemandangan yang langka.” "Sop aja Bu!" ucapnya sembari menuang air putih ke dalam gelas dan membawanya. Baru saja hendak menjatuhkan bokongnya dia melihat Meria dan genk nya berjalan menuju ke arahnya. Begitu sampai di dekatnya, kakak kelasnya itu menyiramkan air es yang dia ambil saat melewati meja milik siswa lain. Tapi mereka kalah cepat karena sebelum itu terjadi Arnita sudah menyiram mereka terlebih dulu dengan air yang hendak di minumnya. Meria dan teman-temannya terdiam sejenak, dua dari mereka memegang kedua lengan gadis itu dan menyeretnya ke kamar mandi setelah mendapat instruksi dari Meria. Kejadiannya begitu cepat. Beberapa anak menyaksikan kejadian itu namun mereka lebih memilih diam dan pergi. Sedangkan ibu kantin sempat menegur mereka namun karena mendapat ancaman oleh Meria hanya karena dia kerabat dekat pak Kepsek. Ibu kantin pun tak bisa berbuat banyak. "Maafin ibu Neng!!" ucap ibu kantin yang nyaris tak terdengar meninggalkan Arnita dengan para Pembully itu. Meria menunggu diluar sedangkan 3 temannya sedang beraksi di dalam mencoba menyiksa Arnita yang berusaha melawan. Arnita berhasil melepaskan pegangan salah satu dari mereka, namun saat Meria masuk, gadis itu menjambak rambut Arnita dan melempar tubuh kurus nya hingga terbentur dinding bak kamar mandi. Perlahan Arnita sempat membuka matanya dia tergeletak di tempat yang sama saat samar-samar pandangan nya melihat sosok yang pernah dilihatnya saat dia jatuh, gadis yang seumuran dengannya berdiri di sudut ruang namun tidak tersenyum seperti waktu itu melainkan berlinangan air mata. Sama seperti Renita, Arnita juga sempat koma namun tak lama karena dia akhirnya juga meninggal dunia. kasusnya nyaris tak tersentuh hukum karena ancaman. Hanya uang sebagai penghapus kesedihan yang mewakili dan menutup kejahatan para usia belia itu. Meria bukan nama sebenarnya tapi dia masih hidup hingga sekarang, dia dan teman-temannya menyesali perbuatan yang tidak pernah dinyatakan bersalah namun sejak kematian Arnita mereka tidak bisa hidup tenang apalagi salah satu dari keturunan mereka merasakan bagaimana rasanya diperlakukan buruk karena di bully. KARMA ADALAH KARMA DAN TAKDIR ADALAH TAKDIR Tak ada nama sekolah, tak ada nama yang sebenarnya karena kata si M kisah yang seperti mereka lalui masih banyak terjadi namun tak pernah terbongkar karena rahasia adalah pemilik yang memiliki. Hanya karma yang menguaknya dan takdir yang membongkarnya. °°° Seperti apa pun bentuknya membully adalah hal yang akan membekas seumur hidup bagi korbannya sekalipun karma membayarnya atau sekalipun raga telah terpisah dari jiwanya. STOP BULLYING!!! °°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD